Adikku yang penakut, lalu cewek. Orang-orang seperti ini yang mau membantuku? Cih. Meremehkan sekali.
Aku bangkit. Tiang ranjang yang setinggi perut menyebabkan borgol bisa bergerak hingga ke atas. Aku berdiri, meski sambil merintih. Seperti dugaanku, tubuh ini masih belum kuat untuk bergerak terlalu banyak dan aku terhuyung. Berpegangan pada tiang ranjang, lama-lama keyakinanku mantap. Setelah memperhatikan meja sekali lagi, aku menarik tiang ranjang dengan kedua tangan. Menggesernya cukup menguras tenaga. Seharusnya aku memang lebih sering olahraga. Aku ingin menghadapi Ayah dan pelaku kecelakaan itu—si pembunuh. Kenapa aku tidak melatih tubuhku sedikit lebih sering? Yah, setidaknya karena aku sedang sakit, anggaplah tenagaku memang berkurang. Aku harus memulihkan diri secepatnya.
Setelah rasanya cukup, aku berhenti dan mengambil HP.
Hah! Mudah! Seharusnya Belle juga lihat kalau aku ini masih kuat! Pria yang tidak bisa diremehkan!
Hmm ... Tidak ada tanggapan dari gadis itu. Meski sudah kupanggil, dia tak menyahut.
Aku mendesah. Bahuku turun lemas. Mungkin dugaanku soal delusi itu benar, makanya ketika masalah selesai, dia hilang secara efisien.
Benar-benar tidak ada tanggapan.
Dadaku sedikit nyeri mengingat Belle sudah susah-payah meyakinkan bahwa dia nyata. Aku tahu dia tidak ada. Tempat gelap dan pengap ini pasti sudah membuatku gila perlahan-lahan. Namun, Anthony telanjur kusuruh mencari gadis itu. Harus ada pertanggungjawaban. Mungkin kusuruh dia pulang saja? Ah, tapi bukankah orang mati di tempat kos itu benar adanya? Apa pun itu, aku harus mengabari Anthony dan menyuruhnya untuk tidak terlalu mengusahakan pencarian Belle. Percuma saja.
Segera kutelepon dia. Sore seharusnya tidak begitu macet, tapi rupanya Anthony belum sampai setengah jalan menuju Slipi. Kusuruh dia untuk putar balik.
"Kakak bercanda?"
"Serius."
"Suaramu bergetar. Ayah mengancam?"
Shit ... Aku menghirup napas hingga paru-paru penuh untuk mempersiapkan diri, baru bicara, "Bukan. Ayah justru ... tidak menghukumku kali ini. Aku cuma baru sadar kalau pencarian ini akan sia-sia. Maaf."
"Ini tidak seperti Kakak."
"Ya, dan kau juga tidak seperti Anthony yang biasa, yang bisanya cuma menurut. Kenapa kau sulit sekali kubuat menurut?" Aku mulai tak sabar.
"Karena aku ingin menolong Kakak?"
"Tidak ada orang bernama Belle, Anthony! Itu cuma pikiranku! Buatanku! Dan aku cuma akan merepotkanmu! Oke?"
Anthony diam untuk sesaat. Napasnya menderu, membuat ujung telepon terdengar berisik. "Kak, aku akan tetap mencari Belle."
Dia mematikan telepon. Walau aku sudah meneleponnya lagi, tak diangkat. Brengsek! Aku tidak mengerti ada apa dengan Anthony. Kenapa tiba-tiba dia jadi sangat bisa diandalkan dan ingin membantuku?!
Tunggu. Kenapa malah kupuji? Shit!
Setidaknya, aku memberi tahu lewat chat kalau Belle mungkin ada di kantor polisi sekarang. Anthony membacanya, tapi tak dijawab. Aku tidak tahu mengapa harapanku masih belum lenyap sepenuhnya setelah apa yang terjadi, tapi mungkin, kalau Anthony masih percaya, aku juga bisa percaya.
Ya, mungkin aku harus memercayai Anthony sesekali.
Sambil bawa HP, kudorong kembali ranjang ke tempatnya. Aku tidak mau cari masalah lain. Ayah bisa marah kalau dia lihat kamar berubah karena tindakanku yang aneh.
Aku memutuskan untuk tidur-tiduran. Mata kupejamkan sesekali, berharap bisa memasuki dunia mimpi seperti tadi. Tidak kunjung muncul. Tapi bukankah Belle bilang dia masih kesulitan mengendalikannya? Mungkin karena itu?
Setelah setengah jam lebih, telepon akhirnya datang. Anthony.
"Kakak! Kakak harus dengar ini! Aku sudah menemukannya! Ada gadis bernama Belle di sini."
Jantungku berdegup tak karuan. Delusiku ... dia benar-benar jadi nyata?
"Kau yakin?" tanyaku.
"Kak, ini sama sekali bukan khayalan. Aku baru saja bicara dengannya, tapi ... keadaannya sedang tidak bagus."
"Maksudmu?"
"Tidak lama setelah aku bicara, dia tiba-tiba dipanggil lagi untuk interogasi. Kata polisi, dia adalah salah satu tersangka! Tersangka pembunuhan di rumah kos yang Kakak bilang itu."
Aku menelan ludah. "Bagaimana bisa? Aku yakin, waktu itu Belle dan kakaknya sedang bersama, memasak di dapur. Bukankah itu alibi?"
"Kesaksian saudara tidak bisa dijadikan patokan."
"Ada yang melihat mereka, 'kan? Yang turun tangga waktu itu, sama si gendut!"
"Si gendut?"
Ah, aku tidak tahu posisi wanita gendut di sana itu apa. Mungkin si pemilik kos? Anthony jadi diam karena sepertinya masih bingung. "Tapi belum ada bukti, 'kan? Dia pasti akan dipulangkan dulu kalau begitu."
"Ya, tapi aku tidak bisa terus menunggunya di sini. Aku harus pulang sebelum Ayah mencari dan tahu semuanya. Dia tadi sempat telepon."
Shit! Di saat aku sudah menemukan Belle sebagai orang nyata, apa kutunggu saja sampai besok? Anthony harus kerja. Sorenya lagi apa bisa? Aku mengelupas bagian-bagian kering di bibirku selama berpikir. Harus kuputuskan sesuatu, sebelum kesempatan ini habis.
"Anthony?"
"Ya?"
"Beri tahu detail kasusnya. Aku akan mengurus supaya setidaknya Belle lepas dari tuduhan apa pun, secepat mungkin."
Anthony menceritakan soal seorang pria terbunuh di kamar terkunci, tapi tiba-tiba kalimatnya terputus. Setelah kasak-kusuk, orang asing menggantikannya bicara, "Maaf, dengan siapa saya bicara?"
Lelaki? "Anda sendiri siapa?"
"Panggil saja Lex, dari kepolisian. Teman Anda membicarakan kasus yang saya urus. Kalau Anda ada hubungannya dengan kasus ini, sudah seharusnya saya menanyai Anda."
"Bagus. Bicara langsung dengan penanggung jawab memang lebih oke. Teman Anda menahan temanku yang seharusnya tidak melakukan kesalahan apa-apa. Aku ingin tahu apa yang terjadi sampai dia dituduh seperti ini."
"Teman Anda?"
"Perempuan bernama Belle. Setahuku dia punya alibi. Pasti ada kesalahan dalam penyelidikan Anda."
Tawa pria itu seperti tercampur ludah, seolah meremehkan. "Anda meragukan pekerjaan saya, kalau begitu?"
"Maaf jika menyinggung, tapi memang begitulah kenyataannya. Kasus belum selesai, bukan?"
Kali ini, dia mengambil jeda sesaat sebelum berdeham dan kembali bicara, "Ngomong-ngomong, Anda belum memberi tahu nama Anda."
Ah, ya. Untuk pertanyaan yang satu itu, sulit sekali dijawab. Apa yang harus kukatakan?
"Halo?" tanyanya lagi.
"Panggil saja aku ...." Orang mati? Mayat? Zombie? Tidak ada nama yang lebih bagus?
Suara Anthony masuk pendengaranku. Sepertinya dia ingin merebut telepon. Anthony membuatku ingat sesuatu: game lama yang baru saja dia mainkan karena dari dulu tidak pernah sempat.
Tomb Raider. Penjarah Makam. Makam.
"Panggil saja aku Tomb," akhirnya kujawab Pak Lex.
"Tom? Seperti film kartun itu? Tom and Jerry?"
Ah, ya sudahlah. Anggap saja begitu.
******
Author's Note: Makasih udah membaca sampai sini :D Jangan lupa vote dan komennya kalau suka, atau ingin mendukung, atau ada krisar yang ingin disampaikan yah :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing The Dead
Misterio / SuspensoWARNING: R18 for violence INI SAMA SEKALI BUKAN MISTERI, WALAUPUN MUNGKIN ADA YANG BERPIKIRAN BEGITU ATAU CERITANYA MASIH MENGANDUNG LOGIKA, TAPI STOP BACA PAKAI LOGIKA DAN STOP BERUSAHA PECAHIN PELAKUNYA SIAPA, KARENA SEKALIPUN HASILNYA BERLOGIKA...