Author's Note: Maaf untuk keterlambatan update-nya, ya. Saat ini author lagi masa pemulihan, kemarin sempat sakit dan ada beberapa masalah pribadi. Don't worry. Trace dan Chasing The Dead adalah 2 karya utama author sekarang, jadi pasti akan update terus ko :) Trace-nya ditunggu dulu ya tapi :'D Oya, untuk chapter kali ini, lumayan susah bikinnya :')
Prev Chap: Arka mendapat informasi tentang kasus pembunuhan itu dan segera dapat menyelesaikannya, tapi tiba-tiba saja kasus itu diselesaikan orang lain. Bahkan, Ella menolak untuk membantu Arka. Dia harus keluar sendiri sekarang.
******
Anthony benar-benar dipermalukan sore itu. Tidak hanya dua kali teleponnya diambil oleh orang tak dikenal, gadis yang menolak langsung permintaan kakaknya tampak kurang ajar sekali. Ella juga melemparkan HP-nya begitu saja saat mengembalikan, lalu menyeringai sambil mengajak cowok berkacamata di sebelahnya—Daniel—pergi. Belle masih menatap Anthony dengan alis tertekuk, tampak tidak enak hati. Ketidakberdayaan Belle malah membuat Anthony makin kesal. Jangan menatapku seolah ingin membantu tapi tak bisa!
"Kaupikir, memecahkan kasus tadi itu sangat hebat? Hah?" Anthony akhirnya bicara, memancing Ella dan yang lain berhenti, kembali memperhatikan. "Aku juga tak butuh kakakku untuk memecahkannya. Dia terlalu hebat untuk kasus sekecil itu."
Si pria berkacamata menyunggingkan senyum malu-malu, sambil sesekali menunduk. Dia melepaskan gandengan Ella, lalu mengusap-usap bagian atas kamera yang dikalungkannya, sementara tangan kanan masuk ke kantong jaket abu-abu bertudung. Rambut berminyak yang sedikit acak-acakan dan wajahnya yang berbintik jerawat itu membuat Anthony heran, kenapa Daniel bisa menggandeng cewek secantik Ella? Namun, dia segera sadar. Si Ella ini sifatnya jelek. Secantik apa pun dia, mungkin memang kedua orang ini sama-sama cocok.
"Ja-jadi," Daniel sedikit terbata-bata; senyumnya benar-benar canggung, seperti terpaksa menarik bibir, tapi tiba-tiba sadar kalau gigi-giginya tak rata dan langsung tutup mulut lagi. "Kamu juga sudah mecahin?"
Anthony menyipitkan mata. Di antara perilaku seorang pria yang lebih muda darinya ini—mulai dari posisi bungkuk, tangannya yang tak pernah berhenti mengusap, sampai senyum yang terkesan dibuat-buat itu—Anthony paling tertarik dengan matanya yang tak pernah lepas dari lawan bicara. Daniel bukan penakut. Itu impresi yang didapat Anthony. Bukan berarti Anthony harus takut karenanya. Dia menghirup napas sampai dadanya menggembung dan sedikit mengangkat dagu untuk memperlihatkan wibawa.
"Mudah," kata Anthony. "Korban tingginya 180-an, lukanya di leher, digorok ketika berdiri, sudah pasti pembunuhnya tidak jauh beda tingginya dari korban, malah lebih tinggi. Belle, Ella, dan Edward lebih pendek. Daripada leher, mereka akan lebih mengincar perut atau punggung. Lebih gampang."
"Menarik." Senyum Daniel melebar. "Berarti kamu juga sudah tahu gimana korban dibunuh?"
Anthony berdeham, tampak tak nyaman dengan tatapan Daniel yang benar-benar tertuju kepadanya, pada matanya. Tidak mengintimidasi, tapi menyelidiki. "Aku ... Dia butuh kerja sama. Itu pasti. Mungkin sama si ibu pemilik kos itu."
"Ibu Nina?" Daniel mengangguk-angguk sambil tertawa kecil. "Yah, kayaknya yang paling bisa kepikiran ya begitu. Aku nggak salahin juga, sih. Seenggaknya, dugaan kamu soal tinggi badan itu ada benarnya. Itu cara paling mudah buat nentuin pelaku."
Dada Anthony mencelus. "Aku salah?"
"Nggak perlu berkecil hati soal itu. Kamu juga sudah benar bilang kalau Niko punya asisten, tapi dari analisis aku, asistennya bukan Bu Nina, tapi Edward. Kamu ingat soal Edward ketuk pintu tapi nggak ada jawaban itu, 'kan?"
Sambil mengingat-ingat, Anthony membayangkan juga kejadiannya. Edward si anak kuliahan bertubuh pendek itu mengetuk pintu untuk menanyakan HP-nya yang hilang, tapi tidak ada yang menjawab dan diperkirakan korban sudah tewas.
"Sebelumnya," lanjut Daniel, "Niko jalan ke halaman belakang sambil bawa pisau yang sudah dibungkus kantong plastik biar darah nggak berceceran ke mana-mana dan sidik jarinya nggak nempel di pisau. Dia ketuk jendela korban supaya dibuka, atau mungkin sudah terbuka waktu itu. Mereka ngobrol sebentar. Tempat itu temboknya kurang bagus, jadi keras sedikit saja, orang di luar bisa dengar. Edward sudah siaga di depan kamar. Pas Niko sama korban ngobrol cukup keras, Edward ketuk pintu. Di situ, korban menoleh, lengah, lalu lewat celah kaca nako, Niko masukin tangan dan gorok leher korban. Setelahnya, dia bungkus lagi pisau, terus balikin ke dapur. Tentunya, kaca nako mudah ditutup dari luar. Itu yang bikin kamarnya tetap terkunci."
Oke, kepala Anthony rasanya mau pecah dan sebagian besar sebenarnya tidak dia dengar juga. Kenapa Daniel cepat dan lancar sekali bicaranya kalau soal analisa begini? Anthony mendesah. "Bagaimana pun caranya, bukti sudah ada, dan aku juga bisa menyimpulkannya cuma dari tinggi badan. Lagi pula itu cuma spekulasi. Analisisku soal kerja sama dengan si ibu kos juga masih memungkinkan. Atau kau sudah punya bukti kalau Edward yang membantu?"
Jari Daniel yang mengusap membentuk lingkaran kecil di atas kameranya terhenti. Dia kemudian berkedip dua kali, sebelum garuk-garuk kepala sambil menoleh ke Ella. "Orang ini langsung tahu celah analisis aku."
Gadis itu mendengkus, bibir bawahnya melengkung ke atas cemberut. "Jangan mulai lagi, Daniel!"
"Aku nggak bisa ... Urgh!" Daniel mengerang dengan tangan kanan terkepal ke bawah. Seluruh kecanggungan berubah jadi perilaku heboh meluap-luap. Dia mengabaikan Ella dan menghampiri Anthony, lalu mengulurkan tangan. "Sori kalau Ella itu agak nggak sopan. Aku Daniel. Aku suka banget ketemu sama orang yang bisa diajak mikir."
Anthony membalas uluran tangan Daniel dengan dahi mengerut. Bisa diajak mikir? Baru kali ini dia dibilang bisa diajak berpikir, padahal biasanya omongannya tidak terlalu dianggap. Itu tadi juga cuma dilontarkannya karena tidak mau tambah malu di depan Ella dan Belle, tidak mau kalah dari Daniel. Dipuji karena pemikirannya? Pfft! Itu keahlian dan hak Arka, bukan Anthony. Dia masih termangu saat Daniel membujuk Ella untuk membantunya, kemudian tersentak lagi saat suara Ella menggelegar tegas.
"Sudah kubilang, aku tidak bisa! Dan seharusnya kau,"—Ella menunjuk Anthony—"yang bertanggung jawab mengurus kakakmu, bukan kami."
Dan begitu saja, kebanggaannya lenyap seketika. Anthony kembali jadi Anthony yang tidak bisa apa-apa. Perlahan, ketiga orang yang merupakan harapan satu-satunya untuk kakaknya berjalan pergi. Selangkah demi selangkah. Anthony akan pulang dengan tangan kosong.
Tidak!
Tatapan Anthony kembali mantap. Dia harus menolong kakaknya! Arka sudah kehilangan semangat dan kepercayaan diri untuk menemukan gadis yang entah kenapa dapat dilihatnya dalam mimpi. Apakah sekarang sudah tidak bisa atau mereka adalah gadis berbeda dengan nama sama? Tidak! Apa pun yang terjadi, berbeda sekalipun, Anthony harus membuat Belle yang ini dan Belle di dalam mimpi Arka sebagai orang yang sama. Kebenaran bukanlah fokusnya. Menolong Arka adalah fokusnya.
"Kakakku ...!" Anthony berhenti setelah berteriak. Ketiga orang di depannya juga menghentikan langkah gara-gara kaget. Melihat mereka, Anthony ingat bahwa Arka tidak ingin keluar karena identitasnya sebagai orang mati. Dia masih ingin menghargai keinginan itu dan akan memberi tahu jika kakaknya memang sudah mengizinkan. "Kakakku meninggal dua tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan ... bersama ibuku. Aku tahu kalau itu bukan kecelakaan biasa dan polisi sudah menganggapnya begitu. Ayahku juga sudah membiarkannya. Aku hanya ingin mencari tahu siapa yang mencelakainya. Mencelakai mereka."
Ella mengernyitkan alis. "Bukankah tadi aku bicara dengan kakakmu?"
"Yah,"—Anthony mengusap-usap tengkuk—"bukan berarti aku tidak boleh punya dua kakak. Maksudku, yang kecelakaan ini kakak kami. Mungkin kalian pernah dengar tentang keluarga kami, Suryadana."
Mendengar nama itu, Belle membulatkan mata. Dia tergagap. "Surya ... dana ...? Jangan bilang kalau kakakmu yang meninggal itu bernama ... Arka Suryadana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing The Dead
Mistero / ThrillerWARNING: R18 for violence INI SAMA SEKALI BUKAN MISTERI, WALAUPUN MUNGKIN ADA YANG BERPIKIRAN BEGITU ATAU CERITANYA MASIH MENGANDUNG LOGIKA, TAPI STOP BACA PAKAI LOGIKA DAN STOP BERUSAHA PECAHIN PELAKUNYA SIAPA, KARENA SEKALIPUN HASILNYA BERLOGIKA...