Aku membuka mata dan berusaha tidak bergerak di balik selimut. Suara redam di luar kamar tidurlah penyebabnya. Aku tak tahu siapa orang yang datang ke apartemen Nils pukul dua pagi seperti ini, dan aku mencoba agar tidak mengindahkan hal itu. Sebab tujuanku datang kemari bukanlah untuk mencampuri urusan Nils yang pastinya tidak ada gunanya untuk kehidupanku. Kutarik selimut hingga menutupi wajahku, lalu kembali memejamkan mata. Namun suara di luar itu terdengar makin jelas dan tinggi. Dadaku berdebar mendengarnya.
Kejadian itu berlangsung selama lebih dari lima belas menit. Semakin lama bersembunyi di balik selimut, rasa penasaranku pun kian membuncah. Akhirnya kusingkap selimutku pelan-pelan dan berjalan berjinjit mendekati pintu, lalu membukanya sedikit, memberikan celah bagiku untuk mengintip.
Nils sedang duduk berseberangan dengan seorang pria tua. Pria itu terlihat seperti seorang penjahat di film-film, dengan mantel panjang, wajah tirus dan mata cekung. Bibirnya memberengut, dan itu menambah kesan jahat pada dirinya. Tatapannya tajam dan serius. Walau demikian, gerak-geriknya menunjukkan kesan terpelajar dan kuat.
"Ini sudah pukul dua pagi, Ayah," kata Nils. Ia mengusap mata dan meletakkan buku dengan malas di atas meja.
Ayah?
Pantas saja wajah keduanya sangat mirip. Hanya saja wajah ayah Nils sudah dipenuhi kerut sana-sini.
"Lalu kenapa? Kau bisa berpesta dengan banyak perempuan sampai pagi, lalu kenapa kau tidak mau meluangkan waktu untuk ayahmu ini?"
"Itu masa lalu, Ayah. Aku tidak pernah pergi berpesta sampai larut lagi," sahut Nils, nada bicaranya menunjukkan rasa terganggu teramat dalam. "Lagi pula, aku bukannya tidak mau meluangkan waktu, tetapi kita bisa mencari waktu lain untuk berbicara, bukan?"
Ayah Nils menunjuk sesuatu di meja—aku tidak bisa melihat dengan jelas benda apa yang ditunjuknya. "Mengapa ini bisa terjadi?"
"Tentu saja bisa. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk memilih apakah dia ingin maju atau tidak. Ayah sendiri yang pernah mengatakan hal itu pada media."
"Jangan berbicara tentang hal lain," kata Mr. Rondhuis. "Yang kubicarakan adalah mengapa kau masih berhubungan dengan si jalang ini?"
Nils yang tadinya terlihat malas-malasan mendadak menatap ayahnya serius. "Yang Ayah sebut jalang barusan adalah ibuku."
"Dia cuma memanfaatkanmu," kata Mr. Rondhuis, nada bicaranya rendah namun kau bisa mendengar balutan kebencian di dalamnya. Dia terdengar tidak peduli dengan apa yang Nils katakan. "Tinggalkan dia sebelum terlambat."
"Mengapa Ayah harus selalu mengurusi hidupku? Tidak cukupkah Ayah mendikte setiap pilihan dalam hidupku sejak aku kecil? Aku sudah dewasa sekarang, jadi aku tahu apa yang kupilih."
"Kau memang selalu tidak pernah mengerti." Nada bicara Mr. Rondhuis penuh penekanan. "Kau lihat apa yang terjadi pada kita berdua ketika perempuan sialan itu hadir di antara kita?"
"Perempuan yang Ayah sebut sialan barusan pernah bercinta dengan Ayah, bukan?" sahut Nils santai.
Hening. Mr. Rondhuis persis seperti gunung berapi yang mengumpulkan lahar panas di dalam dirinya, siap meledak kapan saja. Tetapi dia kemudian menghela napas, seperti menghirup sedikit kesabaran lagi untuk menghadapi anaknya. Aku cukup terkejut bahwa pria itu bisa mengontrol emosinya menghadapi Nils sebegitu baik. Sejauh ini, tidak banyak orang yang bisa melakukan itu—malah menurutku, tidak ada.
"Ibumu tidak seperti yang kaupikirkan, Nils. Dia pengeruk yang licik. Dia akan mengeruk semua yang kaupunya hingga tidak tersisa satu sen pun darimu," kata Mr. Rondhuis.
Nils terkekeh. "Usaha yang bagus, Ayah," katanya. "Sampai hari ini tak satu koin receh pun keluar dari dompetku untuk Ibu. Dia membiayai semuanya sendiri. Dia memiliki mansion sendiri, mendapatkan uangnya sendiri dari sekolah musik yang ia dirikan, dan ia punya banyak investasi. Bila dia menginginkan uangku, maka yang ia lakukan ketika mencariku adalah meminta bantuan keuangan. Dan dia tidak melakukannya. Dia mencariku karena aku adalah putranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely, Your Boss [Nils Rondhuis]
Fanfiction"Kau tahu alasan mengapa aku naik kereta bersamamu?" "Agar pemerintah berterima kasih padamu karena telah mengurangi kemacetan di kota ini?" "Karena aku sedang berusaha untuk tidak membencimu." --- Sweet Mileva tahu benar cap yang melekat erat pada...