Pagi itu aku menyibak selimut dan membuat sebuah keputusan.
Aku tidak akan datang ke apartemen Nils dengan alasan sedang sakit.
Aku baru saja akan meraih ponsel di nakas ketika sebuah pesan berkedip di layar. Datangnya setengah jam yang lalu, sebelum aku bangun.
Kau harus datang pukul 10 nanti. Aku sudah membeli banyak bahan untuk dimasak. Kalau kau tidak datang aku akan memotong gajimu sebagai ganti bahan-bahan yang sudah kubeli.
Ya ampun.
Aku menekan kening.
Kalau saja ponsel ini memberiku fitur menjotos orang dari jarak jauh.
Dengan berat hati aku membalas kalau aku akan datang.
Kuletakkan ponsel di nakas lalu beranjak ke lemari. Ada banyak pakaian tergantung di sana. Aku menyibak, menyibak, dan terus menyibak. Pakaian apa yang cocok kupakai?
Bukan, jangan berpikir kalau aku ingin menyenangkan hati si berengsek itu dengan pakaianku. Aku cuma tidak mau dia menghinaku lagi. Pertemuan kali ini tidak boleh berakhir menjadi kesengsaraan baru. Dia mau berterima kasih padaku, sedangkan dia jarang berterima kasih. Jadi jelas aku tidak ingin mengacaukannya. Ini sebuah hal yang langka.
Akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada celana jins panjang dan kaus berwarna putih. Kaus ini punya tulisan di bagian dada, berbunyi "not a property of society". Aku bahkan tidak ingat kapan aku membeli kaus dengan tulisan sekeren ini. Dan ukurannya kebesaran saat kucoba. Kuputuskan untuk memermaknya asal-asalan--agar tidak terlihat seperti masih baru. Kugunting lengan baju dan bagian perut hingga ke bawah, lalu menjahit sedikit. Ini crop tee yang tidak buruk.
Setelah mandi, aku mengoleskan lotion dengan wangi lavendel, berdandan sedikit--tidak boleh terlihat terlalu berusaha, hanya agar dia tidak menghinaku, dan pada umumnya para pria juga tidak akan memperhatikan kalau perempuan memang berdandan--lalu mengenakan celana jins, crop tee, dan sepatu. Awas saja kalau dia berani menghinaku.
Sekitar setengah jam kemudian, aku sudah sampai di depan pintu apartemen pria itu--dia memberitahuku nomor apartemennya ketika aku sedang naik kereta bawah tanah. Ada angka "69" berwarna keemasan di permukaan daun pintu berwarna hitam itu. Entah kenapa aku merasa canggung melihatnya.
Aku menekan bel dua kali. Di ujung koridor, seorang wanita berambut pirang muncul dari lift, berjalan keluar dari sana. Dia mengenakan gaun putih selutut di balik kardigan biru gelap. Aku menekan bel lagi, lalu wanita itu berhenti di dekatku.
"Kau mencari siapa?" tanyanya, nada bicaranya ramah.
"Oh, aku mencari Mr. Rondhuis. Dia tinggal di sini kan?" Aku menunjuk pintu berangka 69.
"Nils? Oh, ya. Dia tinggal di sini," jawab wanita itu. "Kau siapanya?"
"Aku? Aku karyawati yang bekerja di kantornya."
Dia menatapku dari ujung sepatu hingga kepala. Wajahnya seperti mengatakan bahwa aku tidak meyakinkan untuk menjadi karyawati.
"Kau sendiri siapa?" tanyaku.
"Oh, aku tetangga Nils," jawabnya, disertai tawa yang aneh. "Tekan saja belnya lagi. Tekan dengan agresif. Dia tidak akan membukakan pintu kalau kau menekan bel terlalu sopan."
"Benarkah? Baiklah, terima kasih."
"Dan dia sedang berolahraga sekarang. Jadi tekan saja terus belnya," kata wanita itu sebelum melanjutkan langkah ke ujung koridor yang berlawanan dari arahnya datang. Dia lalu menaiki tangga. Buat apa dia berhenti di lantai ini dengan naik lift lalu naik tangga? Benar-benar aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely, Your Boss [Nils Rondhuis]
Fanfiction"Kau tahu alasan mengapa aku naik kereta bersamamu?" "Agar pemerintah berterima kasih padamu karena telah mengurangi kemacetan di kota ini?" "Karena aku sedang berusaha untuk tidak membencimu." --- Sweet Mileva tahu benar cap yang melekat erat pada...