O

17 3 0
                                    

"Tsabita!" seorang gadis berpita kuning cerah tersenyum, ia melambaikan tangannya ke arah gadis lainnya yang kini duduk sendirian ditaman. Tak lupa dengan ditemani sebuah bukunya, mengabaikan sapaan yang baru saja terlontar untuknya.

"Ish, kok sombong sih? Jarang main lagi!" Cassie kini sudah mendekat ke Tsabita. Ia mencubit pipi Tsabita gemas, lalu tertawa karna reaksi Tsabita yang melotot geram padanya.

"Rupanya nona seribu satu sajak ini tengah sibuk merangkai kata-katanya ya!" ujar Cassie lagi ceria. Matanya melihat sederetan kalimat didalam buku itu, namun cepat-cepat Tsabita tutup.

Cassie berdecak kecewa, "Yah, kok masih gak boleh liat sih? Padahal 'kan kamu juga udah musikalisasiin puisi kamu dicafe. Masa aku gak boleh liat juga?" tanya Cassie cemberut, ia menggeser tubuhnya beberapa centi mendekati Tsabita.

"Liat ya? Ya ya ya ya?" tanya Cassie makin gencar, wajahnya makin mendekat ke arah Tsabita.

Tsabita menghembuskan nafasnya kasar, ia menggeleng tegas sambil tetap memeluk bukunya itu lekat-lekat.

"Sekali enggak, ya tetep engga!" ketus Tsabita, tanpa secenti pun melihat raut Cassie yang memudar dari ceria. Keningnya mengerut, lalu digenggamnya telapak tangan Tsabita. Yang mau tak mau, membuat Tsabita menyerah, untuk tidak melihat wajah Cassie.

"Kamu marah sama aku?" intimidasi Cassie.

"Kenapa?"

"Maaf aku salah. Tapi boleh jelasin, kenapa?" tanya Cassie lagi. Tsabita masih saja diam, membuat Cassie membenarkan argumennya pasal Tsabita yang marah dengannya.

"Aku emang kurang peka yah, orangnya? Sampai sahabat aku marah aja aku gak tau. Bahkan aku gak tau kenapa kamu marah sama aku." Cassie menghembuskan nafasnya, ia kembali menangkupkan kedua tangannya pada telapak tangan Tsabita. Lalu beringsut ke arah gelang yang dihiasi bunga edelweiss dengan huruf 'CnT' ditangan Tsabita.

Ia tertawa gamang, sambil mengelus-elus lembut gelang itu.

"Liat, kamu aja masih pakai gelang persahabatan kita. Ini ngingetin aku tentang udah berapa lama kita sahabatan, jadi masalah sebesar apapun, gak boleh ada yang misahin kita!".

Tsabita menutup matanya, sibuk mendengarkan Cassie dalam diam.

"Aku inget deh, waktu itu kamu mohon-mohon ke aku buat nambahin 'K untuk Karel' digelang kita. Tapi akunya nolak dan marah, karna aku takut kamu malah nanti lupain aku. Apalagi dalam gelang itu K berada disamping kamu, yang buat aku mikir kalo kamu pun akan lebih dekat ke Karel ketimbang aku." Cassie menatap Tsabita lamat-lamat.

"Tapi bukan karna itu aja, karna aku mau kamu tau, seberapa pun banyak orang yang datang untuk meregangkan kita, seberapa besar pun masalah yang kita harus hadapi, dan seberapa besar ego kita ketika kita beranjak besar nanti, aku mau tetap kamu dan aku yang jadi pemeran utama nyelesain masalah itu. Aku mau kamu dan aku akan tetap terikat, gak peduli gimana jaman berubah.

Sama kayak gimana aku kasih kamu gelang ini, gelang bunga edellweis, bunga keabadian. Karna aku berharap, persahabatan kita akan selalu abadi. Aku berharap, bisa selamanya seperti ini." ujar Cassie lembut.

Cassie menatap lekat manik mata Tsabita yang justru kosong dan tak berarah. Membuat Cassie mendesah kecewa, lalu perlahan-lahan menyerah. Mungkin kata maaf belum cukup untuk menghapus salahnya detik ini.

Ia memeluk Tsabita, rindu akan sifat kekanak-kanakan yang dulu mereka sering perbuat sebelum memasuki PTN favorit ini. Namun, lagi-lagi ia mendesah kecewa, karna tak ada balasan untuk pelukannya.

Sebuah air mata pun menetes dari matanya.

Namun, lekas ia menyeka air matanya itu.

"Aku pulang dulu, ya, Ta!" pamit Cassie akhirnya, meninggalkan Tsabita untuk menyendiri. Mungkin memang itu yang dibutuhkan Tsabita saat ini.

Walau seratus persen, hatinya benar-benar ragu meninggalkan Tsabita dalam keadaan ia masih marah padanya. Oke, ilalang, angin, atau apapun itu, ada yang bisa jelaskan kenapa Tsabita marah terhadapnya?

"Sendiri mulu, kayak jomblo aja." ujar seseorang, membuat Tsabita sedikit tersentak.

"Ish, kamu! Ngagetin aja!" Tsabita reflek menepuk bahu laki-laki itu. Iya, siapa lagi kalau bukan Alden yang memang hobi muncul dimana saja?

"Eheheh, tapi emang lo jomblo ya. Kasian!" Alden meledek, lalu duduk tepat disamping Tsabita. Tsabita hanya mencebikkan mulutnya, ia bergeser beberapa senti untuk memberi jarak pada Alden. Dan kemudian, kembali menyibukkan dirinya dalam dunianya. Dunia sajak.

"Emang lo pikir diam itu kunci masalah?" gumam Alden tiba-tiba, mengisi ruang sunyi. Mampu membuat Tsabita menghentikan kegiatannya.

"Emang lo pikir sahabat lo ngerti, lo kenapa?" ujar Alden lagi. Tsabita meneguk salivanya kasar.

"Emang lo pikir sahabat lo tau apa yang ada dihati lo? Kalau lo sendiri aja gak ngasih celah sedikit pun buat dia memperbaiki salahnya."

Tsabita menutup bukunya. Ia sudah mendengus kencang, lalu menengok ke arah lawan bicaranya sekarang.

"Huh! Emang kamu pikir siapa ikut cam__"

"Dia gak salah, karna emang dia gak tau apa kesalahan dia. Bukan sengaja melakukan kesalahan itu. Yang salah itu lo, karna egois untuk menyalahkan dia tanpa menjelaskan semuanya."

"Oh ya," Alden kembali bermonolog.

"Ngomong-ngomong soal kesalahan, apa lo benar tentang apa yang dia perbuat itu salah?"

Tsabita terdiam, membuat Alden menyunggingkan senyum miringnya.

"Dari segi mananya? Oh, atau cuman dari lo, yang karna mementingkan segi percintaan lo ketimbang persahabatan yang udah lo bangun bertahun-tahun?"

"Coba tanya lagi ke hati lo, apa benar sahabat lo itu salah?" ujar Alden mengakhiri dialognya, dan seperti biasa, setelah meninjunya bertubi-tubi dengan lontaran kalimatanya, ia akan menghilang, pergi meninggalkan Tsabita untuk menyendiri memikirkan segalanya.

💐

'HBD Cassie! Iya, makasih Tsabita! Hehe, walaupun kamu belom kasih aku ucapan selamet, tapi aku tau kok kamu mau ngucapin itu... Iyakan iyakan iyakan?

Haduh, aku emang jago deh dalam meramal suasana hati.

Ta, ini kue aku belom dipotong. Niatnya sih nungguin kamu, biar bisa tiup lilin dan make a wish bareng! Tapi kamunya gak pulang-pulang, dan pager kos-kosan aku keburu digembok ama Cik Nonong, kamu tau sendiri dia orangnya ketat peraturan banget!!! Hehe, jadi curcol nih aku.

Ta, marahnya jangan lama-lama ya! Gak enak tau, aku kangen! Kamu pasti juga kangen 'kan sama aku? 'Kan aku orangnya ngangenin :p. Sekali lagi makasih ya, udah mau jadi sahabat aku. Jangan ngambek-ngambekan lagi ya my luplupku!!!'

Tsabita tersenyum usai membacanya, bersamaan pula dengan tangannya yang kini menyeka air mata disudut matanya.

Lihat, ini bukti bahwa memang benar ucapan Alden, bahwa ia egois. Bahkan ia hanya mengingat ulang tahun Karel saja yang memang selisih tiga hari dengan Cassie.

Tsabita segera mengambil kue bergambar bola basket itu, olahraga yang menjadi hobi Cassie sejak dulu. Seharusnya Tsabita menelpon Cassie tengah malam tadi, untuk menjadi orang yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun. Seharusnya tadi pagi Tsabita memeluk Cassie dengan erat dan membelikannya kue. Lalu meniupkan lilin dengan sebelumnya make a wish bersama. Seharusnya ia sibuk menggoda Cassie karna umurnya yang sudah beranjak menua. Seharusnya ia meruntunkan sejuta kalimat do'a untuk Cassie. Seharusnya, ia tak seegois ini.

Seharusnya, ia tak seegois ini untuk melupakan bahwa Cassie ialah sahabat terbaik yang pernah ia miliki.

COLOUR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang