COLOUR

26 3 0
                                    

Diluar awan seakan mengepung daerah Bogor, gulita menyerbak dimana-mana. Memberi kegelapan dengan sesekali suara petir mencabik. Tak lama, titik-titik hujan nakal membasahi pertiwi. Seakan momen yang tepat bagi gadis itu yang memang rindu bermain dibawah tapak hujan.

Ia tertawa kecil, disingkirkannya anak rambut ke belakang daun telinga. Tangannya menengadah bebas, seolah meminta air hujan lekas turun ke bumi pertiwi.

"Tsabita!" panggil seseorang setengah berteriak, tampak raut wajah khawatir disana.

Sedang gadis itu, lekas menengok ke arah laki-laki itu sambil mengayunkan tangan ke arah tubuhnya. Mengisyaratkan kata 'kemari!'.

Laki-laki diseberang sana geleng-geleng kepala, lalu berdecak dan pada akhirnya ikut berdiri dibawah guyuran hujan. Ia segera menangkupkan jaket yang dikenakannya ke kepala gadis itu.

"Jangan ujan-ujanan, nanti sakit." ujar laki-laki itu berceloteh. Tsabita justru tertawa jahil, alis matanya naik turun, senang menggoda tingkah laki-laki yang kini bahkan tak berjarak dengannya.

"Cieee... ada yang khawatir!" Tsabita mencoel-coel dagu Karel. Karel segera menepis jari-jari lentik Tsabita.

"Apaan sih, Ta!"

"Udah yuk, nanti kamu sakit." tambah Karel, ia segera menuntun Tsabita menuju rumah Tsabita. Mau tak mau ia turut akan langkah jenjang Karel.

Tsabita tersenyum dibalik lengan Karel yang kini menyelimuti tubuhnya.

Ia bergumam, "Tau gak, sampai sekarang aku masih gak percaya. Kalau pada akhirnya kamu memilih aku."

Karel menyunggingkan senyum tipisnya, lalu mempercepat langkah agar Tsabita tak lebih banyak terguyur hujan. Mempercepat langkah, agar hatinya tak terluka mendengar topik yang membuat cintanya berujung duka.

💐

"Petrichor..." gadis itu berbisik, sambil tangannya merambat ke dinding-dinding kaca yang menjaga rumahnya. Ada titik air disana, bukan, bukan hanya pada kaca yang memang dikarenakan diluar hujan. Tapi pula pada mata hitamnya yang kini kehilangan cahaya.

Ia menghembuskan nafasnya kasar, ditepisnya air mata yang menyentuh kembali tiap mili lukanya.

"Enggak, Sie. Enggak. Memang sebaiknya seperti ini. Memang seharusnya seperti ini." ucapnya bermonolog.

Namun sayang, ia sadar kini ia sendiri. Tak ada alasan lagi untuk berpura-pura kuat. Tak ada lagi alasan untuk mencoba tegar. Pada akhirnya, ia kembali terlahir dengan pribadi yang lemah.

Ia kalah.

Air mata jatuh dari pipinya, lalu disusul air mata lainnya. Bahunya bergetar hebat, dan perlahan tubuhnya merosot begitu saja jatuh ke lantai. Tanpa sadar, tangannya masuk ke dalam saku bajunya. Diraihnya sebuah kertas yang sudah beberapa robekan menghiasnya, berisi tulisan ceker ayam, yang bahkan Cassie mengingat jelas tiap memori yang ikut andil didalamnya.

'Lo percaya serendipity? Tentang sebuah hal luar biasa, yang terjadi karna garis kebetulan?

Kalau lo mau tau, gue percaya itu. Amat teramat percaya. Karna serendipity yang mempertemukan gue pada gadis cantik dengan beberapa polesan bedak dan lipstik tebal diwajahnya menangis disisi terminal. Yang bahkan gue pikir, mana ada orang gila secantik ini?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 07, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

COLOUR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang