The Rabbit (2)

28 5 0
                                    

"Ayah?"

Ternyata ayah. Pantas saja dari tadi dia melihatku, mungkin dia marah karena aku kabur dari rumah. Tunggu dulu, memangnya dia tahu aku kabur?

Segera dia meletakkan telunjuknya di depan bibirnya. "Sshh. Jangan keras keras."

"Apa yang kau lakukan di sini? Kau anggota The Rabbit?" Tanyaku. Kalau ayahku adalah anggota The Rabbit, aku akan lebih mudah masuk ke dalam sana, iya kan?

"Dengar, nak. Aku sudah melarangmu ke sini. Mereka--maksudku, kami memiliki namamu. Artinya kami dapat mencari informasi apapun tentangmu, hanya dengan nama. Kau sangat pas dengan kriteria yang kami tentukan," Ayah tampak ragu, dia melirik sekitar lagi kemudian melanjutkan, "Kau harus pergi dari sini, kontes ini akan memakan korban. Aku mohon."

Haruskah aku pergi? Tapi ini The Rabbit! Kapan lagi aku mendapatkan kesempatan seperti ini? Tapi ayah bilang ini akan memakan korban, dari sekian banyak orang, tidak mungkin aku orangnya.

"Aku sudah sejauh ini, kau bisa membantuku, yah. Akan lebih mudah untuk masuk jika punya orang dalam."

"Aku tidak akan bisa memasukkanmu ke The Rabbit. Kau tidak akan bisa." Jawab ayah.

"Kenapa tidak? Tunggu dulu, kemana orang orang yang sebelumnya?" Aku heran, sepertinya orang orang yang dipanggil tadi telah menghilang.

"Dengar aku, kau tidak akan mengerti. The Rabbit tidaklah se-sederhana yang kau pikirkan. Aku mohon, aku tak pernah melarangmu melakukan apapun, tapi kali ini harus. Pergilah, sebelum mereka---"

Terdengar langkah kaki menaiki tangga, Ayah segera mengenakan kembali topengnya. Ada 2 orang yang mengenakan topeng kelinci, mereka menghampiri ayah dan aku. Mereka berkomunikasi dengan bahasa isyarat, aku tidak mengerti apapun. Ayah dan kedua orang itu tampaknya bersiteru, namun ketika ayah mengangguk pada akhirnya, mereka berdua memegang tanganku dan menuntunku ke luar rumah.

Aku diikat ke kursi roda, kemudian mereka mendorongku masuk ke dalam sebuah lingkaran yang dibuat dengan lilin. Aku takut, tapi masih antusias. Setelah ini aku akan bergabung dengan The Rabbit.

"Namamu Lucas kan?" Suara tadi, suara yang berbicara ketika di ruang bawah tanah tadi.

"Iya, aku Lucas."

"Lucas, aku akan memberimu tahumu beberapa hal." Dia mengikat diriku lagi dengan tali tambahan. Tak cukup, mataku pun ditutup dengan erat, aku tak dapat melihat apapun.

"Tentang apa?" Tanyaku. Merasa aneh dengan situasi ini, aku mulai takut. Kenapa mataku harus ditutup? Apa yang tak boleh kulihat?

"Kelinci." Orang itu menepuk pundakku dua kali, kemudian melanjutkan omongannya.

"Kelinci adalah makhluk lucu. Namun sering dijadikan objek percobaan manusia manusia sampah. Kau tahu kenapa? Kelinci tidak berdaya, dia tidak sekuat manusia. Ribuan kelinci di dunia disiksa karena kelemahan mereka," sambil berbicara, aku tahu dia sambil bergerak mengelilingiku. Aku juga tahu ada banyak orang di sini. Aku merasakannya.

"Ada sebuah mitos, dikatakan bahwa jika manusia berkorban dengan cara tertentu, dia akan menyelamatkan banyak nyawa kelinci di dunia. Satu nyawa manusia dibanding ratusan nyawa makhluk mungil itu, mana yang lebih berharga?" Lanjutnya. Aku tak mengerti, kenapa kelinci begitu penting? Itu hanyalah hewan! Tentu saja manusia lebih baik daripada kelinci.

"Lucas, tahu tidak? Satu tubuh manusia dapat menghidupi puluhan kelinci selama beberapa hari, dan satu tubuh manusia dapat menghidupi seseorang untuk beberapa hari," orang itu berhenti berbicara untuk beberapa waktu, aku mendengar suara air dituang. Tunggu dulu, ini bensin, bukan air.

Dengan mata tertutup, sulit rasanya mengerti apa yang dia maksud. Apalagi ini sudah lewat jam tidurku, aku berusaha fokus untuk tidak tertidur.

"Namun di balik malangnya kelinci, hewan kecil itu sering bertindak kejam pada anak kandung mereka, mengorbankan anaknya ke Tuhan dan memakan daging anaknya sendiri. Bahkan kanibal pun sudah diterapkan oleh kelinci." Dia melanjutkan.

"Kenapa?" Aku bertanya.

"Karena anak itu menyakiti induknya."

"Kenapa?" Aku bingung, benar-benar di tahap dimana aku tidak mengerti apapun yang dikatakan.

"Sejak lahir, anak itu sudah menyakiti ibunya sendiri. Dari kecil, anak itu tidak dapat melakukan apapun, lemah. Mereka benci hal lemah, mereka membenci anak mereka."

"Ini hanyalah teori tidak berdasar, bukan? Aku tidak pernah mendengar fakta seperti ini," kataku. Aku berusaha terdengar tegas.

"Kau tahu, kau beruntung karena kami memilihmu, kau akan berterima kasih kepada kami nantinya," dia tidak menghiraukan pertanyaanku. Tunggu dulu, beruntung?

"Beruntung? Apa maksudmu?"

"Diantara jutaan orang, hanya beberapa puluh orang yang terpilih. Kau salah satunya. Kalian akan mendapatkan keuntungan. Kami akan membebaskanmu." Kalimat ini ambigu, aku benar-benar kurang mengerti maksudnya.

"Membebaskan dalam hal apa?" Tanyaku

"Kemarikan tanganmu. Danovan, kau harus tau kami melakukan ini untuk kebaikanmu," katanya, sambil mengikat kedua tanganku. Sekarang aku benar-benar tidak dapat bergerak sama sekali.

Orang itu pergi.

Langkah kaki kembali terdengar, berjalan menujuku.

"Nak," Panggilnya. Ayah memegang kedua bahuku. "Kau seharusnya sudah pergi ketika aku menyuruhmu pergi. Kau juga seharusnya mengindahkan laranganku. Sekarang semuanya telah terlambat. Maafkan aku."

Belum sempat aku berbicara, sesuatu menutup bibirku. Lakban.

Apa ini? Aku benar-benar mulai ketakutan. Apakah aku akan dikorbankan seperti cerita tadi?

"Kau lemah, Lucas. Kau tidak berani mengambil resiko apapun, tetap pada zona nyamanmu. Orang seperti inilah yang tidak akan bertahan menghadapi kejamnya dunia." Kata ayah.

"The Rabbit membutuhkan orang yang rela melakukan apa saja untuk komunitas mereka. Tipikal kelinci, setia pada tuan mereka," Lanjut ayah.

Kemudian yang kurasakan adalah panas. Api berkobar di sekelilingku. perlahan lahan menyentuh kulitku, melahap satu persatu bagian tubuhku. Bahkan teriakpun aku tidak mampu. Keringatku bercucuran, sakit.

Kini aku mengerti, mereka adalah The Rabbit, manusia yang bertindak bagai kelinci. Bersikap loyal kepada tuannya, bermaksud membalas dendam kepada ilmuan dengan cara membunuh. Menikmati daging manusia sebagaimana manusia menikmati daging kelinci.

Yang aku tidak mengerti adalah, kenapa aku?

SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang