Lima belas menit lagi lagu akan dikumandangkan di seluruh koridor.
Kuamati jarum yang berdetik lambat mendekati setiap angka pada lingkaran jam.Tetapi itu malah membuat penantian semakin terasa panjang.
Ayo, Jam, bekerja keraslah!
Kuputuskan untuk meninggalkan meja kerjaku yang sudah kurapikan beberapa saat yang lalu. Kulangkahkan kaki ke meninggalkan bilik kerjaku, mengamati koridor dari kiri ke kanan tanpa sebab yang pasti. Sunyi. Para pegawai lain masih sibuk dengan kertas-kertas dan komputer di meja.
Begitu pula Martijn di ruang kerjanya. Dia bahkan masih berkutat di depan barisan kalimat yang terpajang di layar laptopnya ketika aku mendatanginya. Sesekali dia mengucek mata, menggaruk-garuk kepala hingga rambutnya kusut, meneguk air, dengan mata tetap terkunci pada layar seakan dia sedang menghadapi pacarnya. Ketika diajak membicarakan hal-hal ringan, dia menjawab agak lama, selalu dengan kalimat, "hah?" atau "apa?"
I got bills ... I gotta pay ... so I'm gon' work, work, work, every day ....
Sebuah lagu berkumandang di koridor. Bukannya senang mendengar pertanda jam kerja telah usai, Martijn justru menjatuhkan punggung dengan pasrah ke sandaran kursi, menekan kening, lalu berteriak, "Kenapa sih mereka harus memutar lagu itu? Aku punya tagihan yang harus kubayar, jadi aku harus kerja, kerja, kerja setiap hari! Kau tidak menjadikannya lagu pun aku sudah tahu kalau aku harus bekerja!"
Lagu terus berkumandang seakan mengejek Martijn tiada ampun.
I got mouths ... I gotta feed ... so I'm gon' make sure everybody eats ....
"Tenanglah, Martijn. Kau tak perlu segusar itu," kataku, sambil berusaha keras menyembunyikan tawa. Semakin lama Martijn bekerja di kantor ini, dia semakin dewasa. Dewasa yang kumaksud adalah berteriak seperti orang gila ketika pekerjaan yang harus dituntaskan tidak selesai tepat pada waktunya.
Martijn melepas dasi, mengikatkannya ke kepala. Dia menyingsing lengan baju, lalu berkata dengan penuh keyakinan bak seorang pejuang, "Tidak. Aku tidak mau membawa pekerjaan ini ke rumah. Tidak boleh. Harus selesai sekarang juga." Lalu dia mengabaikanku sepenuhnya. Jemarinya menari-nari tanpa jeda di papan ketik. Aku menepuk-nepuk kepalanya dan meninggalkan ruangan.
Satu per satu karyawan mulai meninggalkan meja masing-masing, meski ada beberapa yang masih bergulat dengan tugas mereka. Aku berjalan kembali ke mejaku sementara irama lagu masih berenang-renang di udara. Kusimpan ponsel ke dalam tas dan kukenakan mantelku. Begitu aku akan meninggalkan meja, seorang pria sedang berdiri di ambang pintu. Sosoknya yang jangkung dan kaku terbalut jas hitam, menghalangi pandangan ke luar.
"Selamat sore, Mr. Rondhuis," sapaku. Para staf lain di ruangan itu mencuri pandang. Aku bersikap senormal mungkin.
Nils hanya memberiku seraut wajah datar. Dia menyodorkan sebuah benda ke depanku. "Simpan ini di rumahmu."
Sebelum aku menyambut benda itu, aku mengamatinya terlebih dahulu. Itu sebuah buku. Broken Wings, karya Kahlil Gibran. Buku pemberianku.
Aku mengangkat pandangan dan menatapnya baik-baik. "Kau sudah membacanya?"
"Sudah," jawabnya singkat. "Ambil ini kembali."
"Aku memberikannya padamu, jadi kenapa kau ingin aku menyimpannya kembali?"
"Karena aku tidak ingin--ralat." Dia memejamkan mata, seperti memikirkan kalimat yang benar. "Karena aku tidak sudi buku ini ada di rumahku walau dia harus terjepit di celah di bawah rakku sekalipun. Cepat ambil ini dan bawa pulang."
Aku sungguh tak menyangka dia akan bersikap seperti ini. Sungguh di luar dugaan. Kupikir dia akan berterima kasih, menjadi Nils yang berbeda dan lebih baik, sehingga Jim akan membuatkanku sebuah patung. Aku tak tahu apakah sesuatu yang menusuk sekaligus hampa di dadaku saat ini adalah kekecewaan ataukah kesedihan. Tapi, apa arti semua itu? Untuk apa aku kecewa atau sedih? Apakah karena dia tidak menerima buku itu, atau karena ia memilih untuk menjadi berengsek saja? Kalau iya, lalu apa hubungannya denganku? Toh, bila dia tidak mau menerima buku itu atau memutuskan untuk menjadi bajingan seumur hidup pun tidak akan memberi pengaruh apa pun pada hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely, Your Boss [Nils Rondhuis]
Fanfiction"Kau tahu alasan mengapa aku naik kereta bersamamu?" "Agar pemerintah berterima kasih padamu karena telah mengurangi kemacetan di kota ini?" "Karena aku sedang berusaha untuk tidak membencimu." --- Sweet Mileva tahu benar cap yang melekat erat pada...