Satu (Re-Publish)

2.4K 25 6
                                    

Awan bergulung bak kumpulan domba di padang rumput. Menggantung di langit dan enggan pergi kala mentari menyapa bumi di bagian utara Kabupaten Malang.

Riuh di jalanan dengan isi penuh asap dan roda-roda yang menggilas bumi dengan kejamnya. Matahari masih sepenggala naik tetapi seorang wanita yang berjaket lengkap dengan masker memasuki halaman Pengadilan Agama Kabupaten. Menyusuri lantai menuju loket tiga. Ia mengambil nomor antrian yang diberikan satpam, kemudian berjalan menuju kursi di lorong. Duduk disebelah pria tambun yang terkantuk-kantuk.

"Ah elah.. Masih juga pagi. Antrian udah seratusan." gerutunya seraya merutuki dirinya yang berangkat kesiangan. Jam sembilan pagi tapu antrian sudah mengular. Mereka mengantri dengan berbagai keperluan. Mengurus perceraian, pergantian nama, dan juga lainnya.

Tangannya yang kurus menggerai rambutnya yang masih setengah basah. Membuka resleting jaketnya yang berwarna merah muda berbahan parasit. Ponsel di sakunya berbunyi.

"Masa' Ibu masih lanjut sih ngomelnya?" dengan enggan ia membuka ponselnya. Ada banyak sekali notif yang muncul. Mulai dari sosmed, chat, telpon, sampai E-mail.

"Chat dari grup? Asal buka aja, ga usah bales. Notif sosmed? Hapus notif." ia bergumam dengan jari-jari yang bergerak lincah di atas layar sentuhnya.

"Ya ampun. Ibu masih lanjut? Skip. E-mail?"

"Nomor 147 silahkan maju ke loket tiga." kata petugas pria dengan pengeras suara itu. Mendengar namanya dipanggil, ia segera meloncat menuju loket.

"Selamat siang. Ada yang bisa dibantu?" sapanya ramah. Saat mereka bersalaman, bau melati tertinggal di telapak tangan wanita bernama Sarah ini.

"Saya hendak mengambil akte cerai saya." katanya seraya melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 11.19 am. 'Pantes bilangnya siang. Gak kerasa udah siang ajah.' batinnya seusai menyebut nomor suratnya.

"Tunggu sebentar ya, Mbak."
Petugas bernama Dani itu berusia awal 30-an. Rambutnya tersisir rapi dengan pomade yang klimis. Terlihat gagah dengan kemeja PNS warna hijaunya. Ia berjalan keluar ruangan. Jarinya mengetuk-ngetuk papan yang dijadikan meja di depannya. Sambil melihat sekeliling.

Begitu banyak pasangan yang mengantri. Ada yang sudah sepuh, ada yang masih muda. Ada yang masih menjaga silahturahmi. Ada pula yang tampak menjaga jarak. Kebanyakan sih diantarkan oleh hampir selusin orang. Tampak seperti niat menggeruduk (melabrak) PA ^_^;. Tak sedikit yang berangkat sendiri. Termasuk dirinya. Cerai sepihak. Mengambil langkah berani untuk hidup sendiri saat dirasa visi dan misi rumah tangga berbeda jauh.

Tak jauh dari tempatnya duduk mengantri, matanya menangkap sosok yang di temuinya sebulan lalu. Nadia. Wanita usia 21 tahun dengan satu anak yang ditinggalkan oleh suaminya sejak hamil 3 bulan. Dia memperjuangkan haknya selama 4 tahun kepada keluarga suaminya yang berada di seberang rumah. Namun tak ada i'tikad baik. Malah membela suaminya yang jelas-jelas main gila dengan sahabat Nadia sendiri. Bahkan mereka akan memiliki seorang bayi dari pernikahan sirinya. Ironis. Nasibnya buruk dan tak jauh beda dengan dirinya. Namun, ia sedang tak ingin mengganggu Nadia yang berkerudung putih itu. Dari mimik wajahnya ia tahu, PA menyanggupi permintaan cerainya. Terlihat dari air mata yang menganak sungai. Betapa ia masih mencintai suami brengseknya.

Sarah menggeleng kesal lalu mengecek ponselnya lagi. E-mail spam iklan online shop. Ia berpikir untuk menghapus langganannya agar iklan tak menumpuk. Baru hendak melakukannya, petugas bernama Dani tadi sudah masuk dan menyapanya.

"Silahkan di cek, Mbak." ia mengangsurkan map biru ke depan Sarah. Tangan yang kurus dan agak kecoklatan terbakar sinar matahari itu menerimanya. Setelah ia cek, wanita berparas timur tengah dan garis mata sempurna itu melempar senyum padanya. Membuat Dani ke ge-er an.

Housemaid (Re-Publish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang