Serka-serki sukses membantu siswa-siswiku memahami dan menyelesaikan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Mereka sudah kelas IX, jadi aku beralih ke perkalian.
Pada prinsipnya, perkalian itu lebih gampang, menurutku. Kan kalau tandanya beda, pasti hasilnya min. Kalau tandanya sama, hasilnya pasti plus. Tetapi, ini tidak mudah bagi anak-anak.
"Bu, saya menyerah," kata Sekar seraya menempelkan keningnya ke meja.
"Hai, sudah jadi calon istri masa mudah menyerah. Ntar cekcok dikit dengan suami, nyerah juga? Bubaran?"
"Haish, ya enggak, Bu. Iya, deh. Nggak nyerah. Tapi perkalian ini sulit. Saya selalu salah tebak hasilnya."
Aku menarik nafas.
"Kalian tahu nggak sih, perkalian bilangan bulat ini sebenarnya pelajaran karakter manusia hebat masa depan?"Lima belas pasang mata itu menatapku sepenuh jiwa.
Aku senyum. Kubuka tutup spidol, lalu mulai menulis di whiteboard.
"Jika kalian melihat sesuatu yang benar, kamudian kamu katakan itu benar, apakah itu sikap yang benar?" tanyaku sambil menuliskan tanda plus dikalikan dengan plus.
Anak-anak saling memandang. Mereka kompak menatapku lagi dan bersamaan mengangguk.
Kutuliskan tanda sama dengan, diikuti tanda plus.
"Kalian paham untuk yang pertama ini?"
Mereka mengangguk.
Aku melanjutkan dengan menuliskan tanda minus dikalikan minus.
"Jika melihat sesuatu yang salah, lalu menyebutnya salah, itu adalah sikap yang benar," sahut Sekar tanpa kuminta.
"Betul sekali, Sekar."
Kutuliskan tanda sama dengan dan plus."Sekarang, kita beralih ke perkalian ketiga."
Aku menuliskan tanda plus dikali tanda min, diikuti tanda sama dengan.
Rian langsung menjawab:
"Jika melihat sesuatu yang benar, tetapi mengatakan bahwa itu salah, maka itu adalah perbuatan yang salah."Kuacungkan jempol, lalu menuliskan tanda min.
Aku melangkah mendekati Rian. Kuserahkan spidol padanya.
Rian bangkit sambil tersenyum.
Ia menuliskan tanda min dikalikan plus, dilanjutkan dengan tanda min.
"Jika melihat sesuatu yang salah, lalu mengatakan bahwa hal itu benar, maka itu adalah perbuatan yang salah."Kami semua bertepuk tangan.
Mereka kembali menghadapi soal-soal yang tadinya terasa sulit dan membingungkan. Kali ini, mereka berhasil dengan mudah. Alhamdulillah.
Air mataku mengalir tanpa dapat kutahan."Bu. Bu. Ibu ini bagaimana sih? Kami bisa mengerjakan soal lho, malah nangis. Seharusnya ibu bersyukur."
Jadilah aku menangis sambil tertawa pelan. Sekar merangkulku.
"Bu, jangan lelah membantu kami, ya."
"Insya Allah."
Kubalas rangkulan Sekar. Hatiku rasanya adem. Biarlah sesekali melow."Bu. Bu. Kalau di daerah asal saya, kali itu artinya sungai, Bu. Jadi kalau ada orang namanya Min, bisa jadi bahan candaan. Min. Kali, Min! Positif!" kata Rian.
Kami tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And the Vertical Garden
أدب المراهقينVertical Garden itu bukan hanya sebuah taman yang dibuat karena lahan terbatas. Dia melukiskan aku. Dia prasasti keberadaanku. Dan murid-muridku.