Part 1

2.5K 108 6
                                    

Sinar matahari Senin menyingsing, menyapa Maryam melalui celah-celah gorden jendela yang belum disingkapkan. Alarm bersahut-sahutan. Memaksa kepada dirinya untuk segera beranjak dari tempat tidurnya. Mata terbuka pelan. Rambutnya masih acak-acakan. Segera ia buka gorden jendela dan mematikan alarm yang sangat menyebalkan itu.

Ia melihat kepada cermin. Menelisik kepada bagian matanya yang sudah memiliki kantung. Wajahnya yang tirus dengan mata bulat membuatnya masih terlihat cantik. Ia menguap sambil merentangkan tangan ke udara. Maryam mendengus. Malas sekali rasanya bangun pagi di hari Senin. Ia segera beranjak mandi. Kalau terlambat upacara, bisa bersih taman sekolah karna dibersihkan olehnya lagi. Dan tentu saja, sahabatnya, Mikail, pasti juga akan mengomelinya sepanjang Sulawesi sampai Jakarta.

Tak berselang lama, karna mengingat omelan Pak Said, salah seorang gurunya di sekolah jika siswa terlambat datang saat upacara, membuat Maryam benar-benar bergerak lebih cepat dari minggu kemarin. Ia memperbaiki tatanan rambut ikalnya yang ia biarkan terurai ke bawah. Rambut sebahunya itu dihiasi dengan sebuah jepitan rambut klasik berwarna abu-abu. Senada dengan rok abu-abu yang dikenakannya. Maryam menarik tas ransel kecilnya kemudian menuruni tangga. Didapati makanan sudah tersedia di meja dapur. Mamanya muncul dari balik pintu sembari tersenyum melihat Maryam yang sudah rapi. Papanya duduk di kursi paling depan selaku kepala keluarga. Mereka sarapan bertiga sebagaimana rutinitas setiap hari. Papa Maryam adalah seorang dokter spesialist bedah. Sementara ibunya adalah seorang penulis. Bimbingan yang selalu terdengar lembut dari papanya dan berbagai nasihat bijak seorang penulis macam ibunya, membuat Maryam sangat bersyukur menjadi satu-satunya malaikat kecil di tengah kedua orang tuanya.

Roti bakar di hadapannya dilahap dengan cepat. Hanya beberapa menit, dia pun meminum susu hangat yang sudah disiapkan Ibu Sarah. Ibu Sarah adalah asisten rumah tangga di rumahnya. Ibu Sarah sudah menjadi orang kepercayaan keluarga Pak Abraham, Papa Maryam sejak Bu Syarina, mama Maryam memutuskan untuk menjadi seorang penulis 4 tahun yang lalu.

Sekejap saja, Maryam sudah menghabiskan semua sarapannya dan berpamitan kepada kedua orangtuanya.

"Pergi dulu ya, pah, mah." kata Maryam sembari menyalami tangan keduanya. Dia segera keluar rumah ke teras dan mengenakan sepatunya.

Dari kejauhan, terdengar suara motor vespa tua muncul dari pertigaan lorong kompleksnya. Maryam sudah tau siapa yang datang. Seorang lelaki, yang tidak satu hari pun Maryam lalui tanpa melihat wajahnya. Dia Mikail, sahabat, saudara, kakak, bagi seorang Maryam sejak dia masih berumur 5 tahun. Dulunya, ibu Mikail dan ibu Maryam adalah sahabat karib sejak SMA sehingga Mikail dan Maryam yang masing-masing merupakan anak tunggal, membuat mereka menjadi sangat akrab bak saudara kandung sendiri.

Dengan senyum sok kegantengan ala Mikail, dia menghentikan motornya di depan rumah Maryam. Maryam beranjak berdiri sembari memasang wajah sombongnya karna berhasil bangun pagi. Bahkan berhasil menunggu kedatangan Mikail terlebih dahulu. Padahal biasanya, Mikail yang harus menunggu Maryam selesai bersiap-siap.

"Ojek, bu. Tumben banget kamu bangun pagi." kata Mikail.

"Iya dong. Liat nih, aku bahkan menang dari kamu." celoteh Maryam.

"Baru juga sekali. Bangga bener. Bilang saja kalo kamu takut sama pak Said." komentar Mikail sambil mengacak-acak rambut Maryam.

"Ih, apaan sih kamu, Mik. Jadi rusak, kan. Padahal tadi udah disusun bagus-bagus, juga." kata Maryam dengan wajah kusut.

"Hahaha, lagian sok cantik banget sih kamu. Kayak mau ke kondangan aja. Orang mau ke sekolah juga. Udah. Naik gih. Siapa juga sih yang liatin kamu kalo di sekolah. Perasaan kalo istirahat, bareng aku doang." kata Mikail tertawa.

Maryam pun naik ke motor Mikail. Sudah 10 tahun mereka berboncengan ke sekolah. Sejak SD sampai SMA. Hanya saja, sewaktu SD mereka masih bersepeda. Pada saat SMP, Mikail sudah bisa membawa motor sendiri. Dan tentu saja, dengan motor vespa kesayangannya yang merupakan peninggalan kakeknya. Mikail tak merasa malu memakai motor itu. Meskipun sudah tua dan sangat berisik. Tapi, itu merupakan ciri khas bagi dirinya sendiri. Dari kejauhan, saat naik motor vespanya, semua orang sudah tau bahwa itu adalah suara motor Mikail. Dan yang paling penting, meskipun motor vespanya sudah tua dan butut, setiap berangkat ke sekolah, ia pasti selalu membonceng perempuan paling cantik setelah ibunya. Baginya, itu sudah membuat dirinya terlihat sangat keren.

Mereka tiba di sekolah sebelum pukul 7. Rekor yang sangat tidak disangka-sangka oleh mereka berdua. Apalagi sekolah mereka sudah menerapkan sistem full day school. Sehingga upacara di hari Senin harus dilangsungkan pukul 7.00. Mikail memarkir motornya di tempat biasa dia memarkir. Parkiran itu ada hanya untuk orang-orang yang gemar menabung karna parkiran itu sebenarnya bukan area dari sekolah. Tapi, jika parkir kendaraan di sana, Mikail bisa pulang cepat tanpa harus mengantri untuk keluar pagar sekolah saat jam pulang. Dan juga tidak perlu khawatir motor kesayangannya kebasahan saat hujan karna parkiran itu dilengkapi dengan atap. Yah, wajar parkiran itu sangat bagus, karna sekali parkir, sehari harus bayar Rp. 2000. Mikail sebenarnya menyayangkan uangnya harus keluar setiap harinya sebesar 2000. Tapi, dia juga tak senang mengantri lama-lama jika diparkir di dalam sekolah.

"Maryam, Mikail? Disengat apa kalian, sampai tak terlambat masuk upacara?" sapa pak Ridho, satpam sekolah yang membuat Maryam mendengus kesal mendengarnya. Sementara, Mikail yang sangat friendly everywhere menjawab sambil tersenyum,

"Tadi mataharinya saya tahan dulu pak. Supaya nggak cepet siang." canda Mikail.

"Hahaha, ada-ada aja kamu, Mik. Ya sudah sana masuk. Itu Pak Said sudah berdiri di sana."

Mikail membalas perkataan pak Ridho dengan tangan yang diletakkan di samping mata kanannya memperagakan seseorang saat hormat kepada bendera.

Mereka segera menuju kelas mereka. Entah karna direncanakan atau tidak mereka selalu ditempatkan di dalam kelas yang sama sejak SD. Mereka menyimpan tas dan kemudian menuruni tangga untuk mengikuti upara. Mengingat Pak Said sudah berteriak-teriak di sumber suara sekolah. Mereka pun mengikuti upacara dengan khidmat.

Allah Loves YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang