Prolog: Dua Tahun Lalu (2) - REVISED 1

111 7 2
                                    

"Hei! Jangan lihat kami seperti itu!" Robert mendengkus tertawa, bibirnya naik sebelah. Aku tak pernah suka senyum liciknya, apalagi saat dia dengan sengaja memeluk bahu Mia, wanita yang selama ini jadi kekasihku. Mia sendiri menunduk, tidak pernah menatapku semenjak kami bertemu di parkiran ini.

"Ini salahmu sendiri, Arka," ucap Robert.

"Kalau memang aku yang salah, katakan kenapa Mia tidak berani menatapku."

"Karena kau menyeramkan?" Robert tertawa lagi. Dia mengusap-usap lengan Mia seolah ingin menenangkannya, seolah aku benar-benar hewan buas yang ingin menghabisi mereka. Aku menarik napas kuat-kuat dan mengencangkan genggaman pada tas koper. Bisa dibilang, aku memang ingin menghabisi mereka. Kalau saja bisa.

Bunyi tapak sepatu berhak menggema di parkiran mall, terdengar mendekat. Aku segera menyuruh Robert menyelesaikan transaksi sebelum ada yang melihat. Seorang Arka Suryadana tak boleh terlihat di tempat umum, apalagi dengan tas koper dan omongan yang mencurigakan. Aku tak bisa terlibat skandal lebih jauh lagi. Robert memerintahkanku menaiki mobil van hitam di samping kami. Tentu kuperhatikan lebih dulu dalamnya. Satu sopir di depan dan satu pria kekar di kursi paling belakang. Bagus.

Ayah sudah memerintahkanku untuk menyelesaikan hal ini sendiri, karena semuanya salahku, tanggung jawabku. Bullshit! Tapi apa boleh buat? Uang sepuluh miliar mudah kukumpulkan lagi, jadi ini tak ada artinya dibanding kesuksesanku. Aku mengembalikan tatapan si pria kekar sebelum masuk mobil. Robert mengikuti.

"Datanya," kataku.

Robert menyerahkan flashdisk dan aku langsung merebutnya.

"Kalau kau masih menyimpan copy-nya—"

"Aku tak punya. Lagi pula, kalau aku ingin menjatuhkanmu lagi, aku akan cari celah lain." Robert menyunggingkan senyum menjijikkannya lagi. Gigi depannya yang tak rata dan sedikit bolong itu sangat menggangguku. "Sekarang, uangnya."

Kuberikan koper, dan dia segera menghitung. "Seharusnya lewat ATM saja. Lebih praktis," sindirku.

"Dan kena risiko diblokir?" Robert mendengus. "Sorry, dude. Aku lebih suka pegang duit asli."

Mia yang duduk di kursi depan sama sekali diam semenjak tadi. Aku berusaha memperhatikan ekspresinya yang tertutup helaian rambut. Dia tak pernah mengangkat wajah. Merasa bersalah? Malu? Harus! Dia harus merasa bersalah karena telah menghancurkanku, mempermalukanku, mengkhianatiku dengan temanku sendiri, padahal aku begitu mencintainya! Padahal aku sudah mengajaknya bertunangan! Berhubungan lebih serius! Dan aku sudah berjanji untuk berubah demi dirinya!

Sekarang, aku tak perlu menanyakan jawabannya lagi.

Tapi aku ingin tahu kenapa? Sejak kapan? Karena aku sering memarahinya? Bukankah dia sudah memaafkanku? Sejak kapan Mia selingkuh dengan Robert? Son of a bitch! Aku ingin sekali memukuli Robert sampai dia mati! Siapa saja! Aku ingin sekali memukuli sesuatu!

Entah berapa menit kemudian, bunyi ceklik menyadarkanku dari lamunan. Punggung tangan kiriku tiba-tiba sakit. Aku rupanya mencengkeram terlalu keras dari tadi. Robert telah selesai menghitung, yang berarti aku sudah boleh pulang.

"Enyahlah dari hidupku, Robert!" aku berpesan setelah kami keluar. Setidaknya, pria-pria di dalam mobil tidak disuruh untuk mencelakaiku. Jantungku masih berpacu. Aku belum aman dan aku masih belum percaya mereka akan membiarkanku lepas begitu saja, tapi aku tak ingin punya masalah lagi dengan mereka.

"Aku tidak tahu, Arka. Di mana ada kesempatan, di situ aku bisa muncul. Selama kau masih hidup, tentunya."

Aku berbalik. "Aku tidak pernah berbuat keji kepadamu, tapi ini balasanmu?" Kutunjuk dadanya.

Chasing The DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang