'Selamat Tinggal,' dari Nesia-chan

1.5K 152 16
                                    

Ketika itu ... Sudah melewati masa-masa awal 300 tahun, sekarang pertengahan tahun, Belanda berjalan-jalan melewati sawah-sawah dan pribumi yang kelelahan dan juga pribumi yang diawasi oleh beberapa orang sewaannya.

Meresahkan, sesungguhnya orang-orang Asia lain datang dan ikut mengadu nasib di sini. Pernah sampai booming Warung Jepang. Atau sekarang masih booming?

Belanda menghela napas, sekarang tengah panas-panasnya perang dunia ke-II, beberapa orang Jepang mengungsi kemari dengan berdagang seperti orang Indonesia pada mulanya. Lama kelamaan, Belanda terkejut dengan lebih pesatnya orang Jepang dan juga hasil dagangan mereka yang naik melebihi penghasilan dagangannya sendiri.

"Ini tak bisa dibiarkan. Orang Asia itu." Belanda menggeram kesal, ia lantas pergi dari markasnya dan berjalan ke ramainya pasar mencari orang Jepang yang terasa berbeda dengan hiruk-pikuk pasar dan terasa sama seperti dirinya; yakni seorang personifikasi.

Ketemu! Pemuda baju kumuh dengan topi jerami dan roda barang dagangannya di pinggir kedai usang. Seorang pemuda yang tengah berbincang dengan seorang wanita muda berkebaya dan bersarung batik. Netherlands terdiam saat mengenali wanita tersebut ... itu Indonesia.

"Nesia, sedang apa dia di situ?"

Keduanya bercengkrama dengan saling ramah-tamah, tertawa dan terlihat akrab. Belanda diam di dekat gerobak pedagang asli Indonesia, ia diam menguping pembicaraan antara Nesia dengan Jepang.

"Oh, itu sungguh luar biasa, Nipon!"

"Sou desu ka? Aku juga senang mendengarnya darimu, Nesia-san."

Tak tahan, tanpa berlama lagi, Belanda langsung terjun ke tengah perbincangan ramah mereka dan memukul Jepang tepat di pipi kanannya.

"Astaghfirullah, Belanda! Apa yang kau lakukan?!" Nesia cepat-cepat menarik Belanda dan memisahkan Belanda yang hendak memukuli wajah Jepang.

Jepang hanya meringis dengan pandangan aneh kepada Belanda.

"Beraninya kau injakan kaki di tanah subur ini! Pergi sekarang! Urus sendiri negerimu yang tengah kelaparan! Nesia tak boleh ikut diserang oleh sekutu!"

"Tenanglah, Belanda!"

Belanda terus berteriak, Jepang hanya diam memandang dengan manik matanya yang seperti tak ada cahaya di dalamnya. Belanda terdiam, merasakan aura kejahatan dari wajah polos dan ramah Jepang.

"Nesia ... ayo kita bicara!"

"Eh?"

Nesia ditarik kasar oleh Belanda, membawanya terburu-buru keluar dari pasar dan masuk ke dalam kamar Belanda yang remang-remang dengan pintu kamar yang terbuka lebar.

"Aw, sakit, ada apa denganmu?!" Nesia berbalik setelah dilempar oleh Belanda.

Belanda memandang Nesia dengan penuh selidik.

"A-ada apa?" Nesia menurunkan sikap marahnya tadi, mulai merasa takut akan pandangan penuh selidik dari penjajahnya.

"Apa yang sedang kau lakukan tadi?" tanya Belanda dingin.

"Hah? Sedang apa katamu? Jika kau melihat dengan jelas, aku sedang menyambut Jepang, itu saja."

"Menyambut? Apa maksudmu? Kau biarkan dia berada di rumahmu!" Suara Belanda mengeras.

"Apa maksudmu berada di rumahku? Hanya sedikit mereka yang kemari, hanya berjualan, tak lebih. Mereka ramah, baik, dan sama sepertiku ... Sama-sama Asia." Wajah Nesia yang sesaat lalu masih kesal terhadap Belanda, perlahan mulai tergantikan oleh senyum kecil seiring ia membahas tentang negara Asia itu.

Belanda semakin tidak suka, ia mendekat lalu menarik tangan kiri Nesia ke atas. Nesia meringis sakit.

"Apa-apaan kau itu?!"

"Diam di sini sampai aku selesai mengusir Jepang."

"Hah?! Apa maksudmu mengusir Jepang?! Jangan ganggu dia! Jangan ganggu teman sesama Asiaku!"

"Dia harus disingkirkan, kalau tidak—!"

"Kalau tidak dia akan menghambatmu, begitu?!"

Belanda terdiam, tercekat dan tertegun.

"Aku tahu kerakusanmu ... Lepaskan ...." Nesia berwajah dingin, kentara bencinya amat terlihat.

Belanda dibuat tercengang. Perlahan tangan Nesia yang ia cengkram kuat ia lepaskan.

Kemudian ... Belanda merasakan berbagai kesakitan yang menikam dadanya. Pertama; sudah pasti dia cemburu. Kedua; ada yang terjadi dengan rakyatnya yang tinggal di bumi subur ini.

Nesia ... tersenyum simpul.

Belanda berlutut, terbatuk kuat dengan raga yang dirasanya letih.

"Aku sudah muak denganmu, Belanda. Aku tak membenci; aku bahkan menyayangimu. Jika secara rengekan dan bicara baik-baik kau tak mengizinkanku tuk merdeka. Maka seperti yang dibilang Jepang ... Hanya jalan kekerasanlah yang mampu mengabulkan keinginanku itu." Nesia perlahan berjongkok, menatap Belanda yang balik menatapnya dengan ketidakpercayaan.

Belanda dalam keadaan lemahnya itu menggeleng perlahan, ke kanan dan ke kiri, mengusir ucapan Nesia tentang kekerasan yang terngiang-ngiang di kepalanya.

"Jangan ... pergi ... kau Usagi-chan milikku." Tangan kanan Belanda terulur, hendak menggapai wajah manis yang memandangnya dengan datar.

"Aku bukan ... Usagi-chan milikmu, atau pun milik siapapun. Nipon pelindung Asia, dia datang dengan misi membebaskanku darimu." Nesia menangkap tangan Belanda.

Belanda terengah-engah, pandangannya mulai tak jelas, keringat membanjiri wajahnya serta setetes darah mengalir dari ujung bibir kanannya.

"Terima kasih, Belanda." Nesia mengecup kening Belanda dengan khidmat dan lama. Belanda perlahan memejamkan matanya.

...

"Terima kasih, Belanda atas apa yang kau perbuat padaku. Ada kalanya aku bersyukur kau ada di sini mengekangku, ada kalanya sebaiknya kau tidak pernah datang dan mengganggu rumahku. Terima kasih, Belanda, setidaknya kau merawatku ... sampai sebesar ini."

...

Bersambung...

Nesia-chan (Hetalia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang