"Nonton film apa bagusnya, Al ?" Tanya Bima sambil merangkul pundak Alina. Mereka berdua tampak sedang memilah dan memilih akan menonton film apa. Alina sambil berpikir dan berputar dengan pelan melepaskan diri dari rangkulan Bima, karna kalau boleh jujur ia tidak suka begitu intim di tempat keramaian seperti ini. Ia jengah. Malu. Tapi tak berani ia utarakan pada pria yang sudah menemaninya 3 tahun lalu sejak masuk SMA itu." Aku terserah kamu aja Bim" sahutnya sambil menyampirkan rambut panjangnya yang berserakan di kuping.
" Oke kita nonton film horor aja ya ?" Ujar Bima. Alina mengangguk mengiyakan.
"Horor juga seru..hehe" Bima mengulurkan tangan bermaksud merangkul Alina lagi. Tapi Alina menghindar sambil berpura-pura mencelingukan kepalanya mencari sesuatu. Bima menatapnya sejurus.
"Kamu kenapa ?" Tanya Bima tajam. Alina langsung gelagapan ditanya begitu. Dia sadar ya. Bathin Alina.
"Kenapa apa Bim ?" Tanya Alina pelan sambil mengedarkan pandangannya karna tempat ini begitu ramai, jangan sampai perangai buruk Bima keluar di tempat seperti ini.
"Kamu kayak nggak mau aku sentuh Al ? Kamu jijik ? " cerca Bima, nadanya mulai naik 1 oktaf. Alina berusaha menenangkan Bima dengan menggapai lengan pria itu yang saat itu juga Bima tepis.
"Kamu kenapa sih Bim ? Itu cuma perasaan kamu aja.. " ujar Alina menenangkannya.
"Kamu dari tadi menghindar Al" seru Bima lagi. Kening Alina berkedut tanda ia juga mulai senewen.
"Itu bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan ya kan Bim. Kita kesini mau nonton kan ? Yuk deh.. " Alina menekan ego mati-matian agar tidak terpancing emosi. Bukannya mengiyakan wajah Bima malah memerah menahan amarah. Alina takut Bima yang seperti ini. Ia merasa ia tidak mengenalinya kalau sudah begini. Bima menjadi pribadi yang lain di matanya.
"Bulshit!! Aku sudah nggak mood ! Nonton aja sendiri sana!!" Bentak Bima lalu beranjak pergi. Orang-orang yang berlalu lalang sampai menoleh ke arah mereka berdua. Entah perasaan Alina saja atau bukan, Bima akhir-akhir ini selain over protektif, posesif ia juga mudah marah sama sesuatu yang tidak seharusnya dipermasalahkan.
"Bim, please, kita bisa ngomong baik-baik nggak perlu pake emosi kan ?" Susul Alina. Air mata yang dari tadi menggenang di pelupuk matanya kini mengalir bebas di pipinya.Bima tak menggubrisnya. Ia tetap saja melangkah dengan langkah besar menuju parkiran. Masuk ke mobil dan menutup pintu mobil dengan keras. Lalu menderu pergi tanpa sedikitpun ia melihat ke arah Alina.
Alina hanya bisa memandangi kepergian Bima. Ia marah sekaligus menyesal. Marah kenapa ia tidak bicara saja langsung pada Bima kalau ia jengah dirangkul seperti itu, juga menyesal kenapa ia merasa jengah hanya dengan dirangkul seperti itu. Ia ingin bersikap jujur tapi ia juga tidak berani karna salah kata saja bisa membuat Bima murka. Air matanya terus saja merembes tanpa ia inginkan. Kenapa harus dia yang selalu mengalah ?
Bergegas ia meninggalkan parkiran dengan hati yang hancur. Dan sepertinya kesialan memang sedang tidak ingin jauh-jauh darinya. Buktinya dari tadi ia ingin pulang dan menghentikan taksi, tidak ada satu pun yang berhenti. Bahkan rintik-rintik hujan pun turut menyumbang menambah kesialannya. Alina menutup wajahnya. Ia menangis sejadi-jadinya menumpahkan segalanya. Rasa marah,kesal dan sedih yang bercampur aduk menjadi satu. Hujan deras pun seketika mengguyur kota.
Alina tidak menghiraukan keadaannya lagi, sampai sebuah jaket boomber warna navy berwangi kopi latte menutupi kepalanya bersamaan dengan tubuhnya yang ditarik ke bawah atap untuk berteduh.
"Ngapain hujan-hujanan ?" Sebuah suara yang begitu familiar menyadarkannya. Ia menurunkan jaket itu dari kepalanya.
Andra.
"Oh," Alina kikuk "Nggak pa-pa, lagi pengen aja ngerasain di bawah hujan." Sambungnya lagi sekenanya tanpa berani menatap pria di sebelahnya itu. Andra tau gadis itu berbohong.
"Bukan karna nutupin air mata kan ?" Ia melirik Alina untuk melihat responnya. Alina menoleh dengan cepat.
"Nggak kok. Siapa juga yang nutupin air mata." Balasnya lalu mengedarkan pandangannya kelain. Tiba-tiba saja sebuah tubuh menjulang tinggi di hadapannya bersedekap. Andra sedikit menundukkan kepalanya memandang lekat wajah gadis itu.
"Tatap mata gue, kalo lo memang nggak abis nangis." Seru pria itu menunggu jawaban. Terang saja Alina menjadi kelimpungan. Mau mundur, ia sudah berhimpitan dengan jendela kaca di belakangnya tak bisa kemana-mana. Pipinya memanas. Bahkan mungkin sudah memerah.
"Pipi lo merah." Ujar pria itu seakan membaca pikirannya. Cepat-cepat Alina menyodorkan jaket tadi ke pemiliknya sekaligus mendorong agar Andra menjauh. Karna semakin lama, pria itu membuatnya gugup dengan aksi-aksinya yang bikin sport jantung.
"Bukan urusan kamu, dah, aku balik duluan!" Alina berniat pergi namun sebuah tangan menarik pinggangnya kembali.
Detik itu juga Alina merasa seperti ada ribuan kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya."Mau pergi kemana ? Masih hujan, ke dalam yuk, kopi gue dingin." Tandas Andra lalu masuk ke dalam café yang sedari tadi tidak Alina sadari. Dengan sambil menyadari sesuatu Alina masuk mengikutinya.
Mereka duduk di sebuah meja yang berada tepat menghadap pemandangan di luar. Suasana cafe yang begitu nyaman dengan lampu temaram dan di tambah lagi dengan alunan lagu lembut. Tempat yang pas sekali untuk orang-orang yang ingin sekedar datang duduk diam atau melarikan diri dari kepenatan dan kehiruk-pikukkan dunia luar.
"Kamu sudah dari tadi di sini ?" Todongnya. Andra mendelik dengan wajah lucu ke arah Alina, sengaja ia tidak menjawabnya. Ia melambaikan tangannya pada lelaki yang sedang membersihkan meja. Pria itu datang.
"Mas, kopi latte-nya satu, satunya, lo minum apa Al ?" Tanya Andra.
"Pertanyaanku belum kamu jawab," ujar Alina datar. Andra tersenyum simpul.
"Kopi latte-nya dua mas. Yang ini di bawa aja." Ujar Andra. Pria itu mengiyakan lalu pergi dengan kopi dinginnya tadi.
"Iya, lumayan lama sampai liat cewek manis nangis di bawah hujan," ujarnya memandang Alina sejurus. Alina jangan ditanya lagi. Kalau bisa jadi Jumper, ia mungkin saat ini sudah menghilang dan berada di Machu picchu-nya suku Inca di Peru saking malunya karna ketahuan menyangkal. Untung datang pelayan pria yang membawa pesanan kopi tadi jadi Alina tidak salah tingkah karnanya.
"Nangis kenapa ?" Tanya Andra serius.
"Nggak kenapa-kenapa." Jawab Alina menyeruput kopi nya sambil melirik ke sekeliling asal tidak bertubrukan pandang dengan pria di depannya ini. Ia menggosok-gosok tangannya kedinginan.
Andra berdiri melewati Alina sambil menyampirkan kembali jaket miliknya di pundak gadis itu.
"Gue ke toilet dulu, jangan kabur."
Sekembalinya pria itu, di meja hanya tinggal dua cangkir kopi dan secarik post-it.
Makasih kopinya, jaketnya besok aku kembalikan.
Andra menarik ujung bibirnya. Ia tersenyum sekaligus gemas karna gadis itu.
__________________________
Tak henti-henti author mengharapkan voment kalian gaesss ;D
KAMU SEDANG MEMBACA
EYES
Teen FictionPernahkah seseorang menatap ke dalam matamu dengan penuh makna ? Yang membuat kamu bertanya-tanya juga terkesima sekaligus.. Tatapan tajam bak mata elang milik Andra itu menghujami Alina bertubi-tubi tanpa ia mengerti sedikit pun. Akankah Alina men...