Ben's POV
Hari ini adalah hari pernikahan gue dengan Rose. Bukan hanya gue yang menikah, tetapi Belle dan Mark juga. Jujur, gue udah gak sabar mengakhiri hari ini dan pegi ke New York, tempat yang sudah gue rindukan. Dan di New York juga gue bertemu dengan cinta pertama gue. Jadi, New York adalah tempat yang berarti bagi gue.
"Ben, ayo, kamu jalan duluan," suruh papa.
Dan inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh keluarga gue dan Rose. Gue pun berjalan dengan percaya diri. Berjalan menuju altar yang berada di tengah. Gue gak bisa lihat ada berapa banyak tamu karena lampu ballroom dimatikan dan yang dinyalakan hanya yang berada di altar. Banyak juga lampu flash yang seperitnya mengambil gambar gue. Gue pun tersenyum. Hari ini akan gue jalani hanya sekali dalam seumur hidup gue. Gue gak mau nikah dua kali.
Setelah gue sampai di altar, gue diminta untuk menghadap kearah pintu yang tadi gue masukin. Dari situ terlihat Rose yang sedang bersiap ingin berjalan bersama papanya, Om Thomas. Rose dan om Thomas semakin lama semakin dekat dengan tempat gue berdiri.
Dan sekarang Rose tepat berada di depan gue. Dia tampak sangat cantik. Terlihat anggun dan memukau. Rose apakah ini lo? Lo kelihatan beda banget sama lo yang biasanya bakalan marah-marah. Kali ini, Rose pun memberikan senyuman ke gue. Dimana baru kali ini gue melihat senyumnya. Sangatlah manis. Matanya pun sangatlah indah. Dan gue bisa melihat kebahagiaan di matanya.
"Gak usah terpukau gitu sama gue," goda Rose.
"Geer aja lo," balas gue.
Setelah mengucapkan janji dan menukar cincin. Inilah saatnya gue harus mencium keningnya. Aduh, kenapa hati gue deg-degan gini, ya? Tangan gue pun gemetaran saat memegang kepala Rose.
"Oi, Ben. Lo ngapain? Tamunya udah pada nungguin," panggil Rose.
Dengan secepat kilat, gue mengecup puncak kepala Rose.
Wangi sekali.
Ingin rasanya mencium puncak kepalanya sekali lagi. Tetapi khayalan gue buyar akibat suara tepukan tangan dari para tamu dan keluarga. Setelah acara tersebut, keluarga Rose, gue, dan Rose segera bergegas ke acara pernikahan milik Mark dan Belle. Keluarga gue harus tinggal di tempat untuk menyapa para tamu undangan.
"Halo, bro," sapa gue.
"Lo udah? Gimana rasanya?" tanya Mark.
"Luar biasa. Tapi gue ngerasa tanggung jawab gue jadi makin banyak," jawab gue jujur.
"Jujur, gue agak tegang sih."
"Wajar sih kalau begitu," balas gue.
"Belle orangnya kayak gimana sih?"
"Ekspresikan perasaan lo lebih sering aja. Jangan tertutup sama Belle. Dia tipe cewe yang manja dan dia orangnya pengertian kok," saran gue.
Gue dan Mark adalah sahabat dari kecil. Tidak ada yang tau memang. Gue yakin Rose pun tidak tau tentang ini.
"Good luck, bro," ucap gue seraya menepuk bahunya, tanda memberi semangat.
Gue bergegas mencari Rose, yang selalu ilang-ilangan dan yang sekarang sudah menjadi istri gue.
"Ben?" panggil Vira.
"Vira? Carla? Kalian juga kesini?"
"Iyalah, kan ini pernikahan Belle. Masa kita gak datang. Bisa-bisa nanti dipenggal sama Rose."
Jadi, Rose orangnya sadis?
"Liat Rose gak?" tanya gue.
"Kita juga lagi nyariin dia," balas Carla.
Kami bertiga mencari Rose ke ruangan Belle.
"Rose, gue cariin lo dari tadi."
"Lebay lo Ben."
Balasan macam apa itu? Sungguh menyebalkan.
"Hey Rose. Ben sekarang itu suami kamu. Jadi, wajar dong dia nyariin kamu," tegur tante Alice.
Eh sekarang udah jadi mertua gue ya. Lupa gue.
"Iya nih, mi. Si Rose galak banget. Kayaknya perlu deh di jidatnya di kasih tulisan 'awas cewek galak'," ejek gue.
"Kurang ajar ya lo."
Dimana-mana biasanya cewek-cewek lain akan ngambek atau pura-pura marah, Rose malahan ingin memukul gue. Rose pun berusaha untuk mengejar gue ,tapi karena gue lebih tinggi dan lari dia lama, jadi gak bisa deh.
"Lama sih lo larinya."
"Lo kira gampang lari pake heels?"
Gua hanya bisa tertawa melihat mukanya yang kesal.
"Hey, pengantin baru, ini pernikahannya sudah mau dimulai. Ayo masuk," ajak mami.
"Damai, ya," ajak gue.
"Gak. Kecuali lo traktir gue."
"Kita kan udah nikah. Gak ada untungnya di lo kalo gue traktir lo."
"Oh iya juga ya."
Dasar Rose lemot. Semoga nanti anak gue gak kayak dia. Eh, apaan sih? Kok gue udah ngomongin anak. Aduh kelewatan.
Di dalam ballroom yang sudah dihias, sudah banyak tamu yang datang. Sama seperti di pernikahan gue. Oh iya, gue kan punya acara juga. Setelah Belle dan Mark menukar cincin dan Mark mencium keningnya, gue mengajak Rose balik ke acara kami.
"Akhirnya, yang punya acara dateng," sapa mama.
"Kalian sapa dulu para kolega dan tamu-tamu yang lain. Mereka dari tadi nanyain kalian," suruh papa.
Gue menaruh tangan Rose di tangan gue dan menuntunnya untuk menyapa para tamu. Di tengah acara, gue bisa menebak bahwa Rose kelelahan, karena harus bediri menggunakan heels yang tinggi.
"Rose, lo duduk aja. Gue aja yang nyapa mereka. Jangan berdiri terus," suruh gue.
"Gak ah. Gak enak kalau gue duduk," balasnya.
"Gak apa-apa, mereka pasti bisa ngertiin lo yang capek pake heels. Gue juga tau lo gak biasa pake heels."
Rose pun akhirnya menurut.
"Eh, Ben, selamat ya. Akhirnya lo nikah," sapa Hervin – sahabat gue waktu SD.
"Kita aja baru 22 tahun. Lo harusnya ngomong gitu kalau gue udah berumur 30 tahun," balas gue.
"Gue sapa tamu lain, ya," pamit gue.
Gue rasa gue sudah menyapa banyak tamu. Jam menunjukkan pukul 8, dimana gue harus langsung ke bandara bersama Rose.
"Rose, ayo kita ke bandara," ajak gue.
"Serius? Ayo!"
"Semangat banget," balas gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mon Amour, Rose
RomanceGimana rasanya disaat kalian harus menikah dengan mantan saudara kembar kalian sendiri? Gue gak bisa bilang kalau gue senang, tapi gue juga merasa sedih. Gue sedih karena gue tau saudara kembar gue masih sayang banget sama orang ini, yang notabene a...