O

21 4 0
                                    

Sebuah sungai kecil, kembali beriak. Tanda bahwa ada sepucuk benda yang kini baru saja jatuh menggenang, dan ikut mengalun bersamanya. Perahu kertas.

Gadis yang memakai kupluk merah tua itu tersenyum, seakan-akan baru saja melihat sebuah lentera yang indah tengah mengangkasa ditengah langit yang tak pernah kehabisan akan gulitanya. Ya, memang sebuah lentera menurutnya. Tapi bukan dilangit, melainkan ke sebuah sungai. Tempat dimana ia menyiratkan keluh kesahnya.

"Sampaikan salam Tsabita ke dia ya!" ujar gadis itu tersenyum lagi. Selang beberapa detik, tawanya memudar. Diganti dengan tatapan nanar yang menusuk ke arah pantulan dirinya didasar sungai.

"Hah...", Ia menghembuskan nafasnya kecil. Diraihnya beberapa helai rambut yang tergenang disungai. Sebuah kristal bening tanpa sadar meluncur dari mata hitamnya.

"Nangis mulu, gak capek apa?" sebuah suara membuat gadis itu reflek mencari sumber suara.

"Hai, ketemu lagi! Kayaknya emang jodoh deh!" ungkap laki-laki itu tertawa kecil, Tsabita justru sudah menunjukkan wajah cemberutnya. Jengah dengan takdir yang mempertemukannya kembali dengan laki-laki tidak jelas ini. Laki-laki itu segera berjalan menghampiri gadis berrok merah dan dibalut jaket tebal itu.

"Lo tau gak, kenapa sungai ini selalu bersih dan indah?" tanya laki-laki itu, yang kini sudah duduk disamping Tsabita sambil memeluk kedua kakinya.

Tsabita hanya diam, hal yang menjadi sebuah kebiasaan bila bertemu laki-laki ini. Namun, sadar akan bekas air matanya masih ada, ia segera menghapusnya.

"Karna ada butiran kristal milik lo yang tercampur didalamnya. Membuat sungai ini gak pernah habis akan kecantikannya." tambahnya tersenyum hangat. Tsabita mendengus kecil, pandangannya segera melempar kembali ke arah sungai yang beriak tenang. Berbicara dengan orang asing rupanya masih terdengar aneh dikamus otaknya.

"Jangan kebanyakan nangis, masih ada orang-orang yang lebih pantas lo keluarkan kristal itu. Masih banyak orang yang lebih pantas dijadikan sebuah alasan tangisan itu."

"..."

"Gue tau, lo selalu ngirimin harapan 'kan ke perahu-perahu kertas itu?" tanyanya yang hanya dijawab sunyi.

"Lo tau gak, disaat lo punya beribu harapan pada perahu kertas, ada gue yang cuman punya satu harapan, tapi selalu hanya terpatri dalam hati gue."

"..."

"Lo mau tau gak apa itu?" Laki-laki itu menengok ke arah Tsabita, berharap Tsabita pun ikut andil melihat wajahnya. Namun sayang, harapan tetap saja harapan, bila menginginkan seorang Tsabita menimpali tindakannya.

Laki-laki itu menghembuskan nafas kecil, matanya kembali mengedarkan pandangan ke arah sungai. Memilih untuk melihat objek apapun selain wajah Tsabita yang bahkan enggan meliriknya barang secenti pun.

"Harapan gue adalah supaya suatu hari nanti, gue bisa jadi salah satu alasan kenapa lo nangis. Bukan, bukan karena gue nyakitin lo, tapi karna lo menyesal gak pernah melihat usaha gue untuk menyayangi dan menjadi kata spesial dalam hati lo." Tsabita reflek menengok, matanya menghunus bersamaan dengan tatapan Alden yang meremang.

"Sebenernya gue gak mau seegois itu untuk buat lo nangis. Tapi sayangnya, hati juga bisa lelah untuk berusaha. Bukan karena ia menyerah, tapi mengerti bila itu bukan jalannya. Dan kalau hati gue udah nyerah, gua gak bisa mastiin, apakah sosok Alden yang selalu ada disamping lo ini, akan menghilang begitu saja dari cerita dimana lo yang jadi pemeran utamanya atau enggak." ujar Alden melempar batu kecil, lalu beringsut beranjak dari duduknya dan setelah itu pergi. Meninggalkan Tsabita yang kini terdiam, mencoba mencerna kata-kata Alden Bimaaksa.

Sebentar, sejak kapan Tsabita menghafal nama Alden?

Dan sebuah kertas, tertinggal ditempat dimana tadi Alden sempat duduk.

'08124567xxx, kali ini beneran diadd dong di kontak lo. Kesian nih, hati gue kalo ngigo nyebut nama lo melulu :))

Tertanda,
Orang ganteng tanpa kadaluarsa

COLOUR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang