"Dibunuh atau membunuh. Manusia itu saling membunuh."
Wajahnya penuh peluh keringat. Mata tajamnya mengunci wajahku. Tangan kirinya mengunci pergerakan sebelah tanganku, sedangkan tangan kanannya bersiap untuk mendaratkan tinjunya padaku. Aku menangkisnya. Dalam tiga puluh detik, aku membalik keadaan. Kini, kedua tangannyalah yang terkunci olehku dan kalau aku mau, wajah tampannya itu pasti sudah bonyok sekarang.
Dia tersenyum menyeringai. Mencemoohku. Dia selalu tersenyum seperti itu.
"Kau kuat, tapi konyolnya tidak akan pernah mampu membunuhku." cemoohnya.
Sialnya dia benar. Sampai kapan pun, aku memang tidak akan pernah mampu untuk membunuhnya. Tidak akan pernah. Tidak.
Aku melepaskannya, lalu mengibaskan tangan dan membenarkan seragam sekolahku, hal yang juga dilakukan olehnya. Dia menatap pergelangan tangannya yang kukunci tadi, matanya menyipit dan bibirnya melebar, "Aku suka gelenyar rasa sakit seperti ini." celotehnya. Aku memandangnya sebentar, lalu memutar bola mataku malas.
"Jangan tersinggung," ucapnya, "ini caraku mengagumimu." lanjutnya.
"Menjijikkan." sahutku asal.
Dia semakin menyeringai menakutkan, memperlihatkan deret giginya, yang sayangnya sangat mengagumkan. "Aku tidak bohong, kau tahu, kan? Aku benar-benar mengagumimu." kali ini dia melonggarkan dasinya, kancing kemejanya yang teratas membuka memperlihatkan leher jenjangnya. Leher jenjang dan rahang simetris, perpaduan yang terlalu sempurna untuk ukuran orang normal, tapi sayangnya dia bukanlah orang normal. Dia si gila yang mampu membuatmu mabuk kepayang hanya dengan satu lirikan saja.
"Kalau begitu, aku akan membuatmu lebih mengagumiku." Aku mengunci pergerakannya dari belakang. Satu tanganku menjerat lehernya, sementara satu kakiku juga mengunci pergerakan kakinya dari belakang. Dia tidak melawan, dia justru terkekeh pelan.
"Mau yang mana terlebih dahulu, lehermu atau kakimu yang harus kupatahkan?" bisikku.
Dia terkekeh lagi, merilekskan tubuhnya dan justru menyandar pada tubuhku. Aku dapat merasakan bobot tubuhnya padaku. "Terserah, pilih sebebasmu, asal jangan hatiku yang kau patahkan." dia juga berbisik.
HENING.
Aku sudah memutuskan apa yang harus kupatahkan pertama kali. Aku berbisik lagi, "Kupikir, aku tahu, apa yang harus kupatahkan pertama kali," dia mengernyit, masih diam, "lidahmu." lanjutku.
Dalam waktu kurang dari lima belas detik, keadaan sudah berbalik. Aku tidak tahu bahwa dibalik sikap rileksnya dia menyimpan kekuatan yang mampu membalik keadaan dalam waktu secepat itu. Dia menghadapku sekarang dan tanganku menyilang di antara perut kami dengan tangannya yang juga mengunciku. Sebelah tangannya yang bebas menaikkan daguku untuk membuatku menatapnya. "Lakukan!" perintahnya.
Aku diam.
"Patahkan lidahku kalau kau mampu, JK." dia berbisik sambil menarik tengkukku.
Aku mematung, aku dapat merasakan nafasnya, aku dapat merasakan betapa lembut bibirnya yang menempel pada bibirku. Aku membeku, tapi lidahnya yang menelusup di antara gigi dan lidahku sendiri terasa hangat. Panas.
Aku dapat melihat kedua bola matanya yang memandang milikku. Ada seringai yang terpancar di sana. Aku ahli dalam mengontrol pergerakan orang, aku ahli mengunci pergerakkan lawan, tapi sekarang aku terkunci sendiri oleh gerakan lidahnya yang membuatku tidak dapat melakukan apa-apa.
Aku tidak akan kalah darimu, V. Aku membatin.
Dan kali ini, giliranku yang beraksi. Mari lakukan sampai lidah kita ada yang patah.
****
eothhe?
vomment juseyo, reader-nim :)
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRASIA 2 - The Ghostwriter- [VKOOK]
Mystery / ThrillerDIBUNUH ATAU MEMBUNUH. "Aku tidak pernah percaya pada orang lain, tapi aku mempercayaimu, JK." -V "Sekali kau percaya padaku, kau harus percaya padaku selamanya, V." -JK Menurut V, pisau yang pernah mengoyak jantungnya itu tajam, tapi bagi JK, lidah...