"Apa hubunganmu dengan Harris?" tanya Nils. Tangannya santai menggenggam setir, selagi fokus mengawasi jalanan di depan.
"Aku dan ia berteman sejak kecil," jawabku. "Aku benar-benar tak menyangka kalian berdua saling kenal. Bukankah dunia ini sempit sekali?"
Nils berdehem. "Kau suka padanya?"
Aku memandanginya sejenak.
"Kau suka padanya?" ulangnya. Namun kali ini ia balas memandangku, sekejap.
"Itu pertanyaan pribadi," kataku.
"Memang." Nils mengangguk.
"Harusnya kau tidak menanyakan itu."
"Mengapa?"
"Karena itu pertanyaan pribadi. Kau bosku dan aku hanyalah bawahanmu."
"Kau lupa? Hari ini kita teman, bukan bos dan bawahan."
"Tetapi ada batasan yang juga dimiliki antara dua orang teman," sahutku.
"Menghindari pertanyaanku secara tidak langsung membuatmu mengonfirmasi kebenaran pertanyaan itu," katanya. "Kau suka padanya."
"Lalu kenapa?"
"Cukup aneh."
"Aneh?" Aku mengangkat alis.
"Aneh bahwa kau menyukai pria semacam Harris," katanya. "Seperti menyukai sesuatu tanpa tantangan. Berjalan di jalan lurus tanpa hambatan."
Aku memutar bola mata. "Kau tidak tahu apa pun soal Calvin."
"Tetapi benar, bukan? Kau menyukainya?"
"Tidak. Dan itu bukan urusanmu."
Nils tersenyum tanpa menatapku. "Akui saja. Aku tidak keberatan kok."
Kali ini giliranku yang menatapnya. "Memangnya siapa yang memikirkan apakah kau keberatan atau tidak?"
"Yah, sebagai temanmu hari ini, aku tidak keberatan untuk menyimpan rahasia semacam itu," kata Nils. "Dia pria yang baik. Tidak seperti aku."
"Lalu?"
"Kalau kau menyukaiku, maka kau sama saja berjalan di jalan yang berkelok-kelok, penuh tikungan tajam, berkerikil, berlubang, tanjakan dan turunan yang curam, dan beruang yang menyeberang jalan dengan seenaknya kapan pun ia mau."
"Apa kau sedang mempromosikan dirimu? Karena bila ia, aku terkesan kau mengakui seluruh kekuranganmu," ujarku sarkastis.
"Aku hanya mengakui tentang diriku sendiri," katanya. "Apa gunanya mengelak? Kau sudah tahu tentangku terlalu banyak."
Sisa perjalanan menuju ke rumahku kami habiskan dalam diam. Nils tampaknya sedang asyik berkutat dengan pikirannya sendiri. Aku sendiri merasa keheranan seperti biasa tentang dirinya. Mengapa dia bisa membicarakan hal pribadi begitu santai seolah membicarakan menu makan siang apa yang akan ia makan?
Dia mengantarku hingga ke depan pintu apartemenku. Sebelum masuk, aku mengucapkan terima kasih padanya. Dia manggut-manggut, matanya tak lepas menatapku. Aku mencari tahu maksudnya, dan kami dilanda keheningan pendek.
"Baiklah." Aku menghela napas, canggung. "Sampai jumpa lagi."
"Sampai jumpa besok," sahutnya. Dia masih menatapku sama, seolah sedang berupaya merasuk ke dalam jiwaku melalui mata.
Aku melambaikan tangan, lalu bertanya-tanya mengapa aku melakukannya. Ini sungguh kecanggungan yang luar biasa. Dia seharusnya langsung enyah dari sini, bukannya memaku pandangan padaku seperti itu. Hingga beberapa detik kemudian dia masih saja menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely, Your Boss [Nils Rondhuis]
Fanfiction"Kau tahu alasan mengapa aku naik kereta bersamamu?" "Agar pemerintah berterima kasih padamu karena telah mengurangi kemacetan di kota ini?" "Karena aku sedang berusaha untuk tidak membencimu." --- Sweet Mileva tahu benar cap yang melekat erat pada...