"Selamat sore semua!" sapa seorang gadis remaja dengan balutan syal merah hati tebal dilehernya. Ia tersenyum hangat ke arah para pengunjung cafe, yang melihatnya antusias, seakan-akan tak sabar dengan dendangan merdu yang kelak gadis 21 tahun ini keluarkan.
Ia mengedarkan pandangannya, menyapu seluruh pemandangan cafe ini dari sudut ke sudut. Memejamkan mata, mencoba mendalami penghayatan terhadap puisi yang kelak akan ia musikalisasikan dihadapan para pengunjung cafe ini.
Ia mulai memetik gitar, sebuah suara lembut keluar dari bibir mungilnya.
'Andai angin mampu bicara
Coba lontarkan dendanganku
Tentang bagaimana cinta menumbuh rasa
Tentang bagaimana hati memupuk jiwa'Semua pengunjung terenyuh, seolah terhipnotis akan bait yang digumamkan gadis itu.
'Andai air mampu bergumam
Ceritakan ia tentang aku yang mengaguminya
Lebih darimana aku mengagumi perangai bintang
Lebih dari bagaimana aku mencintai semestaKu tak mampu rapalkan isyarat
Aku hanya mampu bersajak
Karna bukan dengan lidah ku bicara
Namun dengan pena ku ungkapkan semuaDuhai pangeranku,
Mampirlah ke baitku
Kan ku buat sejuta lagu
Untuk mengagumimu yang tak pernah tau bahwa ku mengagumimu
Untuk menyukaimu yang bahkan kau tak tau ku menyukaimu..."Semua bertepuk tangan riuh. Gadis itu kembali tersenyum, lalu beberapa petikan gitar kembali terdengar. Gadis itu tersenyum dalam, matanya perlahan menutup.
'Duhai pangeran,
yang bahkan tak tau aku ini ada...
Hwa....
Duhai pangeran...'Atmosfer cafe kembali dipenuhi tepuk tangan. Beberapa berdiri sebagai sebuah penghormatan dan pujian, membuat sang pemeran utama didepan panggung itu, ikut tersenyum haru terhadap respon orang-orang yang berpartisipasi mendengarkan musikalisasi puisinya.
Gadis itu membungkuk hormat, lalu perlahan berjalan turun dari panggung. Tangannya masih gemetar, terlihat dari ia yang kini memegang gitar dengan kedua tangannya dan dipeluk erat-erat. Sengaja, agar tak kentara bahwa kini ia tak mampu menutupi rasa gugupnya. Padahal penampilannya baru saja usai dan begitu hebat, bukan?
"Wow! Keren!" ujar seseorang membuat gadis itu memberhentikan langkahnya.
Ia segera berbalik, ditemukannya seorang laki-laki berjaket bomber biru dan celana jeans model dedel tengah memberinya sebuah tepuk tangan. Gadis itu hanya mengernyit, badannya tak sepenuhnya berputar untuk menghadap laki-laki itu. Untuk berapa lama, ia pun menerbitkan senyum tipisnya, takut-takut dibilang sombong.
"Alden Bimaaksa." ucap laki-laki itu mengulurkan tangannya. Tapi, lagi dan lagi, gadis itu hanya mengerutkan keningnya.
Laki-laki itu tertawa hangat, "Kenapa? Gak cukup jelas ya maksud gue? Oke, gue ulang." ujar laki-laki itu sambil tertawa kecil.
"Nama gue Alden Bimaaksa. Biasa dipanggil Alden. Kalo lo mau panggil sayang juga boleh. Kalo lo, siapa?" tanyanya hangat, kembali mengulurkan tangannya. Gadis itu tersenyum kikuk, ia tak pernah menemukan laki-laki spesies seperti ini.
Untuk beberapa saat, gadis itu hanya diam. Bingung ingin berkata apa, entah apakah bila ia menjawab pertanyaan laki-laki ini merupakan hal yang tepat atau tidak.
Laki-laki itu kembali tertawa, padahal ia rasa tak ada sedikit pun konteks antara mereka yang terbilang lucu. Jadi, wajar 'kan kalau ia makin mewaspadai laki-laki ini?
"Lo kok gak mau jawab-jawab sih? Oh, atau lo nih yang mau dipanggil gue sayang?" goda laki-laki itu sambil tetap tersenyum hangat. Gadis itu membelakakan matanya, ia segera menyambut uluran tangan laki-laki itu.
"Tsabita Aurellia. Panggil aja Tsabita." jawabnya pada akhirnya, membuat laki-laki itu makin memperlebar senyumannya.
"Nama yang cantik, kayak orangnya." gumam laki-laki itu.
"Hah?" Tsabita menuntut ulang. Laki-laki itu lekas menggeleng, tak lupa menerbitkan senyumnya itu.
"Enggak, gak jadi. Oh ya, gue punya kehebatan loh!"
Tsabita hanya terdiam, memilih untuk sekedar mendengarkan ocehan tidak jelas laki-laki itu.
"Gue bisa meramal. Lo mau gak gue ramal?" tanya laki-laki itu, Tsabita tetap saja terdiam.
"Aduh, lo diem melulu. Kata orang, kalau orangnya pendiam, pasti pacarnya orang bawel. Kayak gue misalnya."
Tsabita mendengus kecil, membuat laki-laki itu kembali tertawa. Setelahnya, dengan tiba-tiba laki-laki itu mengambil telapak tangan Tsabita tanpa izin. Membuat Tsabita segera menarik telapaknya dari genggaman laki-laki itu. Namun, apa daya kekuatan laki-laki itu untuk menahan tentu lebih kuat ketimbang ia yang notabene-nya memang perempuan yang lembut.
"Sebentar pinjem tangannya, gue mau ngeramal." jelasnya sambil terkekeh kecil, lalu matanya memasang mimik sok serius. Setelahnya, laki-laki itu mengeluarkan sebuah pena tanpa bajunya. Maksudnya sebuah isi tintanya saja, tanpa ditutupi dengan pulpen. Ia mulai seperti mengikuti garis tangan yang terdapat ditelapak Tsabita. Ya, walau ia tak mampu melihat jelas apa yang tengah laki-laki itu lakukan.
Tsabita makin jengah, sepertinya laki-laki dihadapannya kini bukanlah orang yang waras. Kok bisa ya dicafe se-elit ini orang tidak waras berkeliaran?
"Menurut ramalan gue, satu bulan lagi lo bakal punya pacar yang ganteng dan sayang banget sama lo." suara laki-laki itu membuyarkan pikiran Tsabita.
"Mau tau gak namanya siapa?"
"..."
"Namanya Alden Bimaaksa." bisiknya, yang kemudian berlari keluar cafe.
Tsabita mengerutkan kedua alisnya. Cowok tidak jelas. Ia pun memilih mengabaikannya. Lalu, ia kembali meraih gitar yang tadi tak sengaja ia sandarkan pada dinding. Dan saat itu, ia melihat dan baru sadar, ada sederetan kalimat yang membuat kembali timbulnya guratan diwajahnya.
'Syg1205, ID Line orang ganteng. Jangan lupa di add ya, calon pacar :))'

KAMU SEDANG MEMBACA
COLOUR [END]
Short StoryTerkadang, hal yang paling menyakitkan adalah melakukan dan mencoba suatu hal berulang-ulang, walau kita tau pada akhirnya akan tetap sama. Dan hal yang lebih menyakitkan adalah, mengetahui kita sebodoh itu untuk tak pernah henti melakukannya. Tapi...