2. Ada yang Baru Nih!

305 21 6
                                    

Malam pertengahan bulan Rajab, bulan berbentuk bulat sempurna, dan membantu cahaya lampu latar madrasah yang tak begitu terang.

Langkah Aisha dan Salma sedikit terburu-buru, mereka berangkat sedikit lebih lama dari biasanya, karena Salma sedang sakit perut. Dan Aisha diminta menunggunya buang hajat ba'da jamaah isya.

"aduh semoga nggak telat ya Aisha, malu masuknya kalau sudah ada Ustadzah Lulu."ucap Salma cemas.

"iya, semoga aja."jawab Aisha.

Ketika mereka berdua sampai di depan pintu, mereka lega, karena belum ada Ustadzah Lulu.
Mereka pun segera duduk di bangku paling depan.

Tak lama kemudian, pundak Salma di sentuh oleh santri di belakangnya.

Salma menoleh.

"Bu lulu sudah nggak ngajar Bulughul Maram, katanya sih diganti Ustadz baru."

"yang bener kamu?"

Santri itu mengangguk. Kemudian datanglah pria berbatik hijau, dan segera duduk di tempat guru.

Tampilan yang sangat biasa, bukan sesosok pria berkulit putih, dan berhidung runcing bak para habib, bukan pula bermata sipit seperti oppa-oppa Korea.

Aisha melihat wajah itu, dan mendiamkan pandangannya dua detik, lalu mengedipkan matanya berulang-ulang. Wajah itu membuat jantungnya berdesir.

Astaghfirullah... Kenapa ini?

Setelah pria tersebut mengucapkan salam, Ustadz baru tersebut diam sejenak, mungkin menyiapkan kalimat pembuka.

Tak lama kemudian beliau mulai memperkenalkan diri.

"Nama saya Alif Ilman. Panggil saja Kang Ilman. Saya dari Pondok Pesantren didaerah Jember. Saya disini diamanahkan untuk mengajar kitab Bulughul Maram."

Singkat dan padat. Perkenalan ustadz baru begitu sederhana, namun cukup untuk membuat benih pesona di benak Aisha. Senyumnya yang kadang sesekali menutup kalimat yang ia ucapkan menambah indah bingkai wajahnya yang teduh nan bersahaja.

Batik yang ia kenakan berwarna hijau, selaras dengan sampul kitab yang lembarnya ia bolak-balik sembari sedikit bercerita tentang pengalamannya. Semua ia ceritakan begitu ringan. Hanya cerita hidup dan perjalanannya bisa sampai di pondok pesantren ini.

Aisha tak bisa mengelakkan matanya, biasanya ia terkantuk ketika pengajian dimulai, malam ini ia begitu berbinar. Menelaah dengan terperinci gaya berpakaian, gaya bicara, dan gerak-gerik yang begitu tenang.

Aisha terus mengulang kalimat istighfar karena tak kunjung merasa hatinya tenang.

"Astaghfirullah... Baru kali ini liat manusia sampe begini..." gumamnya sembari menggelengkan kepala sambil kembali menundukkan pandangan bukan murni untuk ta'lim saja itu.

"kenapa menggelengkan kepala?" tanya Ustadz Ilman.

Sontak kelas menjadi hening.

"ini yang berkacamata."

Aisha terkejut.

"eh... Menghilangkan ngantuk, tadz."

"oh iya bagus, berarti berusaha untuk fokus."

Aku berbohong. Padahal aku tidak mengantuk sama sekali seperti biasanya.

...

Aku menoleh ke belakang, semua tampak begitu biasa saja. Apakah mereka memang tak terkesan dengan perkenalan ini?
Aku berbeda. Ketenangannya membuat aku tertarik mengamati setiap gerak-gerik Ustadz Ilman. Setiap ia melihat langit-langit ruangan dan mengkerutkan alisnya, mencoba mengingat sesuatu yang sedang ia ceritakan, aku memperhatikannya dengan teliti. Luar biasa. Tak mencoba kah ia mencari perhatian kepada kami? Mencoba menceritakan apa yang patut dibanggakan. Minimal untuk terapi agar kami sungkan padanya. Gadis-gadis yang sebenarnya tak begitu buruk rupa dan santri-santri yang tak terlalu nakal ini.

Santri Baja HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang