• 14 •

305 62 27
                                    

Author's POV

Louis sedang berada di lobi Apartemen Medyo, lagi dan lagi ia mendengar curahan hati Medyo tentang apa yang dialaminya kemarin di rumah Liam.

"Jadi bagaimana hubunganmu dengan Liam?" tanya Louis. Medyo merasa ingin menarik dengan keras rambut Louis, karena pria itu tidak memperhatikannya saat bercerita, padahal Medyo sudah menceritakan panjang lebar padanya.

"Ibunya sangar mirip seperti pemeran wanita antagonis diserial telenovela," Medyo berdiri mulai menunjukkan ekspresi berlebihannya yang berhasil menarik perhatian seorang resepsionis. "Dia tidak menyetujui jika Liam menjalin hubungan denganku. Dia juga mengancamku jika Liam benar-benar pacaran denganku atau bahkan menikah, dia akan berusaha melakukan apapun yang membuat aku tidak betah, jika aku meninggalkan Liam aku akan dapat imbalan. Tapi aku tidak mau melakukannya."

"Jadi maksudmu kau mau menjadi pacar Liam?" tanya Louis. Medyo kembali duduk, ia mengedikkan bahunya.

"Aku juga tidak mau. Jika aku menerima tawaran ibunya, itu sama saja aku memaanfaatkan Liam . Aku benar-benar bingung sekarang, bagaimana caraku menolak Liam," kata Medyo lalu kembali menyesap cappuccino yang dibeli Louis.

Louis memperhatikan kertas yang dipegang Medyo, setelah sadar kalau Louis sedang menatap beberapa lembar kertas yang ada ditangannya Medyo tersenyum kemudian memberikan kertasnya pada Louis. "Apa ini?"

"Aku seorang human resources development. Jadi aku tahu apa yang biasa ditanyakan jika orang diwawancara. Kau bisa belajar dari situ," ujar Medyo. Louis membuka kertasnya membaca sekilas isinya. Medyo mengusap punggung tangan Louis. "Semoga kau berhasil."

"Kenapa kau melakukan ini?"

"Karena aku mau. Uh, karena, ya karena kau pantas mendapatkannya," Medyo menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Tak lama kemudian karena bingung ingin mengatakan apa, Medyo mengibaskan tangannya ke udara. "Sudahlah jangan buat aku pusing. Oh ya Louis, potongan rambutku bagus tidak."

"Kau memang terlalu percaya diri," Louis tersenyum miring, ia lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan mengingat kelakuan dari gadis yang ada dihadapannya itu. "Kurasa kau hanya memotong rambutmu 2 sentimeter."

+

"Bagaimana dengan Nadine?"

Louis mengedikkan bahunya lalu memasukan kedua tangannya dikantong celana. "Aku mengatakan pada Nadine kalau kau mengandung anakku, jadi aku harus menikahimu."

"What the fuck! Kau ingin reputasiku rusak!" Medyo menarik rambutnya frustasi, ia menggigit jarinya, sedetik kemudian dia memukul Louis. "Louis! Kenapa kau mengatakan itu!"

Louis menahan kedua tangan Medyo. "Memangnya kau tidak mau?"

"Nanti kalau beberapa bulan kedepan aku ketemu dengan Nadine dan dia bertanya mana bayiku, bagaimana?!" sungut Medyo.

"Buat bayinya sekarang saja agar cepat," goda Louis. Baru Medyo ingin melampiasakan amarahnya tapi pintu liftnya terbuka karena mereka sudah sampai, Medyo dan Louis langsung keluar.

"Untuk apa kau menemani aku sampai kesini?"

"Untuk memastikan ibu dari bayiku baik-baik saja sampai pada apartemennya," kata Louis lagi.

"Louis!" pekik Medyo. "Kau tidak pernah memberikan kesan baik selama kita kenal. Kenapa kau semakin menjengkelkan! Bahkan Kemarin-kemarin kau sangat cuek, sekarang kau-" ucapan Medyo berhenti setelah merasakan sesuatu baru saja mendarat dibibirnya.

"Kau sangat berisik," kata Louis setelah ia mencium bibir Medyo, sedangkan sekarang Medyo benar-benar tenang meskipun sebenarnya dalam dirinya sangatlah kacau. "Terima kasih untuk yang ini. Anggap saja yang tadi itu tidak sengaja, mungkin itu untuk pertama dan terakhir kalinya. Doakan saja semoga aku tidak lulus wawancaranya agar ciuman itu bukan yang terakhir."

Louis membalikkan badannya kemudian menekan tombol lift untuk turun ke lantai dasar.

Medyo tersadar setelah mendengar ponselnya berdering, menampilkan nama seseorang . Ia mendengus, ternyata yang membuyarkan khayalannya adalah Nadine. "Hey Nadine."

"Aku tahu kalau Louis tadi menemuimu atau mungkin kau masih bersamanya," kata Nadine diseberang, nada bicaranya terdengar sinis.

Medyo berjalan masuk ke apartemennya. Sebenarnya ia ingin menutup teleponnya tapi bukankah itu tidak sopan. "Aku akan mengembalikan tasmu. Aku bisa membelinya. Dulunya aku melihatmu seperti sahabatku sehingga aku mau melakukannya."

"Kenapa kau ingin mengembalikan tasnya, jadi kau lebih memilih Louis Tomlinson dibandingkan Louis Vuitton?"

"Louis tidak sebanding dengan tasmu," kata Medyo. Nadine tertawa, dan untuk pertama kalinya Medyo membenci suara tawa dari Nadine.

"Untuk apa Medyo, hah. Kau mengharapkan Louis? Percuma, jika dia akan pindah, aku juga akan kembali. Dan kabar baiknya, kami tinggal di satu kota. Aku yakin Louis lulus, aku melihat usahanya akhir-akhir ini," kata Nadine. Tangan Medyo refleks meremas ponselnya.

"Aku turut senang jika dia lulus wawancaranya," kata Medyo dengan susah payah menelan liurnya sendiri.

"Kau juga turut senang 'kan kalau Louis denganku. Kau harus puas puas bersama Louis seminggu ini, tapi kurasa itu hanya akan semakin menyiksa dirimu untuk kedepannya. Jadi lebih baik kau belajar melupakannya."

[01 Februari 2018]

Cocky & SassyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang