[ 7 ]

1.8K 70 4
                                    

Mila duduk bersila di atas tempat tidurku. Dia memandangku yang acak-acakan di balik selimut. Seperti biasa Mila datang tak diundang dan langsung masuk ke kamarku. Rasa kesalku padanya memang sudah reda, kejadian kemarin tak perlu diungkit lagi, tapi kedatangannya yang serampangan membuatku kesal kembali.

"Lain kali kalau masuk kamar orang itu ketok pintu dulu dong! Yang sopan kalau jadi cewek!" Ujarku tanpa menurunkan selimut.

"Jangan marah gitu dong Fi, aku minta maaf deh soal yang kemaren. Aku tau kamu pasti cemburu ya?"

"Jelas!" Ujarku di balik selimut. Mila membuka selimutku dengan paksa dan aku langsung melotot sebal memandangnya.

"Fi, jangan gitu dong. Aku bakal ceritain deh."

"....." Aku diam saja.

"Jadi kemarin, pas aku mau pulang, tiba-tiba Bu Lucy manggil aku untuk latihan teater. Aku bener-bener nggak tau kalau Fariz juga ikut. Bu Lucy udah ngasih tau aku tiga hari yang lalu kalau aku ditunjuk untuk ikut casting. Aku sih setuju-setuju aja. Oh ya, kamu tau nggak? Aku ditunjuk jadi tokoh utama! Judul teaternya Romeo and Juliet. Memang pasaran sih, hehe. Tapi aku bangga banget Fi!" Mila tersenyum bangga dan aku mendengus.

"Siswa yang ditunjuk rata-rata anak kelas sebelas. Aku bingung karena aku nggak terlalu akrab sama mereka. Makanya aku sama Fariz, keliatannya Fariz juga nggak ada temen. Terus kami laper, Fariz ngajakin aku makan dikantin, terus kami ketemu kamu. Beneran deh, aku nggak ada niat buat kamu cemburu."

"Udahlah lupain aja."

"kamu masih marah sama aku nggak?"

"Dikit."

"Yaaah, jangan gitu dong Fi. Aku minta maaf sebesar-besarnya deh."

Aku melihat wajah Mila memelas. Kurasa dia memang bersungguh-sungguh, aku jadi tak tega dan menahan tawa melihat ekspersinya seperti itu. Aku harus yakin bahwa Mila dan Fariz hanya teman biasa. Aku juga tidak berhak untuk melarang Mila beteman dengan siapapun termasuk Fariz.

"Iya iya, nggak papa, lupain aja." Aku tersenyum dan Mila langsung memelukku.

"Terima kasih, terima kasih Fi. Huhuhu aku jadi uring-uringan karena ngerasa nggak enak sama kamu. Aku yakin kalau Fariz cocoknya cuma sama kamu."

"Semoga aja, aku harap juga gitu Mil. Seandainya...."

"Nggak boleh seandainya Fi, kamu harus bisa buat mimpi kamu jadi nyata. Kamu harus yakin." Mila merangkulku dan aku balas merangkulnya.

Dengan begini aku jadi semakin berinisiatif menjodohkannya dengan Jo. Mila mengaduk-ngaduk isi tasnya dan mengeluarkan tiga buah novelku yang dipinjamnya beberapa hari yang lalu. Aku penggemar novel, terutama novel-novel dengan ending romantis, tak heran bila aku punya satu rak besar berisi novel-novel favoritku di pojok kamar.

Mila juga senang dengan novel, maka kamarku jadi rumah kedua baginya. Ia bisa duduk berjam-jam di depan rak novelku dan tidak mempedulikan aku sebagai sang empunya kamar. Bila dia sedang membaca, aku iseng memanggilnya, Mila hanya akan menjawab 'em?', 'eh?', 'ha?', dan terkadang juga 'Diem dulu sih Fi, aku lagi baca!' dengan begitu aku jadi semakin senang menggangunya.

"Terima kasih novelnya ya Fi. Semuanya bagus, aku sampe nangis waktu baca, hehe."

"Ah kamu lebay."

"Aku serius, tokoh utamanya meninggal. Dia ngorbanin hidupnya untuk pacarnya. Andai hidup ini se-indah novel ya Fi." Desah Mila galau.

"Kenapa? Kamu mau pacarmu meninggal?"

ANGIN HUTAN PINUS [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang