L

20 4 0
                                    

Alden berlari kecil, setelahnya ia memastikan dari balik semak, bahwa Tsabita membaca pesan yang ia tinggalkan.

Setelah matanya menangkap hal itu, ia pun segera keluar dari persembunyiannya dan lekas berlari mengikuti anak sungai itu.

"Ah, ketemu!" ujarnya cukup histeris. Diraihnya sebuah tangkai yang tergeletak ditanah, lalu beringsut ke tepi sungai. Tangannya mencoba menggapai benda yang kini berenang tenang disungai itu.

Sebuah perahu kertas.

"Yes, dapet!" ujarnya lagi, tak peduli bila kini celana bahan warna birunya sudah kotor akan tanah. Ia segera duduk dengan kaki bersila. Dibukanya lipatan sederhana kertas kerajinan itu. Tampak barisan kalimat dengan tulisan cantik dan indah.

Tulisan yang membuat Alden jatuh cinta untuk pertama kalinya.

'Coba tanyakan bagaimana bulan merindukan malam
Disyairkannya sebuah harapan pada bintang
Yang takkan sirna akan sinarnya
Agar kelak disampaikkannya rindu yang tak berkesudahan

Coba tanyakan bagaimana matahari jatuh cinta pada sang awan
Disajakkannya senyum yang beranak ketika ia menatapnya
Dibaitkannya degup yang berkejaran irama didekatnya

Coba tanyakan bagaimana aku jatuh hati pada perangainya
Ku tuliskan untaian kata, agar kelak kau sampaikan padanya,
Perahu kertasku,

Untuk dia,
yang tak terlupakan
K.B.N'

Dan pula membuat ia tau, seseorang yang berhasil membuat Tsabita jatuh cinta.

💐

"Karel!" panggil Tsabita terpogoh-pogoh. Dinaikkannya kembali tali ransel yang merosot dari bahunya.

Ia tersenyum lebar, lalu tangannya mengulurkan sebuah buku bersampul kain flanel merah muda serta beberapa hiasan bunga edellweiss.

"Nih, katanya kamu mau baca-baca sajak aku." ujar Tsabita masih dengan senyumannya.

Laki-laki dihadapannya menggaruk-garuk tengkuknya, bahkan tangannya belum sampai mengambil alih buku yang diulurkan Tsabita.

"Kenapa?" tanya gadis itu, menemukan raut bingung yang terdapat pada wajah laki-laki itu. Laki-laki itu tersenyum, lalu perlahan memegang kedua bahu Tsabita lembut.

"Sorry banget, Ta. Gua lagi sibuk nyusun materi, kan lo tau dikit lagi gue sidang. Takutnya, gak keburu baca punya lo." jelas laki-laki itu, Tsabita hanya terdiam sambil menatap mata laki-laki itu lamat-lamat.

"Gue pinjemnya nanti aja ya?" tambah laki-laki itu tersenyum lembut, Tsabita hanya mendengus kecil. Ia menyebikkan mulutnya kesal, lalu segera mengangguk walau mulutnya masih mengerucut kesal.

"Iya deh iya, yang mau lulus mah beda." ledek Tsabita yang dibalas kekehan kecil oleh laki-laki itu.

"Karel."

"Hmm?" tanggap Karel cepat.

Tsabita menatap sekitar, mulutnya diulum kedalam. Tampak berpikir tentang kalimat yang akan ia lontarkan.

"Kamu... nanti ada acara gak?" tanya Tsabita perlahan, bahkan sayup-sayup tak terdengar.

Karel berpikir sejenak, lalu menggelengkan kepalanya. "Enggak tuh, emangnya kenapa?"

"Aem..." Tsabita menggigit bibir bawahnya. "Mau makan siang bareng aku ga?"

"Oh iya!" Karel menepuk dahinya. Ia meringis, "Gue baru inget Ta, nanti siang gua ada makan siang bareng Cassie." ungkap Karel tak enak. Ia tersenyum sungkan pada Tsabita.

Sedang Tsabita, terlihat wajahnya memuram. Kepalanya menunduk untuk memperhatikkan sepatunya yang kini memainkan tanah asal.

Ia mengangguk dan tersenyum tipis. "Oh gitu."

"So-sorry ya Ta. Gue lupa beneran." ujar Karel lagi, menggenggam telapak tangan Tsabita.

Tsabita tersenyum, lalu menengadah untuk menangkap wajah Karel secara jelas.

"Iya, gak papa Karel Benata Nichol. Aku gak papa." jelas Tsabita menekankan tiap katanya.

Karel tersenyum, tangannya gemas mencubiti pipi Tsabita yang gembil dan kemerah-merahan.

"Ya udah, aku duluan ya. Cassie udah nungguin di kelas, mau nanyain soal skripsi." ujar Karel pamit, Tsabita hanya mengangguk.

"Hah... Cassie lagi, Cassie lagi." ujar Tsabita mencebikkan mulutnya, sepatunya nakal menendang pelan kerikil yang berada disekitarnya. Kemudian, berjalan lesu menuju sebuah pohon rindang, dan duduk memeluk lutut, dibawahnya.

"Tapi kenapa harus sahabat aku sendiri yang jadi saingan aku?" tanya Tsabita lemah, ia mendesah kecewa. Tanpa tau, dibalik pohon yang kini ia duduki ada pula orang yang jauh lebih kecewa, tentang bagaimana Tsabita merasa kecewa karena seseorang.

COLOUR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang