Epilog

19K 1K 181
                                    


Aldeo: Gue baru nongol lagi. Plis, dengar penjelasan gue dulu. Jangan dulu lempar wajan atau panci, plis. Akhir-akhir ini, gue masih sering baper sendiri. Jadi, gue masih ingin mengenang kisah gue dan Sandria untuk dinikmati sendiri. Tapi, karena author Satu Kelas terus-terusan mendesak gue, gue paksakan akhirnya, menulis kisah gue dan Sandria saat pacaran dulu. Masih ada yang mau baca nggak? #kriiiikkkk Ini gue sudah menulisnya dengan sepenuh hati, sambil air mata kadang merembes--boong kali. Ngomong-ngomong, tugas lo udah selesai, Ya?

Sandria : Udah, lah. Gue udah selesai nulis dari kapan tau. Lo aja yang lama.

Aldeo : Ya, udah. Selamat membaca ya semuanya. Ini adegan-adegan saat kami masih pacaran dulu.  Jangan baper. Padahal gue yang baper. Doakan gue balikan lagi.

Sandria : *lempar wajan*

***

ALDEO
Suatu Hari
Suatu hari, gue ingat sepulang sekolah gue menemani Sandria belajar di perpustakaan. Judulnya juga ‘menemani’, jadi gue hanya duduk samping kubikelnya sambil menempelkan pipi ke meja melihatnya yang serius belajar.

“Memangnya besok ulangan Fisika?” tanya gue dengan suara berbisik karena takut mengganggu siswa lain yang sama-sama sedang belajar di perpustakaan dan mendapat peringatan dari Bu Gina, penjaga perpustakaan.

Sandria hanya menggeleng lalu menoleh ke arah gue. “Cuma mau nyalin catatan Fisika. Tadi gue nyatetnya buru-buru, jadi nggak beraturan gitu.”

“Gue malah nggak nyatet,” balas gue sembari cengar-cengir.

Sandria hanya menggeleng sambil menatap gue dengan ekspresi prihatin. “Kalau bosen, pulang aja. Kan gue nggak minta ditemenin.”

Dia memang nggak pernah minta gue temani, tapi rasanya aneh saja kalau pulang nggak bareng dia. Jadi, gue putuskan untuk diam di sampingnya sampai dia selesai belajar sambil … membuka-buka asal buku paket Fisika milik gue.

Saat Sandria kelihatan pegal, meregangkan tangannya dan menguap, gue segera memegang tangannya, membuatnya menoleh. “Apa?” Dia menatap gue.

“Waktu Issac Newton ngelihat apel jatuh, dia nemuin teori apa, Ya? Gue lupa.”

“Teori gravitasi?” Dia nanya balik.

“Gimana bunyinya?” Gue mendekatkan wajah seolah-olah mau memperhatikan.

“Setiap benda yang jatuh pasti arahnya menuju ke pusat gravitasi,” ujarnya dengan wajah serius.

Gue menggeleng. “Salah itu.” Gue melihat Sandria menatap gue heran. “Hati gue jatuhnya nggak ke pusat gravitasi. Malah ke hati lo.”

Dia menatap gue yang sekarang cengengesan. “Basi banget, sih,” umpatnya seraya mendorong pipi gue.

“Basi tapi pipinya merah.” Gue melihatnya mendelik kesal. Yah, berhasil kan gue nggak bikin dia mengantuk dan lanjut menyalin catatannya?

***

SANDRIA
Suatu Hari
Suatu hari, aku melihat Aldeo saling dorong dengan lawan bermain futsalnya dari sekolah lain. Pertandingan terhenti, wasit memberi peringatan berkali-kali karena melihat kedua tim nggak melanjutkan permainan. Tim futsal sekolah kami, Ari, mendapatkan satu dorongan kencang dari tim lawan, menyebabkan dagunya membentur lantai lapangan dan sepertinya mengalami cidera. Lalu, dengan tindakan sok pahlawan, Aldeo mendorong dada pemain lawan dan berucap kasar.

Suasana makin ricuh saat Aldeo memukul wajah salah satu pemain lawan dan tentu dia mendapatkan balasan serupa. Penonton menghambur ke tengah lapangan, ingin menyaksikan pertandingan konyol itu lebih dekat. Sepertinya hanya aku sendiri yang tersisa di tribun.

“Seneng ya kalau habis mukulin orang gitu?” tanyaku menghampiri Aldeo yang sekarang sedang duduk di bangku di depan ruang ganti seusai pertandingan.

Dia mengangkat wajahnya, menghentikan tingkahnya yang sedang menekan pelipis dengan handuk basah. “Duduk sini,” pintanya seraya menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya.

Aku nggak memenuhi permintaannya. Sekarang aku berjongkok di hadapannya setelah merebut handuk yang dipegangnya, mengganti dengan botol dingin air mineral yang kubeli dikantin tadi untuk mengompres memar di ujung alisnya. “Seneng dapet luka kayak gini?” tanyaku.

Dia menunduk. “Maaf,” ujarnya dengan suara pelan.

“Lo nggak tahu kan perasaan gue gimana saat ngelihat lo di pinggir lapangan tadi?” tanyaku dengan suara bergetar. “Kalau udah kayak gini, gue benci sama lo.” Mataku berair, membayangkan hidung Aldeo yang tadi berdarah sebelum dipisahkan oleh wasit ke sisi lapangan.

Dia malah tersenyum. “Kalau udah kayak gini, gue makin sayang sama lo,” ujarnya seraya menarik punggungku, mendekapku.

Satu Kelas [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang