Sudah lima bulan semenjak terakhir aku dan Nils bertatap muka. Tidak, baik aku maupun ia tidak pindah kantor. Ia tahu aku selalu masuk kantor dan aku tahu ia juga sama. Hanya saja, kami memang tidak pernah bersilang jalur seperti dulu lagi. Kami tidak pernah berada dalam satu lift, berpapasan di koridor, apalagi bertemu di luar jam kantor. Kadang aku hanya melihat bayangannya yang bergerak di ruangannya, di balik dinding kaca buram, sibuk berbicara dengan eksekutif yang lain atau mengetik dengan laptop. Atau ruangannya bisa kosong selama berhari-hari karena ia harus menghadiri beberapa pertemuan di luar kota.
Percayalah, aku tidak merindukan pertemuan kami. Bahkan pertemuan kami yang terakhir sekalipun, di mana untuk pertama kalinya, ia tidak bersikap menyebalkan--ralat, maksudku tidak sepenuhnya bersikap menyebalkan. Dan selama lima bulan terakhir, aku menjalani kehidupan yang bahagia, lancar, dan damai, tanpa dirinya. Mungkin kami seharusnya memang tidak saling bersinggungan.
Kabar baiknya, pria itu tidak pernah menyinggung soal mobilnya yang tak sengaja kurusak. Dia juga tidak memecatku. Bahkan dia tidak memotong gajiku. Mungkin dia berubah pikiran untuk tidak menyengsarakan hidupku sejak perbincangan kami di apartemenku waktu itu.
Sabtu ini, aku dan Nicki turun dari taksi. Perempuan yang sering gonta-ganti gaya rambut itu--dulu dia mengecatnya pirang, sekarang merah muda--membayar ongkos taksi dan membenarkan gaun ketatnya yang berwarna putih. Begitu taksi berlalu, aku dan Nicki berjalan berbarengan melintasi jalan kecil yang di sisi-sisinya dikelilingi rumput yang habis dipangkas.
"Aku baru tahu kalau orang yang sudah menikah bisa menikah lagi," kata Nicki. Stiletto-nya yang merah muda terlihat bak setrika yang ditempelkan ke telapak kaki. "Kalau tahu begitu, aku mau menikah setiap tahun."
"Kau tidak akan sanggup menanggung biayanya," candaku.
"Tentu saja sanggup, asal aku menikahi pria kaya," kata Nicki. Dia mengibaskan rambutnya ke balik bahu. Aku hanya tertawa.
The Benedict's Golf Club dipadati oleh para tamu undangan berpakaian serba putih. Lapangan golf bersinar bermandikan cahaya matahari pagi. Aku menyipitkan mata, silau akan pemandangan itu. Beruntung aku mengenakan tabir surya sebelum datang kemari.
Aku dan Nicki berjalan pelan-pelan melewati barisan kursi berwarna putih yang ditempatkan menghadap altar. Mawar-mawar segar bergerak perlahan ditiup angin, membawa aroma lembut ke udara. Martijn sudah duduk di salah satu kursi, melambai ke arah kami. Kami pun duduk di sebelahnya.
"Kalian datang berdua?" kata Martijn.
Nicki menggelayuti bahuku. "Kami memang pasangan sejati."
"Itu bohong. Nicki tidak mau datang sendirian, itu sebabnya dia mengajakku datang bersamanya," sahutku bergurau. Nicki menusuk pipiku dengan telunjuknya.
"Kau sendiri, datang dengan siapa?" tanya Nicki pada Martijn.
Sebelum Martijn menjawab, seorang gadis berambut pirang menengok dan melambai kecil. Martijn berkata, "Pacar."
Aku dan Nicki sama-sama tercengang. Nicki yang paling tidak percaya.
"Aku Gretchen," katanya ceria. Geez, look at this girl. Inikah perempuan yang disebut Martijn goblok? Dia tidak terlihat goblok sama sekali. Bola matanya biru cerah, tampak memukau. Rambut pirangnya tergulung-gulung sempurna di bahu, bak gaya rambut Barbie. Lihat rasio dada dan pinggangnya yang ideal. Kulitnya sedikit kecokelatan, mulus dan bersih. Aku dan Nicki tak kunjung menyambut uluran tangannya karena terlalu sibuk memperhatikan.
Gretchen melirik Martijn canggung, dan Martijn membalas lirikannya. Laki-laki itu langsung menyambut tangan pacarnya, menghilangkan kecanggungan. Tawa kecil berderai di antara sepasang kekasih itu, menyadarkan aku dan Nicki yang sepertinya tenggelam dalam pikiran yang sama. Kami berjabat tangan dengan gadis manis tersebut--gelang berlian di pergelangan tangannya sungguh menyilaukan mata. Entah bagaimana bisa Martijn yang kelihatan seperti bocah sekolah dasar yang tak kunjung naik kelas ini mendapatkan pacar bak model Victoria's Secret.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely, Your Boss [Nils Rondhuis]
Fanfiction"Kau tahu alasan mengapa aku naik kereta bersamamu?" "Agar pemerintah berterima kasih padamu karena telah mengurangi kemacetan di kota ini?" "Karena aku sedang berusaha untuk tidak membencimu." --- Sweet Mileva tahu benar cap yang melekat erat pada...