Shofiyyah POV
Aku berjalan menyusuri koridor kelas. Bersama dengan Fikry. Kali ini, perasaanku agak membaik karna aku berjalan tidak sendirian. Tapi, masih terdengar suara berbisik di sekitarku.
Sesaat sudah sampai di pintu kelas, seisi kelas tiba-tiba hening. Fikry terdiam dan secara tidak langsung dia mendahuluiku menuju tempat duduknya.
Ratna dan Wani menghilang entah kemana. Aku kemudian duduk, mencoba melupakan bisikan-bisikan yang terdengar dan membaca buku yang sedari tadi tertunda.
*****
Hari sudah sore.
Aku menunggu di halte sekolah. Mikail belum datang. Kulirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul 5 sore. Lama sekali Mikail. Sudah sedari tadi aku mencoba menghubunginya, namun hasilnya nihil.
Tiit ... tiitt.. Nomor yang anda tuju ...
Selalu saja suara itu yang menjawab telpon dariku. Aku mendengus kesal. Aku mencoba menelpon papa, tapi papa tidak mengangkat telponku juga. Mungkin papa masih berada di rumah sakit. Mama tak ada kendaraan bila harus menjemputku kemari. Aku berdiri lagi. Melihat-lihat ke ujung jalan. Kalau-kalau Mikail datang tiba-tiba.
"Ekhem." suara seseorang. Khas sekali di telingaku.
Fikry.
Aku benar. Dia Fikry. Aku menoleh. Dia dengan motor ninja berwarna merah mengkilat. Seperti biasa, dia terlihat datar. Tanpa senyum. Sangat berbanding terbalik dengan Mikail, yang dimana-mana selalu tebar senyuman. Nah, kali ini aku membandingkannya lagi dengan Mikail.
Fikry membuka kaca helm yang menutupi rambut ikalnya.
"Mikail belum dateng?" dia bertanya.
Aku hanya mengangguk. "Kamu baru pulang?" tanyaku.
"Menurut lo?"
Aku terdiam. Seperti paku yang sedang menancap di dinding, tak berkutik dan tak bicara.
"Pulang sama gue aja." katanya menawarkan.
"Ng.. nggak deh. Aku di sini aja nungguin Mikail. Paling bentar lagi dateng kok." jawabku menolak.
"Yakin mau tinggal sendirian? Sekolah udah sepi banget tuh." kata Fikry lagi seolah menakut-nakutiku dengan menunjuk ke arah sekolah menggunakan dagunya.
Aku mendengus pelan. "Ng .. tapi .."
"Sekarang itu banyak kasus penculikan. Apalagi kebanyakan yang diincar itu anak perawan. Nah, ada asap, nggak mungkin nggak ada api. Itu karna perempuannya aja yang suka tinggal-tinggal di jalanan. Jalanan yang sepi lagi." tambahnya lagi sambil melipatkan tangannya ke dada. "Yakin nggak mau ikut?"
"Ng .. Iya deh." jawabku pendek. Aku naik di atas motor besarnya. Fikry kemudian menyalakan mesin dan melaju meninggalkan sekolah.
"Kita ke rumah sakit dulu, ya." katanya dengan suara keras agar aku mendengarkan.
"Buat apa?" tanyaku.
"Ikut aja." katanya lagi.
Aku hanya terdiam. Angin menerpa membuat rambut sebahuku terkibas ke belakang. Kali ini, aku sudah mulai mengurai rambut. Karna kebanyakan gambar diriku di dinding kamar seperti itu. Malah, jika kuperhatikan wajahku dengan rambut yang terikat, aku lebih mirip gadis-gadis cupu yang sering diperlihatkan oleh Ratna.
Matahari menyingsing tepat di penghujung jalan. Seolah sedang melambai-lambai ke arahku karna aku beranjak dari perpaduan. Aku menyipitkan mata. Memandang ke arah matahari yang perkasa. Fikry membawa motornya berbelok ke kiri di simpang tiga. Matahari sekarang tertutupi oleh bangunan tinggi di sekitarku. Tak butuh waktu lama, di depan sana gedung rumah sakit yang tinggi menjulang sudah nampak. Fikry memarkir menghentikan motornya dan berlalu meninggalkanku. Aku tersontak, dan secara tidak langsung mengikutinya dari belakang. Aku berjalan di sampingnya sehingga membuatnya menoleh. Tapi hanya sebentar.
Kami melalui taman rumah sakit. Di sinilah aku pertama kali bertemu dengannya.
Apakah saat itu dia sedang menjengukku?
Atau ada orang lain yang dia jenguk?Fikry terus berjalan menyusuri lorong demi lorong rumah sakit. Kemudian dia masuk ke dalam pintu lift. Dan menekan lantai 4. Kami hanya terdiam tak ada komunikasi. Sesaat kemudian, pintu lift terbuka. Hatiku terus bertanya-tanya siapakah gerangan seseorang yang hendak dijenguknya. Dia melangkah berbelok ke kiri. Langkahnya melambat. Dia berhenti di depan sebuah ruang VIP. Fikry menyentuh gagang pintu dengan sangat hati-hati dan membukanya. Aku langsung bisa mencium bau obat-obatan dari dalam sana. Suhu yang sejuk meraba kulitku. Fikry masuk ke dalam diikuti aku. Terdengar suara tit tit tit dari komputer yang menyala dan terdapat seorang wanita terbaring tak berdaya di atas pembaringan. Wanita itu bernafas hanya dengan bantuan alat pernapasan. Fikry terpaku di tempatnya dan kemudian duduk di sebuah kursi di samping wanita itu.
"Ma .. ini Fikry ada di sini ma." ucapnya lirih sambil memegangi tangan wanita yang dipanggilnya dengan sebutan 'mama' itu.
Seorang Fikry. Sejak pertama kali melihatnya, dia seperti seseorang yang tak memiliki beban. Selalu terlihat santai dari sisi manapun aku memandangnya. Tubuhnya yang tegap tinggi serta wajahnya yang tampan berhasil menutupi seluruh rona kesedihan dalam dadanya.
Kulihat, dia tersenyum. "Mama, apa kabar? Baik-baik aja, kan?" ini pertama kalinya aku melihat Fikry tersenyum. Selama ini, dia hanya selalu menyeringai, meringis, sambil menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Tak pernah tersenyum.
Dia kemudian mencium punggung tangan mamanya dan mencium keningnya pula. Fikry memejamkan mata. Menghela napas, kemudian menghembuskannya kembali.
Tak lama, dia bangkit. Setelah berkata "Ayo." dengan nada pelan sekali, aku hanya mengikutinya dari belakang.
Banyak sekali pertanyaan yang ingin kulontarkan, tapi .. Raut wajah Fikry terlihat dingin. Kupandangi setiap sudut matanya. Dia tak menangis, tapi sendu sekali arah pandangnya.
"Kenapa sih lo?" tanyanya tiba-tiba. Refleks berubah ekspresi. Suasana hatiku yang semula luluh hanyut dalam kepedihannya runtuh seketika mendengar pertanyaannya dengan nada ketus itu.
"Ng .. dia mama kamu?" tanyaku.
Dia hanya mengangguk. Hanya mengangguk.
"Dia .. sakit apa?" tanyaku lagi. Sangat hati-hati.
"Koma." jawabnya pendek.
Aku menghela napas pelan. Terkadang aku bingung melihat anak ini. Dia sosok yang peduli dengan orang lain. Tapi apakah dia juga tidak butuh kepedulian?
"Fik, kamu sudah bawa aku ke sini. Aku saksikan apa yang baru saja terjadi. Kamu harus ceritakan sama aku, sebenernya apa yang kamu sembunyikan?" tanyaku. Entah dari kekuatan mana aku mengatakannya. Fikry sampai-sampai menghentikan langkahnya sembari memandangku lekat-lekat.
"Kamu mau tau?" tanyanya kemudian.
Aku mengangguk cepat. Lalu dia menarik tanganku meninggalkan rumah sakit..
*****
Vote + comment i wish ❤
Fast update kok. Lagi mood-mood-nya nih hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Allah Loves You
SpiritualSLOW UPDATE . . . . . . Allah selalu punya cara untuk membuat semuanya berakhir bahagia. Asalkan hati diselimuti dengan iman dan taqwa. Salah satunya dalam lika liku kehidupan seorang Shofiyyah. Mulai dari cobaan yang bertubi-tubi. Hingga Allah meng...