Hujan turun di sore hari. Setelah lelah bercerita dengan Ayah, aku kembali merenung di dalam kamarku. Vino masih tak memberiku kabar.
Aku benar-benar tidak bisa menahan diriku. Aku mencoba menelfonnya 2 sampai 3 kali, namun dia tidak menjawabnya. Beberapa saat kemudia, Vino akhirnya menelfonku kembali.
Aku mengangkat telfon dengan perasaan marah. "Halo, permen Cacaku. Kamu sedang apa? Hehehe" katanya.
"Kamu dari mana saja?" Tanyaku dengan nada kesal. "Belakangan ini kamu sering menghilang dan jarang memberi kabar, kamu berubah" tambahku.
Seketika dia terdiam. Lalu tak lama setelah itu, dia menjawab dengan santainya. "Aku tidak menghilang, aku ada di hatimu" katanya.
Aku tidak merasa senang dengan rayuannya saat itu. Aku sedang kesal padanya dan dia tidak meminta maaf padaku. Huhh, sungguh menyebalkan.
"Terserah katamu saja" jawabku lalu menutup telfonnya.
Bahkan setelah itu dia tidak menelfonku kembali. Aku benar-benar marah padanya sampai-sampai saat itu juga aku ingin memutuskan hubungan ini.