[ 3 ]

3.1K 121 3
                                    

"Oh jadi sekarang ngeringkas tentang sejarah Vietnam?" Tanyaku pada Fariz yang sedang duduk santai di sebelahku.

"Iya nih, Bu Anya yang ngasih tau. Dia nggak bisa dateng, katanya ada urusan."

"Bukunya tebel banget!" Aku mengangkat buku tentang sejarah Vietnam yang baru saja diletakkan Fariz.

"Berdua aja ngeringkasnya, biar lebih gampang." Fariz tersenyum, iamengambil buku itu dan mulai membukanya.

***

Aku tahu Fariz bosan meringkas tentang sejarah Vietnam ini. Sedari tadi ia hanya memutar-mutar pena. Sesekali ia melihat buku dihadapannya dengan malas, sedangkan aku masih sibuk menulis.

"Habis ekskul kamu mau langsung pulang?" Fariz menatapku sambil menopangkan wajahnya. Jantungku berdetak cepat, aku menarik nafas panjang agar bisa menguasai diri. Aku mencoba untuk menatapnya dengan sekuat tenagaku.

"Memangnya mau kemana lagi?"

"Kamu mau makan di luar sama aku nggak? Tenang aja, aku yang traktir kok. Aku lagi bosen hari ini." Fariz menutup buku dihadapanku. Untung saja Bu Anya tidak ada, jadi kami bisa pulang kapan saja.

"Ya boleh, aku juga nggak ada acara kok pulang ekskul."

"Kamu mau ngajak Mila?"

"Mila lagi latihan dance, aku nggak mau ganggu dia."

"Oh." Fariz memasukkan buku-bukunya, dia juga membantuku membereskan alat tulisku yang berserakkan di atas meja.

Fariz beranjak, anak-anak Geografi yang lain memandangnya tajam.

"Mau kemana?" Tanya Agus tajam sambil mengisyaratkan agar Fariz duduk kembali.

Agus adalah siswa setengah profesor yang pintarnya tidak ketulungan. Sangking pintarnya, mungkin ia bisa mengerjakan soal astronomi dengan mata terpejam. Semua piala Olimpiade Geografi tingkat provinsi disabet olehnya. Dalam olimpiade nasional tahun ini ia mendapat juara ketiga, tapi sombongnya minta ampun. Dasar Agus Agus.

"Bukan urusanmu!" Fariz mengandeng tanganku keluar kelas. Agus mendengus dan kembali menulis tugasnya.

Aku selalu bergetar bila Fariz menyentuh tanganku. Tapi aku tidak tahu persis bagaimana perasaannya padaku. Apakah ia memiliki rasa yang sama seperti yang aku rasakan? Ataukah tidak? Aku tidak tahu.

"Ada restoran baru deket Jembatan Tugu, aku lupa namanya tapi kayaknya jual masakan Bali. Aku pengen coba, tapi males banget kalau makan sendirian. Mending aku sama kamu." Fariz menghidupkan Grand Livina hitam miliknya dan mulai meluncur ke arah kota.

"Kamu suka Ayam Betutu nggak?" Tanya Fariz di balik kemudi.

"Suka dong, ibuku sering masak itu."

"Ya ampun Fi, aku lupa kalau ibumu orang Bali."

"Far.. Far.. Masih muda udah mulai pikun ya haha."

Fariz tertawa, aku sedikit bergetar mendengar tawanya. Perasaan itu ku tahan, hanya ku tahan. Aku tak berani menunjukkannya pada Fariz karena aku takut rasa itu akan merusak pertemanan kami.

Aku bahagia Fariz selalu ada di dekatku setiap hari. Kami memang tidak satu kelas tapi kami selalu meluangkan waktu untuk bisa bertemu, mungkin hanya sekedar ngobrol atau jajan bareng. Hal-hal sederhana seperti itu terasa begitu indah bagiku. Sama seperti saat ini, obrolan sepanjang jalan terasa sangat menyenangkan, tak terasa kami sudah sampai di depan restoran yang dimaksud Fariz.

ANGIN HUTAN PINUS [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang