Act 1 : Ai dan Donat

162 9 13
                                    

—×××—

Yang namanya fobia itu bukan tanpa alasan. Pasti ada pemicu yang menyebabkan fobia itu muncul. Mungkin pengaruh lingkungan, perubahan fungsi otak atau trauma ...  —Aida Riaska.

—×××—


Lantai dua, 12 IPA 4.

Meja baris ke empat, baris yang paling jauh dari pintu kelas. Terlihat jendela berjejer menghiasi tembok dan menampakkan gerbang sekolah di bawah sana. Ai duduk di bangku ke tiga dari belakang bersama dengan Chika.

Ai senang melihat pemandangan dari luar jendela, oleh sebab itu ia memilih tempat duduk yang persis di samping jendela. Terkadang, jika sedang melamun, Ai akan menopang dagunya dengan tangan dan menengok ke luar jendela sambil memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang di depan gerbang sekolahnya.

Persis dengan apa yang dilakukannya saat ini.

"Maka dari itu, cos x sama dengan—Ai!" Guru matematika meneriaki Ai dari depan papan tulis.

Seketika suasana kelas menegang dan hening, seluruh mata tertuju pada Ai yang saat ini terkejut setengah mati mendengar namanya tiba-tiba disebut oleh guru killer. Ya, sepertinya guru itu merasa tersinggung karena Ai tidak memperhatikan materi yang sedang dijelaskannya saat ini.

"I-Iya, Bu?" tanya Ai gelagapan. Gadis itu berkeringat dingin melihat sang guru memberikan tatapan membunuh ke arahnya.

Chika—teman sebangkunya, menyikut lengan Ai, "Psst, setengah akar dua," bisiknya pelan.

Ai menengok ke arah Chika, "Eh?"

"Jawabannya setengah akar dua," bisiknya lagi sambil memberi isyarat dengan melirikkan matanya ke arah papan tulis.

Begitu tahu maksud ucapan temannya itu, Ai langsung membuka mulutnya, "S-Setengah akar dua, Bu."

Guru matematika, Bu Dwi. Guru yang terkenal sebagai guru killer di kelas 12, di sekolah yang di tempati Ai sekarang. Dan saat ini Ai dengan bodohnya membuat masalah dengan guru itu.

Setelah mendengar jawaban Ai, sang guru tak langsung menjawab dan justru diam sejenak sambil menarik nafasnya.

"Kamu itu ngapain, sih? Melamun di pelajaran Ibu, seolah tidak butuh pelajaran ini. Kalau kamu tidak memperhatikan, kamu yakin bisa mengerjakan soal UN*? Bahkan SBMPTN**?" tukas Bu Dwi.

Ai diam dan hanya membatin. Duh, mampus gue. Setelah sekian lama pura-pura merhatiin, sekarang gue beneran ke pergok nyembunyiin fakta kalau gue emang nggak suka pelajarannya. Duh, dulu gue suka matematika, tapi sejak gurunya killer gini, gimana caranya gue bisa connect.

"Kamu denger 'kan ucapan Ibu?"

"I-iya, Bu."

"Kamu itu mikirin apa sih? Pacar kamu?"

Ai tertegun dan membulatkan mata, "Bukan, Bu! Bukan!" sangkalnya.

Anjir, gue fobia cowok gini, gimana punya pacar. Arghh, gue juga bego, ngapain mikirin penyebab gue fobia cowok sampe melamun!

"Kalau gitu, coba kamu kerjain soal yang satu ini," suruh Bu Dwi sambil menunjuk ke soal yang tertulis di papan tulis.

Ai gelagapan dan berkeringat. Gadis berambut pendek itu masih terdiam di bangkunya.

"Nggak bisa?" tanya Bu Dwi memicingkan matanya.

"Maaf bu," jawab Ai lemas.

Mendengar jawaban Ai, Bu Dwi langsung berjalan ke arah meja guru yang berada di depan kelas dan membuka sebuah buku, buku daftar nilai para siswa kelas 12. Kemudian ia mencoret dengan pulpen dan menulis sesuatu di buku itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 03, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Takut Cowok?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang