Lisa si induk semang terkadang cukup mengganggu dengan peraturannya yang ketat, tetapi di saat seperti ini dia adalah malaikat penolong.
Sore itu aku sedang berdiri di depan pintu apartemennya, menantinya membawakanku jaket Nils yang telah dicuci. Ya, tadi pagi aku meneleponnya dan memintanya mencuci jaket Nils di penatu--perempuan itu punya kunci apartemenku, jadi dia bisa masuk dan mengambil benda itu--dengan imbalan sebuah novel.
"Terima kasih," kataku, sambil melakukan tukar-menukar barang dengannya. Matanya berkilat senang dengan buku pemberianku. Aku juga senang karena dia melakukan pekerjaannya dengan baik.
"Sama-sama. Wow, aku sudah lama ingin buku karya Dan Brown ," katanya. Dia tidak langsung membiarkanku pergi, seperti yang sudah kuduga sebelumnya. "Omong-omong, itu jaket siapa?"
"Seorang teman," aku menjawab, walau kenyataannya aku tak sudi menyebut Nils sebagai teman, "dia meminjamkannya padaku kemarin."
"Baunya sungguh tak enak," kata Lisa.
"Ya, aku tak sengaja memasukkannya ke kantung sampah. Pikiranku sering melayang akhir-akhir ini," sahutku berbohong. Perempuan itu akhirnya berhenti bertanya dan membiarkanku pergi.
Tiba di rumah, aku duduk di sofa dan membaca ulang pesan Jim tanpa tujuan tertentu. Jim menyebut kata "asrama" di dalam pesan di label jaket ini. Apa mereka dulunya teman sekamar saat masih bersekolah? Bagaimana Jim bisa bertahan menghadapi sikap Nils ya?
Walaupun terkesan seperti gerutuan, aku menyadari ada kasih sayang dalam kata-kata Jim untuk Nils di label jaket ini. Dia tampak seperti menjaga Nils, seakan Nils adalah adiknya. Dia sangat peduli pada Nils. Tapi aku tak pernah melihat Nils peduli pada Jim. Di kantor, aku juga sering melihat Jim memperlakukan Nils dengan baik. Tadi pagi, contohnya, saat dia merangkul Nils yang sedang marah. Padahal menurutku Nils bukanlah manusia yang patut untuk diperlakukan dengan baik. Kalau ditampar dengan sepatu sih, iya.
Aku tak tahu pukul berapa si berengsek itu akan datang dan mengambil jaketnya, yang jelas jika dia datang pada jam tidur, aku tidak akan membiarkannya membangunkanku. Tetapi rupanya dia datang sekitar pukul sembilan malam. Aku yang sedang menonton televisi sambil menyantap es krim segera berhenti. Ada ketukan di jendelaku.
Tentu saja, dia tidak mungkin datang melalui pintu.
Aku mengambil jaket jins dan membawanya ke jendela. Pria itu sedang berdiri di mezanin tangga darurat, menenteng sebuah helm hitam bersamanya. Kubuka jendela itu, lalu menyerahkannya tanpa bilang apa-apa. Saat aku akan menutupnya kembali, pria itu mencegah.
"Apa lagi sekarang?" tanyaku galak.
"Tidakkah kau seharusnya membiarkanku masuk?"
"Tidak. Selamat malam."
Dia menahan jendelaku.
"Apa yang kauinginkan?"
"Aku mau masuk," katanya.
"Tidak boleh."
Mengherankan, dia bertanya, "Kenapa?"
"'Kenapa' katamu? Setelah apa yang kaulakukan padaku, kau mau masuk ke dalam rumahku? Kau sungguh tidak punya rasa malu!"
Dia masih menahan jendelaku. "Lalu apa yang harus kulakukan? Menulis surat permohonan maaf, begitu?"
"Itu tidak akan pernah bisa menebus semua ucapan kasar dan sikap tidak tahu berterima kasihmu, Mr. Rondhuis! Bahkan tidak seribu kata maaf pun!"
Aku mencubit tangannya. Dia mengaduh dan menarik tangannya, lalu kesempatan itu kugunakan untuk menutup jendela. Sebelum menutup tirai, aku sengaja memberinya tatapan garang dan mencemooh. Dia bergeming dengan jaket dan helm di pelukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely, Your Boss [Nils Rondhuis]
Fanfiction"Kau tahu alasan mengapa aku naik kereta bersamamu?" "Agar pemerintah berterima kasih padamu karena telah mengurangi kemacetan di kota ini?" "Karena aku sedang berusaha untuk tidak membencimu." --- Sweet Mileva tahu benar cap yang melekat erat pada...