Dua Minggu berlalu sejak kami memasang rangka, mengisi pot dengan media, dan menebarkan benih.
Setiap pagi, kami bergiliran menyiram tanaman. Walau kadang ada yang lupa, tetapi syukurlah mereka bisa saling bekerjasama.
Lambat, tetapi satu demi satu tunas hadir. Sepasang daun mungil muncul disela rekahan tanah basah. Seiring pertumbuhannya, harapan kami membesar.
Murid-muridku mencatat berapa jenis tanaman kami, berapa benih telah ditanam, berapa yang telah bertunas. Angka ini menjadi bahan belajar statistika di kelas Matematika.
Mereka bisa kuajak berlatih mengelola data, menghitung persentase, membuat tabel dan penyajian data.Ternyata, mengerjakan Matematika yang berhubungan dengan kejadian nyata membuat mereka sangat bersemangat dan paham.
Ketika mereka bekerja, terkadang aku merenung. Salah satu renunganku, betapa aku melihat situasi serupa antara Murid-muridku dengan vertical garden kami. Salah satunya dalam hal benih.
Aku memang mendapat sumbangan benih dalam kemasan utuh. Tetapi siapa bisa menjamin di dalamnya seratus persen menghasilkan produk. Tidak ada. Tetap saja karena berbagai faktor seperti: tanah, suhu, hujan, terik matahari, ada biji yang gagal tumbuh.
Dalam urusan sekolah ini, aku tahu dari reputasinya bahwa anak yang bersekolah di sini adalah pindahan, yang sudah tidak punya pilihan sekolah lain dengan berbagai sebab. Rata-rata karena masalah perilaku yang luar biasa nakalnya.
Kalian masih ingat bagaimana kurang ajarnya mereka di hari pertama aku masuk kan?
Jadi, jikapun sekolah ini meniatkan diri menghasilkan anak-anak berprestasi agar mendongkrak reputasi sekolah menjadi baik, maka sekolah tidak bisa memilih benih.
Sekolah lain banyak yang punya kemampuan memilih anak-anak terbaik, sudah pasti hasilnya juga akan baik. Lah ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And the Vertical Garden
Genç KurguVertical Garden itu bukan hanya sebuah taman yang dibuat karena lahan terbatas. Dia melukiskan aku. Dia prasasti keberadaanku. Dan murid-muridku.