Jadi, dimulailah hari-hariku (mungkin juga hari - jika aku tereliminasi) sebagai guru honorer di sebuah sekolah swasta.
Lokasi sekolah yang tidak jauh dari rumah, membuatku memilih moda on foot alias halan kaki. Alasannya sih, biar sehat gitu. Lagian aku dikaruniai sepasang kaki normal. Jarak yang harus kutempuh tidak jauh. Paling 15 menit jalan sudah nyampe. Aku berkeyakinan, menjadi guru adalah sebuah jalan menuju surga. Jadi setiap langkahku akan dihitung sebagai perjuangan. Maka mari kita banyak berjalan kaki menuju tempat kerja.Emm, sebenarnya pertimbanganku tidak cuma itu sih. Ada juga pertimbangan dana. Aku belum memiliki motor. Nah, uang transport yang bakal kuterima setiap kali datang tuh Rp 5.000,00. Dengan harga premium saat ini Rp 7.600,00 dan ongkos ojek sekali jalan untuk jarak segitu Rp 5.000,00, maka jalan kaki adalah pilihan yang lebih sehat untuk kantongku. Minimal, ongkos ojek yang cuma bisa dipakai berangkat itu bisa kualihfungsikan untuk beli makan siang. *Aku keren banget kan, bisa mengatur dana minim. Hemm.
Kali pertama masuk siang, aku disambut wajah-wajah tercengang murid-muridku. Aku tidak kalah tercengang. Bagaimana tidak? Dalam bayanganku, anak-anak kelas IX SMP itu masih imut. Masih seperti adikku yang suka kutowel-towel pipinya. Pemandangan yang kulihat ketika pertama kali menjejakkan kaki di sekolah ini, sama sekali berbeda ketika aku berhadapan dengan mereka.
Kutengok jadwal di tanganku. Benar. Ini kelas IX.
"Lho, pak Bagas ke mana?" tanya seorang siswi berjilbab. Bibirnya jelas makai lipstik. Bulu mata bagian atasnya juga dilatar belakangi eye liner tipis. Nanti aku akan mendekat untuk memastikan dia memakai maskara.
"Kamu anak baru, ya? Mengapa tidak diantar guru?" tanya seorang anak ... emm, mungkin aku salah. Dia nampak setua ayahku.
"Ini benar kelas IX kan?" tanyaku.
"Iya. Benar. Kamu mencari pak Bagas?" tanya anak lain yang rambutnya sebagian dicat pirang.
"Saya bu Dani. Saya yang menggantikan pak Bagas." Ucapku.
Mereka saling berpandangan. Senyum nakal dilempar. Dan aura tidak nyaman mulai terasa.
"Kami tidak mau belajar kalau tidak bersama pak Bagas." Protes siswa lain sambil berpindah duduk di atas meja. Teman-temannya manggut-manggut.
"Iya. Tidak ada guru sekeren pak Bagas. Jangan coba-coba mengambil tempat pak Bagas di hati kami."
"Jadi, pak Bagas pasti sangat istimewa. Namun mengapa beliau mengundurkan diri? Saya yakin saya mendengar beliau berpamitan pada kalian minggu lalu."
"Pindah ke sekolah negeri. Ahh, begitu lagi. Ini sudah tidak bisa dihitung lagi berapa kali kita ditinggalkan guru, demi mengajar di sekolah lain yang lebih keren." Keluh si siswi ber-eye liner.
Aku hela nafas.
"Kalian sudah belajar sampai di mana bersama pak Bagas?" tanyaku. Sebenarnya, aku sudah mendapat info update dari pak Bagas. Tetapi tentu saja aku harus mengetahui apa yang ditangkap oleh anak-anak ini.
"Sudah kami bilang. Kami tidak mau belajar kalau tidak bersama pak Bagas."
"Anda guru baru. Apa kelak anda juga akan meninggalkan kami setelah mendapat tempat yang lebih keren?" tanya siswi itu lagi.
"Paling sama saja. Sudahlah. Kita tidak perlu memperpanjang urusan ini. Kami yang keluar, atau ibu yang keluar?" tanya siswa yang badannya paling besar.
Aku tercekat.
Misal kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan?
Jangan lupa vote dan komen, ya.
Thnx
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And the Vertical Garden
Genç KurguVertical Garden itu bukan hanya sebuah taman yang dibuat karena lahan terbatas. Dia melukiskan aku. Dia prasasti keberadaanku. Dan murid-muridku.