3. Berbanding Lurus

211 18 1
                                    

Pagi menjelang siang yang bersemangat. Aisha sudah ada di atas genting asramanya. Asrama tua yang warna gentingnya sudah bercampur hijau kehitaman.  Yah, genting-genting rapuh termakan usia, seperti kerapuhan cinta monyet remaja laki-laki yang hanya berani bilang cinta di belakang, alias tanpa sepengetahuan ayahnya si gadis.

"ngapain Mba diatas genteng?" tanya Anin yang tak sengaja lewat, dan melihat mbak kesayangannya ada diatas sana.

"benerin genteng. Kemaren malem anginnya gede banget jadinya gentengnya pada terbang. Takutnya pas hujan bisa bocor kamar aku."

"Yah.. Mbak. Kan bisa minta tolong Mang Udin."

"Mang Udin lagi benerin wc mampet di asrama depan dan kran2 bocor di tempat wudlu asrama putra, pasti seharian. Sekarang kan musim hujan, Nin. Kalo nanti sore hujan gimana coba."

Ya ampuuun, mba Aisha ini gak pernah diem deh. Kan itu kerjaan laki-laki. Minta tolong kang santri coba.

Ucap Anin dalam hati.

"Nin, daripada diem, coba ke belakang asrama, bawain dua genteng ya. Ini ada yang pecah soalnya. Nanti mbak kasih upah."

"upah apa?" tanya Anin.

"Upah bakso beruntung."

"bakso beruntung?!" Anin kebingungan.

"ya ilah di fikirin,maksudnya bakso malang loh, Aniiin. Udah jangan banyak tanya, ambilin ya, segera."

"oh, hehe iya mba." ucap Anin bergegas ke belakang asrama.

Sambil menunggu Anin mengambil genting ke belakang asrama, Aisha melihat sekeliling pondok pesantren. Dan ketika pandangannya sudah berputar 180 derajat berjarak kira-kira 30meter, Ia melihat sesosok laki-laki sedang membuka kitab sambari berdiri di teras masjid lantai dua. Aisha mengecilkan matanya untuk melihat sesosok lelaki itu, karena kacamata yang ia kenakan sudah kurang cocok.

Itu siapa ya? Kok jadi penasaran.

Pria berbatik hijau sedang berdiri tegap, namun Aisha hanya melihat bagian sebelah kanan sosok itu. Sosok yang sepertinya ia kenal namun belum yakin ia siapa. Aisha pun melihat pria tersebut sedikit lama. Sampai pada saat pria tersebut menoleh ke kanan, sehingga pandangan pria itu berbanding lurus ke arah Aisha.

Aisha masih mengecilkan matanya kembali, dan ia mulai sadar siapa yang ia pandangi dari tadi.

Itu kan... Ustadz Ilman!!!

Aisha segera menundukkan kepala sambil menutup wajahnya dengan tangan kanan dan segera melipir ke pertengahan tangga. Ia berhenti di tangga itu sembari memukul-mukul kepalanya.

Kenapa aku tadi ngeliatin segitunya?! Nanti dikira mandangin beliau lagi. Aduhhh!!!

"mba, ini gentengnya." Anin datang memecah kerisauan.

"ha? (Aisha menoleh ke belakang) oh iya, sini." kemudian menyambut genting yang Anin berikan.

"mbak sakit kepala?" tanya Anin sambil mengerutkan dahi.

"ha? Enggak kok, Nin." ucap Aisha sambil menggelengkan kepala.

"tadi kenapa mukulin kepala?" tanya Anin merasa aneh.

"oh, itu, tadi gatel kepalanya, hehehe." jawab Aisha kikuk.

"gatel kepalanya kok dipukul. jadi kalo ada maling, digaruk, dong? Hmmm..ck..ck.." Anin kemudian menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia sering mendapati tingkah aneh Mbak kesayangannya itu.

"heheh kamu bisa aja, Nin." ucap Aisha sambil tersenyum kikuk.

"ya udah naik mbak, ngapain diem aja? cepet pasang, cepet leren, aku punya terasi goreng."

Santri Baja HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang