Backsound : One - Gettin' by
• • •
"Tolong lepasin aku!"
"Aku mohon."
Isak tangis seorang perempuan menggema di ruangan gelap dan lembab itu. Tidak akan ada yang mendengar sekalipun dia teriak karena letak ruangan itu berada di bawah tanah dari sebuah gedung yang sudah tidak terpakai, bisa dibayangkan bagaimana lembab dan dinginnya ruangan itu.
"Aku mohon."
"Kamu nggak bisa ngelakuin ini!"
"Jangan!"
"Jangan mendekat!"
"Jangannnnnn!!"
•••
Tepukan keras di bahu membuat seorang cowok yang sedang tenggelam dalam mimpinya itu tersentak, dia mengerjapkan mata menatap sekeliling masih berada di tempat yang sama sejak beberapa jam yang lalu. Kedua bola matanya menatap seorang wanita cantik dengan pakaian rapi sedang balik menatapnya bingung.
"Maaf, Anda baik-baik saja?"
Cowok itu hanya mengangguk sekilas menandakan bahwa dia baik-baik saja, setelah mendapat jawaban yang sebenarnya masih kurang meyakinkan seorang wanita cantik yang merupakan pramugari itu tersenyum dan mengangguk kemudian mengucapkan permisi untuk melanjutkan pekerjaannya walau dia masih terlihat bingung dengan tingkah cowok itu.
Ponsel dalam genggaman cowok itu bergetar tanda panggilan masuk, dalam diam jantungnya masih berdegup kencang dan keringat dingin membasahi telapak tangan serta kening, dia memejamkan mata berusaha menetralkan detak jantungnya kemudian membenarkan posisi duduknya, melihat ke layar ponsel panggilan masuk dari seorang wanita tua yang sejak tadi terus meneleponnya. Cowok si pemilik ponsel berdecak pelan, kemudian menyentuh ikon hijau pada layar ponselnya.
"Milo, kamu udah sampai?" tanya suara di seberang sana terdengar khawatir.
Cowok bernama Milo itu menatap sekeliling, kereta yang dia tumpangi baru saja berhenti kemudian terdengar pemberitahuan kalau dia sudah sampai di tempat tujuan.
"Udah." Jawaban singkat itu membuat wanita di seberang telepon menghela napas lega.
"Kamu ingat pesan Oma?"
"Ya." Cowok itu membenarkan masker di wajah dan beranjak dari duduknya, menyampirkan tas di bahu kanannya lalu berjalan di lorong kereta untuk menuju keluar dengan ponsel yang masih berada di telinga dan sebelah tangannya membawa skateboard.
"Hati-hati di sana, liburan nanti kamu harus kembali ke sini tanpa Oma minta, terus jangan sampai kamu membuat onar, jangan sampai—"
"Iya, aku ngerti," potongnya sebelum wanita tua itu berceloteh kembali mengingatkannya segala hal yang akan membuat kupingnya terasa panas.
Terdengar tawa renyah di seberang sana. "Oke kalo gitu, take care, Milo."
Setelah menjawab dengan gumaman Milo memutuskan sambungan terlebih dahulu, cowok itu menatap sekeliling. Lalu apa sekarang? Setelah lamanya liburan dia harus kembali ke kota itu dan kembali ke tempat yang masih menyimpan banyak kenangan pedih hingga saat ini.
Helaan napas terdengar lirih, dia mengenakan topinya, berjalan seraya menatap lurus ke depan. Langkah Milo begitu terasa berat saat akan meninggalkan stasiun besar itu. Rasanya dia ingin tinggal bersama neneknya kalau saja dia tidak peduli dengan keinginan mamanya dulu.
Sepanjang perjalanan menyelusuri trotoar menggunakan skateboard Milo masih teringat mimpi itu dan mimpi-mimpi lainnya. Semua mimpi itu bagai hantu yang terus saja mengikuti langkahnya. Milo lelah, ingin semua berakhir namun dia tidak tahu bagaimana caranya untuk mengakhiri semuanya.
Malam itu jalanan tampak sepi, sebagian orang-orang yang turun dari kereta sudah di jemput oleh keluarganya masing-masing, tanpa sadar Milo berdecih pelan.
Masih melamun sepanjang perjalanan, tiba-tiba kakinya refleks menghentikan laju skateboardnya begitu melihat seorang perempuan yang berlari tergesa-gesa dari arah tikungan jalan yang sepi. Rambut perempuan itu sedikit acak-acakan, bahkan terlihat sobekan di lengan bajunya membuat Milo melebarkan matanya, dia mematung, jantungnya berdegup kencang.
"Tolong! Tolong aku mau diperkosa sama preman-preman di sana!" Perempuan yang tadi berlari itu berhenti di hadapan Milo, memegang tangannya dengan wajah sarat penuh permohonan, dia menggoyangkan tangan Milo berusaha menyadarkan Milo dari keterkejutannya. "Tolong aku, aku takut!" Perempuan itu menangis sejadi-jadinya.
Milo berusaha menetralkan degub jantungnya, dia sulit mengendalikan emosinya. Sejenak dia memejamkan mata begitu nasehat neneknya hinggap di benaknya kemudian kedua bola matanya kembali terbuka dia hanya menatap datar, dalam hati berdecak ingin mengabaikan permohonan itu namun sebelum dia kembali melangkah perempuan itu langsung bersembunyi di belakang tubuhnya kala melihat dua orang preman berbadan besar berlari menghampirinya.
"Heh, bocah! Lo liat perempuan yang lari ke sini—oh ternyata di sana," Preman bertopi itu menyeringai menatap perempuan yang berada di belakang Milo, "hei, gadis cantik! Sini gue nggak bakal nyakitin."
"Paling enakin, iya nggak, Bos?" sahut preman lainnya.
Terdengar gelak tawa dari dua preman itu membuat seorang gadis yang bersembunyi di belakang Milo semakin mencengkram erat jaket yang dikenakan cowok itu. Sebenarnya Milo ingin melepas cengkraman di jaketnya itu lalu melangkah pergi tanpa berurusan dengan mereka tapi lagi-lagi begitu kedua bola matanya menatap dua preman itu malah membuatnya muak.
"Lepasin dia," Milo berujar dengan nada dingin, matanya menatap kedua cowok itu tajam.
"Enak aja lo main nyuruh-nyuruh. Heh, bocah! Lo nggak tau dia siapa? Dia itu artis terkenal, sayang kalo kita lepas dia lagi sendiri gitu."
"Udah siniin tuh cewek, dia punya kita. Lo kalo mau entar aja sisanya," ujar salah satu preman itu semakin membuat darah Milo mendidih.
Milo menghela napas, melepas paksa tangan gadis itu kemudian dia mendekat ke arah dua preman itu. "Kalo gue aja duluan gimana?" tawarnya.
Dua preman itu tertawa. "Kita yang nemu kita yang duluan lah, lo bocah ingusan pengen aja ikutan beginian."
Milo mengangguk-angguk kecil, kemudian tanpa ancang-ancang dia menendang satu preman itu hingga membuatnya tersungkur, preman bertopi terkejut mengeluarkan sumpah serapahnya untuk Milo kemudian meninju wajah Milo tapi tidak sampai tersungkur membuatnya masih memiliki kesempatan kemudian Milo melayangkan satu bogem ke wajah preman itu, hingga dia harus melawan dua preman sekaligus.
Aksi tinju-meninju itu ada satu orang yang melihat dan langsung merekamnya, selebihnya tidak ada yang melewat lagi karena memang tikungan jalan dekat stasiun itu selalu sepi dan terkenal rawan oleh preman-preman sangar, makanya orang-orang enggan melewat ke sana.
Perempuan yang sejak tadi hanya diam seolah tersadar langsung menyalakan ponsel, satu-satunya benda berharga yang dia pegang. Dia menekan nomor ayahnya dan memberitahu pria itu dengan panik.
Setelah dua preman itu terkulai lemas tak sadarkan diri di tanah, napas Milo tak beraturan keringat bercucuran, dia mengambil tas yang sempat diletakan di tanah, kedua mata tajamnya melihat ke arah gadis itu yang kini terlihat sedang menelepon.
Tanpa ingin mengatakan apa-apa Milo menaiki skateboardnya dan melaju pergi, wajahnya terlihat sedikit memar, sejenak dia menyesal telah mencampuri urusan orang lain, meski itu dalam bentuk menolong.
"Tunggu!" Teriakan itu kembali refleks menghentikan Milo, cowok itu terdiam tidak menoleh sama sekali. "Makasih buat pertolongannya! Kamu nggak mau diobatin dulu? Aku bisa anterin kamu ke rumah sakit, anggap aja sebagai tanda terima kasih."
Setelah mendengar kalimat itu, Milo kembali melaju pergi tanpa merespons sedikitpun.
•••
A/N : hai, setelah aku publish ulang mungkin ada beberapa scene tambahan dan scene kurangan. Semoga tetep suka yaaa🥰
Seperti biasa jangan lupa vote, komen, dan share juga ke temen-temen kalian yaa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret of Radmilo
Teen FictionRadmilo adalah seorang cowok misterius yang memiliki banyak rahasia dalam hidupnya. Dia suka menyendiri, jarang sekali berbicara, penyuka lemonade. Skateboard dan musik bagai teman yang selalu menemaninya ke mana pun. Milo tampan dan wajahnya kalem...