Bab 2: Unexpected

2.7K 84 2
                                    


"Ayo, Rose. Gue anter lo ke kampus," ajak orang yang di sebelah gue. 

Gue menyemburkan susu yang sedang gue minum. 

"BEN?!" Tanya gue kaget.

 "Gue bukan hantu. Jadi muka lo gak usah sekaget itu." 

Jadi, dia menginap di rumah gue semalam? Jangan bilang dia tidur dikamar sebelah gue. Tamat lah hidup gue.

 "Rose, lo gila, ya? Gue udah siap mau ke kantor malah disembur ama lo!" keluh Zack.

 Gue gak sadar kalo semburan gue kena Zack. 

"Eh, maaf Zack. Salahin si Ben nih ngagetin gue pagi-pagi," keluh gue. 

"Ben nya jangan disalahin, dong. Ini juga salah kamu, Rose." 

"Ih kok mama bela Ben? Anak mama itu Ben atau aku?"

 "Kan sebentar lagi Ben akan menjadi anak mama." Mendengar itu, gue langsung beranjak pergi dari rumah gue. 

"Eh, Rose. Gak pamit?!" Itu yang gue denger setelah gue di depan rumah. 

"Semangat banget keluar rumahnya. Kayaknya tadi udah gue ajak aja masih diem." 

"Apaan sih lo, Ben." Ben mengeluarkan mobilnya dari garasi rumah gue dan menjemput gue yang berada di lobi. 

"Lo kemarin malem kenapa nangis?" Tanya Ben, memulai pembicaraan di dalam mobil. "Kata siapa gue nangis?" Tanya gue.

 Aduuhhh... Kok Ben bisa tau sih? Jangan-jangan dugaan gue bener lagi, kalau Ben tidur di kamar sebelah kamar gue. Lagian kenapa dia pake nginep-nginep segala sih. "Jawab gue, Rose." Gue jawab apa nihh?

 "Gue nangis karena..." 

"Gue nangis karena..." 

"Gue nangis karena gue harus nikah ama lo. Hal itu yang membuat gue sedih," jawab gue asal. 

"Lebay lo." 

Dia barusan ngatain gue? Wah.. Kurang ajar dia. Liat aja pembalasan gue. Setibanya di kampus gue, gue langsung turun tanpa mengucapkan terima kasih. Biarin, biar dia jengkel sama gue. Siapa suruh dia ngatain gue.

 "Rose!" panggil Vira.

 "Vira? Ada apa?" balas gue. 

"Lo dipanggil buat ke ruangan Pak Ahmad."

 "Kenapa?" 

"Gak tau deh." 

"Kapan?" 

"Sekarang."

 "Ya udah, gue pergi dulu ke ruangan Pak Ahmad." 

"Kita tunggu di kantin, ya."

 Gue agak deg-degan waktu jalan ke ruangan Pak Ahmad. Siapa yang gak takut sama Pak Ahmad? Dosen killer yang kerjaannya selain ngajar adalah marah-marah. Gue mengetuk pintu ruangan Pak Ahmad dan setelah dipersilakan masuk, gue masuk. Di dalam bukan hanya Pak Ahmad, tapi ada sosok yang gue kenal lagi duduk disana. 

"Rose, silakan duduk," sapa Pak Ahmad. 

"Dari yang saya dengar dari orang tuamu, kamu akan pindah ke New York dalam waktu dekat. Dan karena kamu sedang berada di tengah-tengah studimu, maka kamu dipindahkan ke kampus yang ada disana. Cabang dari kampus ini," jelas Pak Ahmad.

 "Dan ini, Ben, selaku orang yang membantu mendanai kampus ini, memberikanmu beasiswa selama kamu disana," lanjut Pak Ahmad. Ben? Beasiswa? 

"Saya dapat beasiswa, Pak?" Tanya gue memastikan. 

"Iya, dari nilaimu, kamu dapat beasiswa untuk berkuliah di New York," jawab Pak Ahmad. 

Ben menunjukkan wajah sombong nya. Liat saja, aku akan membalasnya nanti. "Terima kasih, Pak. Saya permisi dulu," ijin gue.

 "Maunya dia apa sih?" gumam gue.

 "Gak ada kata terima kasih?" Tanya Ben yang tiba-tiba muncul di belakang gue.

 "Ben! Jangan suka muncul tiba-tiba!" teriak gue. 

"Gue anggap kalau lo utang budi ke gue."

 "Ih, apaan sih! Gue gak perlu bantuan lo." 

"Lo yakin bisa? Dengan kondisi perusahaan lo yang lagi kritis dan biaya di New York itu gak semurah di Indonesia." 

Air mata gue turun. Mengapa kata-katanya begitu kejam. Gue tau kalau gue akan jatuh miskin dan dia akan tetap kaya. Tapi tidak perlu dibicarakan seperti ini. Air mata gue gak bisa diberhentikan. Terus mengalir, bahkan sangat deras. 

"Rose?" panggil Ben.

 Mungkin Ben terkejut melihat gue yang tiba-tiba menangis.

"Lo kenapa?" 

 Apa dia gak sadar bahwa kata-katanya tadi begitu menyakitkan?

Mon Amour, RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang