"Halaman belakang. Orang memang bisa lewat situ, dan kami sudah mencurigainya karena tempat itu dipagari cukup tinggi. Jika pelaku masuk ke dalam lewat sana, kemungkinan dilihat orang akan sangat kecil. Tapi tak mungkin ada yang bisa masuk kaca nako."
"Bagaimana dengan darahnya?"
"Darahnya? Tentu saja banyak di sekitar tempat jatuhnya kepala dan kaki. Dia digorok ketika sedang berdiri, tidak ada yang aneh di situ."
"Tunggu. Aku lupa. Kaubilang dia terjatuh telentang dengan posisi kepala menghadap pintu?"
"Ya?"
"Dekat dengan pintu, berarti?"
"Tidak juga. Pelaku rasanya masuk sedikit ke dalam untuk membunuh, yang berarti, setidaknya dia kenalan korban. Yah, ketiga tersangka memang mengenal korban, jadi tidak ada yang aneh."
Roda gigi. Rasanya seperti menemukan satu roda gigi yang terlepas dan mesin mulai berjalan ketika aku memasangnya.
Tidak.
Aku butuh satu roda lagi.
"Boleh aku tahu tinggi korban dan masing-masing tersangka?"
"Hmm? Korban cukup jangkung, 180-an senti sepertinya. Niko sepertinya lebih tinggi sepuluh senti. Dia benar-benar jangkung. Edward, Belle, dan Ella punya tinggi yang mirip. Mereka sekitar dua puluh senti lebih di bawah korban. Kena ...?"
Ah, mesin sudah benar-benar berjalan. Mungkin Pak Lex juga mengerti, makanya dia tiba-tiba diam.
"Tapi bukan berarti kita sudah tahu bagaimana cara dia melakukannya!"
Aku bisa menjelaskan hal itu. Perkiraan sudah terbentuk di benakku. Namun, sebelum sempat mengatakannya, Pak Lex dipanggil seseorang. Dari jauh, aku tidak begitu dengar apa yang dikatakan si pembicara. Setelah selesai, si polisi mengatakan, "Kasus sudah selesai. Maaf, tapi saya harus menutup telepon."
"Tapi ...!"
"Tenang saja. Ella dan Belle sudah bebas dari tuduhan. Kami sudah menemukan barang bukti dari tong sampah dapur. Kantong plastik yang dicuci. Masih ada jejak darah dan sidik jari membekas di sana. Setidaknya, saya memberi tahu Anda hal ini sebagai tanda terima kasih juga. Saya rasa, Anda juga sudah tahu pelakunya?"
Aku menelan ludah. Dia benar. "Tapi siapa yang memecahkannya? Anthony?"
"Bukan. Saya tidak bisa memberi tahu lebih lanjut. Sisanya, bisa Anda tanyakan sendiri kepada Ella, Belle, atau adik Anda. Terima kasih."
Telepon kembali dialihkan kepada Anthony. Aku tidak bisa mengatakan apa pun kecuali memintanya untuk membawa Belle dan Ella kemari, sesuai rencana awal.
"Kakak mau bicara dengan Belle dulu?" tanya Anthony.
"Tidak. Rasanya aku juga tidak bisa bicara banyak. Lebih baik kalian ke sini dulu. Itu pun, kalau mereka mau. Mereka sudah banyak menghadapi masalah hari ini, sudah terlalu sore juga."
"Aku akan membujuk mereka, Kak."
Setelahnya, telepon dimatikan. Baterai HP juga sudah tinggal 30 persen kurang. Aku mencari charger menggunakan cahaya HP. Sialnya, benda itu juga ada di meja. Bodohnya aku tidak mengambil tadi. Bukan hanya baterai HP, tenagaku juga sekarat. Aku memutuskan untuk tiduran saja dan memejamkan mata dalam gelap.
Aku masih belum bisa berhubungan lagi dengan Belle. Dia tak menjawab panggilanku. Apa Belle dalam delusi tidak sama dengan yang sedang ditemui Anthony? Ah, aku mulai lagi memikirkan hal negatif. Tidak bisakah positif sedikit? Aku tinggal menunggu kabar dari Anthony, bukan?
Lama-kelamaan, memejamkan mata membuatku benar-benar tertidur. Bisa dibilang, hampir saja. HP-ku jatuh ke lantai dan aku terbangun lagi. Benar-benar sial! Aku mencari kedipan sinar lagi di bawah. Untung tidak terlalu jauh dari kepala ranjang, aku masih bisa mengambilnya. Sudah jam berapa sekarang?
Waktu di HP menunjukkan pukul setengah enam lewat. Terakhir kali telepon mati? Ah, aku tidak ingat. Daftar riwayat telepon belum berubah—pukul lima—yang berarti Anthony belum menghubungi. Apa ada sesuatu? Aku menekan tombol dan menelepon Anthony duluan.
"Maaf, Kak. Aku belum bisa meyakinkan mereka untuk ikut bersamaku. Belle tampaknya mau, tapi kakaknya ... Ah!"
"Halo?" Ini suara gadis berambut hitam itu, kakaknya Belle, Ella. "Kau kakaknya Anthony?"
Dari kalimatnya, sepertinya dia belum tahu namaku? Dia bisa menyebut nama Anthony karena tahu namanya, tapi tidak namaku. "Ya?" jawabku, dengan nada ragu.
"Aku dan adikku tidak ada hubungannya dengan kalian. Paham?"
"Tapi—"
"Tidak ada tapi-tapian. Kami sudah lelah hari ini berhubungan dengan polisi dan kami tidak mau punya urusan aneh lainnya. Maaf, tapi kalau kau punya masalah, sebaiknya selesaikan sendiri."
"Aku tadi sudah membantu." Kujadikan pembicaraanku dengan Pak Lex sebagai alasan. "Aku sudah berusaha untuk menolong kalian keluar dari tuduhan polisi. Kuharap kau—"
"Maaf," dia memotongku. "Dan terima kasih, tapi sebenarnya kami tak perlu bantuan kalian. Kami sudah punya Daniel untuk memecahkan kasus tadi."
Oh, jadi yang katanya memecahkan kasus tadi adalah si Daniel ini.
Bangsat!
Mengacaukan rencana saja.
"Bukan berarti aku dan Anthony tidak mau membantu, bukan?" balasku.
"Ya, dan bukan berarti Belle tidak mau membantu juga. Sayangnya, kami memang tidak bisa."
Belum sempat kubantah lagi, telepon terputus. Aku menggenggam HP erat-erat dan menggeram. Tidak biasanya negosiasiku gagal. Ini karena lawan bicaranya anak-anak! Umur berapa dia? Dan Daniel itu! Siapa dia?! Orang yang sok jadi detektif dan kenal dengan Ella tampaknya. Temannya? Atau mungkin pacarnya? Cih! Aku ingin sekali lihat tampang mereka, tapi kenapa Belle sama sekali tak menghubungiku?!
"Belle!"
Sama sekali tak ada jawaban.
Aku membuang napas sambil membungkuk lesu. Bagaimana caranya aku keluar dari sini, sementara tak ada seorang pun yang mampu menolong?
Tidak.
Dari dulu memang selalu begini, bukan? Tidak ada yang bisa kuandalkan. Ketika Ayah memukuli, Ibu terkadang suka membela, tapi tak mempan. Dia malah mengajak Anthony untuk pergi. Mia? Dia meninggalkanku di saat yang tepat. Di saat aku sudah benar-benar mulai percaya dan membuka hati, meyakinkan diri bahwa aku bisa berubah demi dirinya, dan bertekad sepenuh hati untuk membahagiakannya. Robert? Tak perlu ditanya. Aku sudah memberinya jabatan dan sering mengajaknya makan karena kupikir, dia sahabatku sejak masa SMA.
Belle? Dia juga sama saja. Dia juga meninggalkanku tepat di saat aku mengharapkannya.
Aku menendang tiang ranjang sambil menarik tanganku kuat-kuat. Borgol ini harus bisa kulepas.
Aku harus bisa menolong diriku sendiri!
******
Author's Note: Jangan lupa untuk memberi vote dan/atau komen bila kalian suka, ingin mendukung author, atau sekadar ingin memberi kritik dan saran yah :) Dukungan kalian akan sangat berarti ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing The Dead
Mystery / ThrillerWARNING: R18 for violence INI SAMA SEKALI BUKAN MISTERI, WALAUPUN MUNGKIN ADA YANG BERPIKIRAN BEGITU ATAU CERITANYA MASIH MENGANDUNG LOGIKA, TAPI STOP BACA PAKAI LOGIKA DAN STOP BERUSAHA PECAHIN PELAKUNYA SIAPA, KARENA SEKALIPUN HASILNYA BERLOGIKA...