"Gaess, aku punya bibit tanaman baru," ucapku begitu tiba di sekolah.
Kelas IX segera merubungku.
"Apa itu, Bu? Daunnya mirip kacang."
"Ahh, iya ya. Bener. Mirip. Masih saudaraan kali ya. Nanti juga menghasilkan benih seperti kacang juga sih. Tetapi tanaman ini biasanya yang dimanfaatkan bunganya."
"Ini tanaman apa?" tanya Sekar.
"Namanya Telang," jawabku, "bunganya bisa diseduh seperti teh, tetapi warnanya spesial."
"Spesial bagaimana?"
"Warnanya biru. Unik kan, teh biru? Khasiatnya juga bagus. Selain itu, bisa dikreasika juga untuk masak nasi menjadi nasi biru. Kalau minumannya ditambah perasan lemon, jadi teh ungu. Jadi, mengapa tidak kita tanam?" tanyaku.
Anak-anak tidak terlalu antusias. Hmm, kalian belum tau sih.Pertumbuhan si Telang agak lambat. Jadi demi ilmu pengetahuan, suatu hari aku membawa tanaman Telang yang sedang berbunga dan satu plastik kecil bunga Telang kering.
Aku juga membawa timbangan digital, air panas dalam termos, lemon, dan gelas tinggi bening."Hari ini kita belajar persentase. Ada yang pernah mendengar tentang persen?" tanyaku.
"Diskon celana 70%," jawab Dwi.
"Nah." Kuacungkan jempolku.
"Alkohol dalam bir 5%," jawab Rian.
Semua temannya langsung menoleh dengan tatapan mix antara memarahi dengan heran.
"Mm, saya pernah membaca di kemasannya, Bu," jawab Rian.
Kami manggut-manggut.
Aku tidak lanjutkan bahasan itu, karena aku tahu anak-anak ini tidak asing dengan bir. Kalian boleh heran, tetapi sadarilah kalau mereka anak-anak bermasalah umumnya punya latar belakang yang juga bermasalah. Sebagian anak ini tinggal di lingkungan yang minum bir itu biasa, bahkan menjadi bagian dari pergaulan. Ada yang orang tuanya bercerai, sehingga pelarian yang mereka tahu yahhh ....
Semoga mereka mendapatkan hidayah dan terarah ke jalan yang benar saja."Nah, jadi tidak asing dengan persen kan? Hari ini kita berpura-pura menjadi peracik minuman. Nah, kalian berlima belas, silahkan membentuk tiga kelompok yang seimbang."
Mereka segera membentuk tiga kelompok, masing-masing lima anak.
Aku meletakkan bunga Telang kering dalam gelas besar, lalu kutuang air panas. Mereka takjub melihat bunga kering putih kecokelatan itu menghasilkan cairan biru yang semakin lama bertambah tua birunya.
"Setiap kelompok, silahkan mengambil gelas tinggi, sendok panjang, dan gelas ukur."
Mereka melaksanakan tugas, selagi aku membagi persentase air Telang yang harus digunakan setiap kelompok. Sengaja kubuat berbeda dan berurutan agar nanti terlihat gradasinya.
"Oke. Silahkan dibuat minuman sesuai kadar air Telang di papan tulis."
Kuberi mereka 15 menit untuk membuat teh biru.
Setelah siap, mereka kuberi lembar kerja untuk mencatat hasil kerjanya.
Selesai.
Lanjut dengan memeras lemon. Beberapa anak iseng mencicipi lemon, lalu merem-merem setelah tahu rasanya.
"Ya asam lah," bentak Sekar melihat keisengan teman-temannya.
Kami tertawa bersama.
Setelah diperas, anak-anak menggunakan gelas ukur untuk menambahkan air lemon sesuai persentase yang diminta.
Saat mencampur, ucapan spontan seperti: "Aaa,", "wow,", atau "keren," melompat dari mulut mereka."Biasanya, kalau di kafe-kafe, ini disebut Magic Tea. Sewaktu dihidangkan, air Telang dituang setelah meletakkan es batu. Jadi tidak langsung nyampur. Pemesan bisa mengaduk sendiri agar warnanya berubah ungu," jelasku.
"Ibu sering ngafe, ya? Kok nggak ngajak kita-kita?"
"Enggak, lah. Mana sempat. Ngurus kalian di sini saja habis waktu."
Kami tertawa.
"Aku aplikasikan ini di rumah. Biar junior kenal dapur."
"Ohh."Nah, saatnya menikmati Magic Tea, sambil menyelesaikan laporan dan hitungan persentase resep serta review-nya. Mereka juga menyempatkan mencicipi resep tetangga.
"Jadi mana yang penampilannya lebih bagus?" Tanyaku di akhir sesi.
"Yang di kelompoknya Sekar, Bu," jawab mereka sepakat.
"Perlu kalian ketahui, sebelum produksi, perusahaan minuman atau kafe juga coba-coba resep seperti yang kita lakukan hari ini. Semoga menjadi pengalaman berharga. Siapa tahu kelak diantara kalian ada yang punya restoran sendiri, hari ini kalian sudah siapkan salah satu ilmu dasarnya."
Anak-anak bertepuk tangan. Kami bubar untuk membersihkan kelas dan alat.
Seorang guru lain masuk.
"Bu, Anda itu kok serakah. Matematika itu yang cukup hitung-hitungan saja. Tidak perlu pakai percobaan segala. Itu wilayah saya, guru IPA."
"Kita kan satu rumpun, Bu. Saya lihat anak-anak lebih mudah paham kalau pakai praktik dan tahu manfaat dari apa yang dipelajarinya."
Ia melengos lalu melangkah pergi.
Kuhela nafas.
"Bu, IPA lho tidak pernah percobaan. Paling guru masuk, ngasih tugas, terus ditinggal," jelas Sekar.
Aku senyum.
"Itu namanya cara belajar siswa aktif. Guru tidak harus menunggui. Kalian kan anak-anak yang mandiri."
Sekar tersenyum sambil merapikan peralatan.
"Saya lebih suka belajar matematika."
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And the Vertical Garden
Novela JuvenilVertical Garden itu bukan hanya sebuah taman yang dibuat karena lahan terbatas. Dia melukiskan aku. Dia prasasti keberadaanku. Dan murid-muridku.