5. Jeruk dari Bu Nyai

182 17 3
                                    

'tok..tok..'

"Assalamu'alaikum..."

"wa'alaikumussalam" jawab dari dalam ruangan.

'kreeek' pintu dibuka.

"oh ustadz, maaf, eh..ini.. Ada perlu." ucap Anin gemetaran.

"siapa yang ada perlu?" tanya Ustadz Ihsan.

"mbak ini ustadz." ucap Anin sambil menunjuk ke arah Aisha.

Aisha kaget.

Aniiiiin!!! Kenapa kalimatnya menjadi samar seperti itu?! seharusnya bilang saja hanya mengambil barang. Pake tunjuk aku segala!!

"oh, silakan masuk."

Ustadz Ihsan kembali duduk, dan melanjutkan berbincang-bincang.

Anin mendorong Aisha, dan sebaliknya, Aisha pun mendorong Anin. Mereka sangat sibuk sendiri. Akhirnya mereka saling tarik untuk masuk ke kantor.

"mohon maaf pak, peraturan tetap peraturan, harus diberlakukan secara merata kepada seluruh santri. Bagaimana nantinya jika peraturan hanya diterapkan untuk sebagian santri saja." ucap Ustadz Ihsan dengan tegas namun sopan.

"saya bukan minta diistimewakan sebagai anak raja, tadz, saya cuma minta dipertimbangkan kalau mau menta'zir, masa saya sama dihukumnya dengan yang sering melakukannya. Saya baru sekali ini tadz." jawab  seorang santri.

"kamu maunya bagaimana, pondok pesantren ini sesuai kemauanmu?"tanya Ustadz Ihsan sedikit menaikkan nada bicaranya.

"bukan begitu pak ustadz, anak saya ini kan rajin jamaah, rajin mengikuti segala kegiatan yang ada dipondok. Saya kira kurang pas jika dia disamakan dengan temannya yang tidak rajin." jawab pria yang lebih tua, wali santri tersebut.

"mohon maaf, ini kesimpulan dari mana? Siapa yang menyamakan anak bapak dengan yang lain? Apakah ada dari kami yang mengucapkan ia seburuk temannya?"

Aisha dan Anin masuk ke ruangan.

"oh iya nduk, ada apa?"

"ini... Mau.. E..." ucap Aisha terbata-bata.

"jadi begini ya pak, ta'zir adalah hukuman agar si pelaku jera. Sekali lagi adalah se-bu-ah hukuman, bukan status seseorang. Jika memang  pelanggaran A hukumannya adalah A, maka mau tidak mau, si pelaku dihukum A. Mau dia rajin, mau dia malas."

Anin berbisik kepada Aisha, "kenapa kita jadi gagu gini ya kak? Padahal, kan, cuma mau ambil plastik hitam."

Aisha menaruh jari telunjuk kanannya ke depan bibirnya sendiri. Menisyaratkan agar Anin diam.

"iya saya tau, tapi betapa sia-sianya anak saya jika kerajinannya tidak berdampak kepada kemudahannya disini?"

"yang membuat anak bapak rugi dan sia-sia adalah anak bapak dan pemikiran bapak sendiri. Kenapa sifat rajinnya anak bapak hanya ingin terbayar dengan keringanan hukuman? Padahal kerajinan dan keaktifan anak bapak bisa terbayar lebih dari itu."

Sang wali santri terdiam, mulai memahami apa yang Ustadz Ihsan ucapkan.

"kalau begini caranya, santri yang rajin juga lama-lama akan malas jika tidak dapat penghargaan dari para asatidz." celetuk santri tersebut.

"kamu mau dihargai bagaimana lagi? Ustadz-ustadzmu, kiayi-kiayimu ini setiap hari mendoakan kebaikan dunia dan akhirat untuk santri-santrinya. Kesuksesan mu menata kehidupan yang barokah, akidahmu, amaliah ibadahmu setiap hari difikirkan oleh ustadz-ustadzmu."

Santri tersebut tetap mengerutkan alisnya. Pertanda ia belum puas dengan semua penjelasan Ustadz Ihsan.

Seketika itu, Ustadz Ilman menghampiri dan merangkul santri tersebut.

Santri Baja HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang