30 MINUTES TO WIN

22 3 1
                                    


"Ya sudah. Ayo kita sama-sama keluar. Mari kita buktikan apa kalian bisa menjawab tantangan ini. Jika kalian bisa, maka kuanggap sudah mampu dan tidak perlu belajar. Artinya aku yang bermasalah. Tetapi jika tidak, masalah ada pada kalian. Sebaiknya kalian bersikap jantan untuk mengakui kalian perlu belajar, siapapun gurunya." Kataku sambil bergegas melangkah keluar. Aku tidak peduli pada mereka yang saling berpandangan dengan heran.

Sengaja kata ganti saya yang tadinya kupakai, kuganti dengan aku. Semata agar mereka tahu aku juga punya 'keakuan' yang sempat mereka ragukan. Saatnya perang.

Satu menit kemudian, mereka menyusulku di lapangan.

Aku berdiri mematung menatap tiang bendera. Matahari jam 8 tengah baik hati menampakkan bayangan tiang itu di halaman berpaving.

"Tantanganku sederhana saja. Bagaimana menentukan tinggi tiang bendera ini, tanpa perlu memanjat atau merobohkannya, atau melepas talinya? Kuberi kalian waktu 30 menit." Kataku sambil meletakkan sebuah meteran di depan mereka dan menyalakan stopwatch. 30 menit tidak akan lama.

Sudut mataku menangkap ada sosok ibu kurikulum menatapku gusar dari pintu ruangannya. Tergesa beliau melangkah mendekat.

"Apa-apaan ini? Belajar itu di kelas. Ayo, Bu. Bawa masuk lagi anak-anak. Nanti mereka kabur." Ucapnya langsung di depan anak-anak.

Wajah-wajah itu langsung mengernyit sebal.

"Maaf, Bu. Saya memiliki metode belajar tersendiri. Matematika akan lebih menyenangkan jika dipraktikkan. Sekali lagi maaf, ini bagian dari pembelajaran. 30 menit saja." Ucapku kukuh.

Ibu kurikulum menghela nafas berat.

"Bu Dani berani menjamin anak-anak tidak akan kabur?"

"Saya yakin mereka akan tetap berada di sini. Jika ada yang kabur, ibu boleh mencoret saya dari daftar guru. Itu akan menjadi pertanggungjawaban saya." Ucapku.

Ibu kurikulum mencibirkan bibir ke arah anak-anak. Kemudian berlalu.

Anak-anak berpandangan sambil tersenyum nakal.

"Oke. Ini ujian kita bersama. Jika ada diantara kalian kabur, artinya saya juga akan berakhir dari sekolah ini. Kalian yang tentukan dalam 25 menit."

Anak-anak berpandangan. Lalu mereka berdiskusi serius. Jumlah mereka hanya 15 orang. Tidak akan sulit mendeteksi ada yang hilang. Berdiskusi juga bisa dilakukan tanpa perlu berkelompok.

Aku memilih berdiri agak jauh agar tidak mengganggu jalannya diskusi. Nyatanya, diskusi itu berlangsung sangat alot. Melihat kecenderungannya, anak paling pintarpun tidak bisa menemukan cara menjawab tantanganku. Dari sudut pandang ini, aku bisa mengamati anak yang pintar, anak yang mau mencoba, anak yang acuh tak acuh, bahkan ada anak yang memilih tiduran.

30 menit kemudian ...

"Waktu habis. Tidak ada anak yang mengundurkan diri dari tantangan. Jadi saya setelah ini harus membela kalian sebagai anak yang tertib. Saya tidak mengerti mengapa kalian dicurigai sedemikian. So, bagaimana dengan tantangan saya. Ada yang bisa menyelesaikan?" tanyaku.

Mereka mengangkat tangan. Bahkan si cowok paling besar dan si cowok yang terlihat seumur ayahku. Siswi bermaskara tersenyum masam. Aku mendadak merasakan aura persahabatan dari tatapan matanya.

"Oke. Sekarang silahkan minggir. Saya butuh clear area." Kataku. Mereka memberiku tempat. Aku berdiri di depan tiang bendera. Memposisikan diri agar puncak bayangan kepalaku bertemu dengan puncak bayangan tiang bendera. Lalu kutandai lokasiku berdiri dan lokasi puncak bayangan bendera. Dengan sebuah meteran, kuukur jarak dari tiang bendera ke masing-masing tanda.

"Oke. Saya selesai. Tinggi tiang ini 8 meter." Kataku.

"Tidak mungkin. Pasti ngawur." Kata mereka dengan nada menggoda.

"Oke. Mas, silahkan turunkan bendera. Lalu kita robohkan sejenak tiang bendera ini." kataku.

Mereka menurut. Sepuluh menit kemudian, mereka harus mengakui kebenaran ucapanku.

"Ah, pasti ibu sudah mengukurnya kemarin." Tuduh mereka.

Aku senyum.

"Kembalikan kembali tiang dan benderanya. Lalu akan kutunjukkan caranya." Kataku.

Mereka bergotong royong mengembalikan semua pada tempatnya. Lalu berbondong-bondong masuk kelas. Kali ini mereka nampak antusias dan penasaran dengan apa yang akan kukerjakan.

Kutuliskan hasil pengukuranku di papan tulis. Kulengkapi dengan gambar tiang bendera, gambar stick woman yang mewakili diriku, serta hasil pengukuran bayangan. Mereka tertawa melihat caraku menggambarkan diriku.

"Ibu tidak sekurus itulah." Kilah mereka sambil terus tertawa.

"Menggambar manusia belum menjadi keahlianku." Kataku sambil memberi mereka senyum.

Meledaklah tawa kami. Salah satu siswa maju, kemudian menghapus stick woman karyaku. Ia menggantinya dengan sesosok wanita berjilbab yang tersenyum.

"Nah, ini lebih mirip. Perkenalkan, ini Rian. Pelukis kami." Kata cowok yang paling besar. Yang diperkenalkan menyalamiku.

"Terima kasih, Rian." Kataku. Kuhabiskan sepuluh menit berikutnya untuk mengenal nama masing-masing anak. Anak yang terakhir, si siswi yang ternyata memang bermaskara, namanya Sekar.

"Jadi bagaimana caranya?" tanya Sekar.

"Kalian lihat, ada empat komponen dalam gambar ini. Tinggi tiang bendera, tinggi badanku, panjang bayanganku, dan panjang bayangan tiang bendera. Ketika tiga komponen yang lain diketahui, kita bisa menentukan tinggi tiang bendera." Jelasku.

"Tapi kita belum tahu tinggi bu Dani." Kata Zakaria. Cowok yang menurutku seumur ayahku.

"Silahkan diukur." Kataku sambil menyerahkan meteran. Zakaria bangkit dan menerima meteranku. Dibantu oleh Dwi, si cowok terbesar, mereka menemukan bahwa tinggiku 160 cm.

Dua menit kemudian, aku selesai menjelaskan bagaimana mendapatkan angka 8 meter. Tepat aku selesai menjelaskan, pas bel pergantian jam berbunyi.

"Oke. Cukup untuk hari ini. Semoga bermanfaat." Kataku.

"Lusa ketemu lagi ya, Bu." Kata Dwi. Diikuti anggukan kepala teman-temannya.

Aku beri mereka senyuman.

"Oke. Itu sebuah tantangan buatku. Kuharap, kalian lengkap semua untuk tantangan berikutnya." Kataku, tanpa mengubah kata aku. Kupikir, sebaiknya aku tetap pakai ini pada pertemuan-pertemuan berikutnya.

Merekatertawa. 

Me And the Vertical GardenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang