Delapan

30.3K 3.1K 425
                                    

Like an apple hanging from a tree. I picked the ripest one. I still got the seed.
(Thinking of You – Katy Perry)
•••

ALDEO
“Nitip gerobak, ya? Bapak mau Dhuha dulu.” Pak Kumis menaruh lap tangan yang tadi dipakai untuk membersihkan noda sambel di atas meja pembeli. “Kalau udah makannya, uangnya taruh di meja aja, nggak usah nunggin Bapak.”

Gue mengangguk.

Sonson menyahut, “Sip, Pak!”

Dito, melamun sambil memegang bakwan.

Dan Ojan sibuk makan ketan goreng dengan wajah yang masih marah. “Kampret emang tuh si Ruslan Fucking Rahman.” Ojan menggerutu lagi setelah ketan goreng di tangannya habis.

“Apa perlu kita cari arah jalan pulangnya, terus kita tampolin bareng-bareng mulutnya?” Sonson memberi saran.

“Udah kenapa sih, lo pada?” Gue mencoba menghentikan ocehan dua teman gue itu. “Lagian, kalau pun kuisnya diundur minggu depan, nilai kita mungkin tetep segitu-segitu aja, kan?”

Gue tebak, di kelas kalian pasti ada satu orang yang suka mengingatkan guru dengan tujuan caper tapi memasang tampang polos dengan bilang, “Bu, bukannya kata ibu hari ini akan diadain kuis, ya?”

Nah, kami baru aja menemukan orang semacam itu di kelas, Ruslan Rahman. Saat Bu Nila, yang dua hari lalu menjanjikan kuis hari ini tetapi kayaknya lupa karena langsung menjelaskan sub bab berikutnya ketika masuk kelas tadi, dengan tampang sok polos dan pertanyan sok pahlawan tadi, Ruslan mengingatkan janji Bu Nila. Gue nggak pernah menyalahkan Ruslan. Memang pada dasarnya kita yang salah karena nggak belajar, padahal di grup chat sudah jelas-jelas saling mengingatkan untuk kuis Biologi hari ini, tapi tetap aja banyak yang berdoa Bu Nila lupa. Dan, di saat Bu Nila memang mau lupa, diingatkan oleh Ruslan. Betapa kami harus berterima kasih sama dia.

“Gue pikir, cuma di kelas X aja ada makhluk kayak gitu. Si Zaki. Eh, ternyata di kelas sebelas gue nemu juga makhluk biadab macam begitu.” Sonson melipat lengan di dada sambil menggeleng-geleng. “Makhluk sok polos, suci dan bersih padahal di belakang dia berniat nusuk semua teman-teman sekelasnya yang bego.”

“Dia emang suci dan bersih, kali. Lo lihat aja di absen ruang BP, apa ada namanya terdaftar sebagai siswa yang pernah punya masalah?” Setahu gue, Ruslan memang anak baik yang benar-benar selalu taat peraturan sekolah, yang sampai pulang pun kemejanya tetap dimasukkin ke dalam celana. Gue jadi ingat Reza.

“Iya, dia sangat suci aku penuh dosa. Dia yang nyuci dan gue yang kena busa,” kata Ojan sambil nge-rap gaya-gaya Young Lex gitu. Ocehannya makin lama makin nggak jelas pokoknya. Tapi dari gaya cerianya, ketahuan kalau dia sekarang udah nggak begitu kesal.

Sekarang masih jam pelajaran Biologi. Setelah kuis di jam pelajaran pertama, Bu Nila menyuruh untuk membaca sub bab selanjutnya sementara beliau mau ngadem di ruang guru. Tapi, karena kami benar-benar frustrasi dengan nilai kuis yang sangat di bawah rata-rata, akhirnya kami menyelinap lewat gerbang samping untuk silaturahmi sama Pak Kumis.

Gue melirik Dito, di saat kami bertiga sibuk ngobrol dan makan gorengan, dia malah main ponsel, lalu sesekali melamun. Sikapnya aneh hari ini, dari pertama masuk ke kelas tadi pagi, dia agak pendiam.

“Mulut lo ketinggalan di rumah, Dit?” tanya Ojan tiba-tiba. Mewakili pertanyaan yang pengin gue sampaikan.

Dito menatap Ojan, melongo sebentar. “Kenapa emang?”

Satu Kelas [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang