Cuma mau bilang kalau gue cinta taekook dan gue kobam gegara foto taekook yang di dcon, dispatch itu 😄😘📓📓📓
V melemparkan buku, yang kemarin dikirim oleh Jin, kepadaku begitu ia muncul di kelas keesokan paginya. Aku mengernyit kemudian menatapnya, tapi ekspresinya sama sekali tidak terbaca. Aku menegakkan tubuhku, sepertinya dia menemukan sesuatu yang penting tentang buku itu.
“Bab 7, halaman 103.” ucapnya.
Aku mengernyit lagi tapi tetap menuruti perintahnya. Kubuka buku itu sesuai dengan instruksinya. Halaman 7, mataku menatap judul yang terpampang jelas di sana, “Bocah dari Daegu”.
Awalnya aku tidak merasakan apa-apa saat membaca judul itu, tapi begitu aku ingat bahwa kampung halaman V adalah Daegu, aku langsung mengernyitkan keningku lagi. Kutatap V sebentar dan dia menganggukkan kepalanya kepadaku. Aku melanjutkan membaca halaman itu.
Intinya adalah, kira-kira lima tahun yang lalu, atau pada tahun 2xxx, ditemukan sebuah mayat di tepi sungai Daegu oleh seorang kakek yang akan memancing. Mayat bocah laki-laki berusia 13 tahun. Awalnya memang tubuh itu diasumsikan sebagai mayat dengan luka tusukan yang serius, tapi begitu dibawa ke rumah sakit, statusnya berubah menjadi korban tusukan dengan luka kritis. Bocah itu selamat, dia masih hidup. Jantungku berdegup saat membacanya, seolah aku ada di tempat kejadian dan menyaksikannya sendiri, apalagi ada foto-foto di halaman berikutnya. Hatiku seperti teriris, rasanya sesak.
Aku ingin menyingkirkan apa yang saat ini sedang kupikirkan, tapi tidak bisa. Akhirnya, aku tidak bisa lagi melanjutkan membaca buku itu. “Buku apa sih ini?” aku bertanya pada V, tapi aku tidak berani memandang wajahnya.
“Selesaikan saja membacanya.” V memerintah.
“Tidak.” aku menolak.
“Keras kepala sekali, baca saja!” aku memang tidak sedang memandangnya, tapi aku tahu dia sedang menatapku.
“Aku tidak mau.” aku tetap menolak. Jujur, aku tidak bisa membacanya karena aku tidak bisa membayangkan V mati di depanku. Aku jelas-jelas tahu siapa yang dimaksud dengan bocah dari Daegu dalam buku ini. Aku tidak bisa.
Seolah tahu dengan apa yang sedang kupikirkan, V berucap dengan suara rendahnya, “Jangan cengeng JK, aku jelas-jelas masih hidup di depanmu saat ini.”
Aku masih belum berani memandangnya dan dengan kesalnya dia menarik daguku untuk menatapnya. Aku dapat melihat kedua bola matanya yang menatapku dengan binar yang memancar, berbeda sekali dengan mata tertutup dari bocah di foto yang ada di dalam buku.
“See.” ucapnya, “Aku di sini, kan?” lanjutnya. Aku menatapnya lurus dalam diam, otakku bertanya-tanya apakah bocah di dalam buku ini benar-benar pria yang saat ini sedang berada di depanku.
“Aku masih hidup JK, aku bahkan bisa mematahkan lidahmu berkali-kali.” dia berucap dengan nada yang seolah jengah dan sombong.
Aku membuang nafas halus, “Jadi begini caramu berbelit-belit menyampaikan kabar baik yang kau janjikan kemarin itu?”
Dia melepaskan tangannya dari daguku tapi tidak dengan tatapan dan seringainya yang mencemooh. “Salahmu karena tidak berhasil mematahkan lidahku.” ucapnya.
Aku ingin melawan sebenarnya, bagaimana aku bisa mematahkan lidahmu kalau kau mainnya bangsat begitu, tapi tidak kukatakan.
V menatap buku itu seolah mengisyaratkan bahwa aku harus meneruskan apa yang sedang kubaca. Aku membaca buku itu lagi dengan setengah hati, berharap bahwa bayangan seolah aku menyaksikan bocah itu terpejam dengan luka tusukan yang brutal tidaklah nyata, tapi semakin aku membacanya dan melihat foto-fotonya, aku semakin terseret ke dalamnya. Aku berulang kali menggelengkan kepalaku untuk mengembalikan fokusku. Di sampingku, aku merasakan tatapan V yang terus mengamatiku.
Rupanya, kasus yang dialami oleh bocah Daegu itu memiliki kesamaan dengan beberapa kasus lain. Pada tahun yang sama, ditemukan empat kasus serupa di daerah itu yang berakhir dengan tewasnya tiga bocah dari empat kasus. Dan kasus V adalah yang terakhir. Bisa disimpulkan itu adalah sebuah pembunuhan berantai dengan motif yang masih belum bisa diungkapkan sampai sekarang dan V adalah satu-satunya korban yang selamat.
Aku tidak tahu apakah harus bersyukur atau bagaimana, tapi setelah apa yang terjadi pada V, kasus itu berhenti.
Polisi yang menangani kasus tersebut pada masa itu sama sekali tidak menemukan apa-apa dan begitulah yang terjadi hingga saat ini. Kasus itu sama sekali tidak berkembang. Tidak ada benang merah yang saling terhubung, seolah pelakunya benar-benar lenyap tanpa perlu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Aku geram, tidak terima, seolah aku ingin mengoyak jantung si pelaku brengsek tersebut.
Aku menutup buku itu, kemudian menatap V. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan, tapi sedikit bisa merasakan apa yang selama ini dia rasakan. Perasaan muak atas kekalahan yang seharusnya tidak ia terima. Seperti balonku ada lima, tetapi meletus satu dengan tiba-tiba dan sekarang hanya tinggal empat. Perasaan ganjil yang aku yakini akan terus membayanginya selamanya.
“Apa kau benar-benar tidak bisa menemukan di mana si brengsek itu sekarang?” aku menjeda ucapanku, “dengan koneksimu yang luar biasa itu?” aku melanjutkan.
“Tidak, tanpa bantuanmu, JK.” dia membalas.
Aku mendengus, memangnya apa yang bisa kulakukan? V selalu beraksi sendiri dan tahu-tahu aku sudah tahu semuanya darinya, ingat? Dia sama sekali tidak butuh bantuanku, benar?
“Kau selalu beraksi sendiri kan, aku selalu tidak tahu apa-apa, hanya ikut pusing, lalu tiba-tiba kau sudah menyelesaikan semuanya. Aku sama sekali tidak berpengaruh.” kataku.
“Sayangnya,” matanya yang semula terpejam menjadi terbuka dan menatapku lekat, “hatiku yang tidak bisa tanpamu.” dan di sanalah cengiran bodohnya kembali terlihat.
Bodoh.
Aku berusaha mengabaikan tatapan dan ucapannya. Kenapa dia terus saja merusak kontrol emosiku, dasar biadab!
“Buku apa sebenarnya ini? Siapa Park Hwang Hee?” aku lebih memilih mengalihkan pembicaraan daripada harus membahas titik sensitif emosiku.
“Memoar, kau tahu, kan?” aku mengangguk dan dia melanjutkan, “Park Hwang Hee seorang reporter berita terkenal pada waktu itu. Memoar ini berisi kisah-kisah yang pernah diliputnya selama ia menjadi reporter, kau paham?”
Aku mengangguk lagi. Jadi, pada waktu itu si Hwang Hee ini meliput kasus V, tapi dia sudah meninggal dua tahun yang lalu.
“Jadi, yang dimaksud hadiah oleh Jin adalah kita bisa menyelidiki kasusmu lagi dengan menelusuri buku ini?” aku menyimpulkan dan V hanya mengangguk.
“Kita? Benar, kita.” V menyeringai menjijikkan seperti dia yang dulu.
Aku sendiri sedikit kaget dengan pemilihan kataku, tapi aku tetap berusaha untuk bersikap netral dan berucap sekali lagi, “Tapi penulisnya sudah meninggal?” ini lebih berupa pernyataan daripada pernyataan sebenarnya.
“Untuk itulah Jin merekomendasikan kita untuk mendatangi seseorang.” V berasumsi.
Aku mengangkat sebelah alisku, “dr. Jimin? Ada apa dengan dia?”
“Kau pasti terkejut jika tahu, JK.” V tersenyum simpul sambil terus menatapku, dia tampak senang melihatku yang sedang kebingungan. Mungkin tampang bodohku memang menjadi hiburan tersendiri baginya.
“Ayo kita temui dia.” ajaknya dan dia sudah berjalan keluar kelas mendahuluiku. Aku merinding saat kata ‘kita’ keluar dari mulutnya. Tidak, sebenarnya aku lebih merinding saat kata itu keluar dari mulutku sendiri.
****
Jangan lupa vote dan commentnya ya readers-nim 😄
Gomawo 😄😄Btw, gue ganti uname, ada yg sadar? *abaikan karena tidak penting
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRASIA 2 - The Ghostwriter- [VKOOK]
Mystery / ThrillerDIBUNUH ATAU MEMBUNUH. "Aku tidak pernah percaya pada orang lain, tapi aku mempercayaimu, JK." -V "Sekali kau percaya padaku, kau harus percaya padaku selamanya, V." -JK Menurut V, pisau yang pernah mengoyak jantungnya itu tajam, tapi bagi JK, lidah...