Bag. 3: Delusi Atau Nyata? (1)

26 3 0
                                    

Author's Note: Petualangan Arka kembali berlanjut. Eheheh. Author lumayan nyari-nyari dulu soal kepolisian, tapi masih kurang, jadi mungkin kalau ada yang ingin kasih krisar soal itu karena ada plot hole, silakan :D

Prev Chap: Arka bermimpi sebagai Belle, yang katanya bisa telepati dan mengatakan bahwa ini kekuatannya, bukan mimpi. Setelah bangun dan menyelidiki, rupanya orang yang mati di tempat kos Belle itu nyata adanya. Arka menyuruh Anthony pergi menyelidiki, sementara sang ayah kembali menyudutkan. Demi membuat Anthony pergi, Arka memancing kemarahan ayahnya untuk mengecoh fokus sang ayah.

******

"Maksud Ayah?"

"Jangan pura-pura tak mengerti!"

Ayah menamparku. Keras. Rasa besi memenuhi mulut dan aku menelannya. Darah. Yang mengalir dari bibir juga kulap, lalu kutatap lagi Ayah.

"Aku memang benar-benar tidak mengerti. Kenapa aku harus mendapatkan perlakuan ini?"

"Masih juga bertanya?" Dia hampir saja menamparku lagi, tapi kutangkap tangannya. Dadanya kembang-kempis. Dia juga gemetaran menahan marah. Sama denganku.

"Ayah pikir aku tidak pernah merasa bersalah soal Ibu?"

Ayah menarik tangannya sebelum bisa kudorong. Sial. Sebenarnya aku ingin sekali mendorongnya.

"Tapi Ayah tahu, bukan? Kecelakaan itu bukan salahku. Ada yang menyebabkannya dan aku akan mencarinya."

Seolah tak tahan akan sesuatu, Ayah cepat-cepat berdiri, lalu berbalik. Dia masih memegangi pergelangan tangan yang tadi kucengkeram keras, geram kesal keluar dari mulutnya. Ah, aku baru ingat. Dia punya luka bakar besar di sekitar situ, gara-gara tahun lalu salah satu kantor kami kebakaran. Mungkin karenanya juga dia jadi sakit? Huh! Biar tahu rasa!

"Kau sama sekali tidak mengerti. Mencari tahu? Mencari tahu siapa?" Dia kembali menghadapku. "Semua itu cuma delusi. Kaulah yang menyebabkan ibumu meninggal."

"Oh ya? Karena itukah Ayah mengurungku sekarang? Memberi tahu kepada dunia kalau aku sudah mati?"

"Aku melakukannya untuk ...!" Dia malah berhenti bicara.

"Untuk apa?!" Oh, kau tidak bisa menghentikan kata-katamu di situ, Ayah. "Jangan bilang karena kau sayang padaku atau apalah itu!" Aku meludah. "Aku tahu Ayah bukan orang seperti itu."

Untuk sejenak, kami hanya bertatapan sambil menenangkan napas. Ayah lalu mendesah. Dia duduk kembali, kemudian menangkup kedua pipiku. "Dengar. Mungkin kau sulit percaya, tapi apa yang kaubilang mustahil itu, itu benar. Ayah sangat menyayangimu."

Bullshit! Apa lagi yang mau dikatakannya?! Aku menepis tangan itu. Entah kenapa, raut wajah Ayah tampak sedih, tapi aku tak mudah percaya.

"Ayah selalu mengusahakan yang terbaik untukmu dan meskipun Ayah sering mengasarimu, kau bisa mengerti, bukan? Kau juga pernah di posisi Ayah. Sulit untuk, mengendalikan emosi dan butuh tempat pelampiasan. Ayah tahu kalau itu salah, tapi kau tidak memberi Ayah pilihan."

Ingin sekali kubantah hal itu, tapi dadaku mulai sesak. Aku malah ingat hal yang tidak-tidak.

"Bukankah kau pernah menampar Mia?"

Tidak. Aku tidak ingin mengingatnya.

"Kau seringkali memakinya. Kau sengaja membelikan apartemen supaya kalian bisa tinggal bersama, tapi sebenarnya kau ingin mengurungnya supaya tidak bisa bertemu laki-laki lain, bukan?"

Satu per satu, tanpa diminta, kilasan-kilasan masa lalu tebersit. Mia sudah mengatakan baik-baik bahwa dia tidak ada hubungannya dengan klien yang mengajaknya makan, tapi aku tak peduli dan menyuruhnya berhenti bekerja saja. Aku sudah bisa membiayainya. Aku ... mengurung Mia?

Chasing The DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang