Part 14

643 41 1
                                    

Jangan sider yaaaaa
Tinggalkan jejak saat membaca 😁😁

.
.
.
.
.
.
.
.

Shofiyyah POV

"Mar, bareng yuk liat Mikail tanding!!" ajak Ratna ketika baru saja melihatku pulang dari mushollah selepas sholat ashar.

Sekarang sudah waktunya pulang. Saatnya Mikail bertanding. Aku melirik ke arah Balqis. "Qis, kamu mau nonton pertandingan basket juga nggak?" tanyaku.

Balqis terlihat berpikir sejenak. "Ng.. nggak deh, Mar. Aku nggak biasa nonton begitu." katanya menolak.

"Yah.. Ya udah deh. Kalo gitu aku duluan yah." kataku.

"Iya, assalamu'alaikum." katanya sambil menjabat tanganku.

"Eh, iya. Lupa. Wa'alaikumussalam warahmatullah hehe." jawabku.

Wani dan Ratna celingukan saling pandang melihat tingkahku dan Balqis barusan. Aku menarik tas ransel kecilku dan beranjak keluar kelas diikuti oleh Wani dan Ratna.

"Mar, jangan keseringan sama dia deh. Ntar kamu ketularan lagi fanatisme-nya dia." kata Ratna cepat saat sudah merasa aman suaranya tak terdengar sampai ke kelas.

"Iya, Mar. Temenan emang nggak pandang bulu sih.. Tapi yah hati-hati juga kali sama yang begituan. Bisa-bisa kamu jadi fanatik juga gara-gara dia." tambah Wani.

Aku hanya menyengir berpura-pura tidak mengerti. "Kalian ini kenapa sih? Fanatik apa? Dia orangnya baik kok. Baik bangeet malah." kataku sambil tersenyum.

"Iya sih baik. Tapi kamu liat deh kerudung yang dia pake. Kepanjangan, Mar. Kayak orang kebanjiran aja." komentar Ratna lagi.

"Nah bener tuh Mar." Wani ikut nimbrung.

"Aduh udah deh. Kalian harus tau ya. Nggak ada yang namanya fanatik. Dia itu bukan fanatik. Tapi taat. Kitanya aja nih yang nggak tau kapan mau taat." kataku membela.

"Ih, Maryam. Tuh kan. Dikasi virus apa sih kamu sama dia?" Ratna bertanya lagi.

"Kayaknya dia alirannya keras deh Mar. Kamu harus hati-hati tau." tambah Wani pula.

Aku menghentikan langkah. Koridor kelas yang sudah sepi membuat aku leluasa berbicara.

"Wani, Ratna, aku nggak dikasi virus apa-apa kok. Dia orangnya baik. Percaya deh. Kalian jangan liat dia pake kerudung segitu gede-nya terus bisa kita nilai secara gampang seenaknya. Temenin dulu orangnya. Kenali sifatnya. Baru kita bisa tau kalo sebenernya dia tuh orangnya kaya gimana." kataku sambil diselingi senyum yang lebar. "Udah ah. Masa kita jalan lagi bertiga tapi ngomongin yang keempat? Kan nggak asik. Ayo." lanjutku mencoba menghentikan percakapan-percakapan negatif tentang Balqis dari kedua sahabatku itu. Mereka hanya mendengus kesal melihat tanggapanku.

Kami berbelok menuju parkiran mobil di samping taman sekolah. Beruntung aku punya teman seperti Ratna. Kemana-mana selalu naik kendaraan roda empat itu. Menurut cerita mereka, kita sering berangkat holiday ber-tiga. Tapi, satu pun aku tak ingat.

Tak lama, sebuah mobil silver berbunyi tatkala Ratna membunyikan automotive mobilnya. Kami bertiga masuk ke dalam mobil tersebut. Aku di samping Ratna dan Wani di jok belakang seorang diri. Ratna mulai menyalakan mesin mobil. Sesaat, dia berkaca sambil memperbaiki letak bando berbentuk pita di kepalanya. Saat sudah merasa dirinya cantik bak Ratu Elizabeth, dia kembali memegangi setir mobil. Dia memundurkan mobil kemudian membelokkannya agar dapat keluar dari gerbang sekolah.

Aku hanya diam selama perjalanan. Banyak hal yang kupelajari hari ini. Bertemu dengan Balqis. Rupanya ada satu perintah Allah yang kulupa, ia hijab. Padahal hijab itu perkara wajib. Aku teringat lemari pakaian di kamarku. Tak ada satu pun kain penutup kepala yang tinggal di sana. Yang ada hanya baju berlengan panjang -mungkin karna aku risih memakai baju berlengan pendek- serta celana pendek selutut. Ada pula kardigan-kardigan panjang. Tak ada hijab. Mama juga tak berhijab. Seolah-olah hijab di duniaku adalah hal yang terlupakan. Padahal kata Balqis, hal itu ada dalam al-Qur'an. Wajib hukumnya.

Allah Loves YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang