[20] FINE

70 5 0
                                    

SEMUA orang memandang heran Vanya yang berlari melewati mereka dan tanpa sengaja menabrak setiap bahu yang dilewatinya. Vanya menoleh ke belakang, hah! laki-laki itu masih disitu juga! masih berlari mengerjarnya! Vanya menoleh ke kiri dan ke kanan, dimana sosok yang ia cari? Duuuuh, kemana lagi Vanya harus bersembunyi?!

Ia menggigit bibirnya. Sesuatu memberitahu nya  bahwa sosok yang dicarinya ada di ruangan kerjanya.

Dengan cepat Vanya menuju ke gedung pemilik, menaiki satu demi tanga karena lift bodoh itu terlalu lama turun. "Vanya! berhenti! Aku ingin bicara!"

Vanya tidak menggubris ia menarik nafasnya untuk ke sejuta kali, sesak benar-benar membuat ia mau mati. Beneran. Akhirnya Vanya sampai di depan pintu itu, ia segera menabrakkan tubuhnya ke pintu itu dan bergetar hebat memanggil seseorang yang ada di dalam.

"RAYMOND! BUKA PINTUNYA! RAYMOND! TOLONG!"

Di ketegangan ini, Vanya menoleh ke belakang, oh ya Tuhan! Vanya akan benar-benar tertangkap! Sosok itu sudah tinggal dua meter darinya dan ia tinggal diseret saja.

Cklek. Mendengar suara pintu terbuka, Vanya segera memasukkan kakinya ke dalam ruangan itu. Menghambur ke pelukan laki-laki itu sangat dalam dan segera bersembunyi di balik Raymond. Laki-laki itu benar Raymond, dan laki-laki itu juga yang membuat Vanya terpatung di baliknya.

"Alex? untuk apa kau disini?"

Yang mengejar pun mendongak dengan nafas yang tinggal satu-satu, "aku juga ingin bertanya, bodoh. Kenapa Vanya ke sini?!" 

Ketiganya terhening, mulai memikirkan apa maksud dan hubungan dari semua ini. Alex pun menelan salivanya, "aku kan sudah mengatakannya padamu, Raymond. Aku ke sini ingin berjumpa gadis ku. Dan- huh..." nafasnya berat lagi. "Va-nya.. adalah orangnya.."

"Raymond..." Vanya berbisik getar memegang kain belakangnya.

"Bagaimana janji mu, huh? kau sudah mendapatkan wanita agar mendapat perusahaan nenek? Ck, berusahalah Raymond.. Atau perusahaan itu akan jatuh ke tangan ku. Kenalkan aku, mana wanita mu? ayo kenalkan."

Genggaman tangan Vanya terlepas begitu saja dari baju belakangnya. Raymond dapat merasakan itu.

"A-apa?" Vanya bertanya bingung.

"Raymond... kau- huh... k-kau menjadikanku alat?"

Alex berdiri tegak, kali ini ia benar-benar sadar dengan keadaan setelah capek berlari mengejar Vanyanya. "Tunggu.. Vanya.. apa kau kekasihnya?" Kali ini nada Alex terdengar khawatir.

Vanya tidak menjawab, ia terus menatap mata Raymond untuk mendapat jawaban hingga laki-laki itu memutar badan dan menggenggam tangannya. "Aku tidak bermaksud ke situ."

Wah- sifat laki-laki ini kumat lagi.

Vanya melepaskan genggaman itu, "lalu apa yang baru saja kudengar Raymond? kenapa maknanya sangat sesuai dengan yang baru saja terjadi?" nadanya berubah gentar.

"Raymond- KAU MENJADIKAN DIA KEKASIHMU?! BRENGSEK!"

Sebuah genggaman tangan itu melayang di udara mengarah tepat ke rahang Raymond, Vanya tersentak, ia mendorong keduanya, "kalian berdua yang brengsek, bego! ck! yang satu pembohong yang satu juga pembohong! penipu!" Vanya mengarahkan pandangannya pada Alex, "gue pikir lo berubah.. ternyata enggak juga." Melepaskan tatapannya lalu beralih ke Raymond, ia tidak bisa berkata apa-apa.. bibrinya keluh menatap kilat sedih di mata laki-laki itu.

Vanya kecewa, Vanya marah, Vanya ingin mengamuk membelah kedua dada laki-laki ini untuk mencari apa hati mereka masih ada.

"Itu memang benar adanya, tapi aku sudah terlanjur, terlanjur lewat dari batas kehidupanku." terjadi jeda sebentar oleh Raymond,

"Dan menetap di kehidupanmu." tatapan mata lawan bicara nya tidak pernah lepas dari manik mata Vanya. Dia tidak pernah sekalipun berpaling. Dan Jawabannya yang sangat tegas.

Dengan sekuat tenaga, Vanya berusaha menahan air matanya agar tak tumpah lagi di hadapan cowok itu, walau nada bicaranya sudah gemetar.

"Kalau begitu keluar. Keluar dari kehidupanku."

dan Vanya pergi dari tempat itu.

***

28 panggilan tidak terjawab dari Raymond.

110 pesan tidak terbaca dari Raymond.

Ia tidak ingin membuka pesan itu, walaupun hatinya benar-benar ingin tahu. Vanya menarik selembar tissue lagi, meletakkan nya ke hidungnya dan membuang ingusnya yang banjir. Ia menangis sejadi-jadinya. Kenapa? kenapa sebuah fakta harus mengapung ke permukaan membuat sayangnya luntur ketika warna itu baru saja ada?

Tling Tling

Nenek Aimee

Tangan Vanya bergerak. Meraih ponsel itu. Meletakkannya ke telinganya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. "Nenek ingin berbicara, Vanya. Datanglah ke ruangan ku." 

Dan disinilah mereka bertiga sekarang. Vanya dan Raymond yang ada di sisinya. Nenek Aimee yang berada di hadapan mereka. Vanya tidak membuang muka, ia akan terus bertahan untuk menatap mata Aimee karena ini mungkin terakhir kali nya ia harus hormat dengan Nenek ini.

"Raymond dan Alex adalah saudara sepupu Vanya, mereka memang sering kali merebutkan suatu hal dengan taruhan, terkadang Alex menang dan terkadang Raymond menang. Nenek jua terkejut ternyata kamu adalah gadis yang diceritakan Alex selama ini, gadis yang akan Alex jadikan istrinya. Dan- kamu ternyata telah bersama sepupunya."

Vanya menatap Aimee, "berarti nenek salah mendidik cucu." suaranya serak dengan matanya yang bengkak.

Aimee tersenyum lemah mendengar kata-kata yang menusuk itu, "aku salah. Aku minta maaf." Jeda sebentar, "apa Vanya mau memaafkan, nenek?"

"Vanya tidak pernah meminta permintaan maaf dari Nenek. Jadi tidak perlu meminta maaf."

Aimee melihat Raymond yang hanya diam. Ah- lihatlah wajah cucunya yang benar-benar terpuruk itu. Bahkan untuk berbicara ia tidak sanggup lagi.

"Raymond... apa kau sudah menjelaskannya pada Vanya?"

"Belum. Aku bahkan tidak pernah berpikir ke situ."

Vanya menahan nafasnya.

"Sudah kau meminta maaf pada kekasihmu, Raymond?"

Sebuah suara menimpal, "aku bukan kekasihnya ternyata, nek. Aku hanya sebuah alat untuk mengangkatnya ke kejuaraan."

"Tidak seperti itu, Quevanya." mendengar nama lengkap itu disebutnya Vanya merinding. Jangan sebut itu lagi Raymond. Sudah cukup untuk membuat matanmya sebengkak ini!

Vanya menarik selembar tissue, "aku tidak bisa berlama-lama nek. Aku sudah harus pergi." Raymond mengusap wajahnya gusar, "maafkan aku.. maafkan aku.. aku minta maaf, sayang. Ini semua salahku."

Jangan menangis Vanya! Tahan dulu! Kalimat itu memang benar-benar menghantam hatinya sangat kuat! Bahkan Aimee tanpa sadar sudah melap air mata di ujung matanya.

"Aku juga tidak menginginkan kau meminta maaf, Raymond. Tapi- kita harus berhenti disini saja. Ah- bahkan belum satu hari , kita masih belum ada apa-apa, kenapa aku begitu sensi ya? Ya sudahlah... lupakan saja... Ku harap setelah ini kita menuju ke jalan yang benar. Kau mendapatkan semua perusahaan yang kau inginkan dan aku- ehm... aku pamit."

Vanya meraih coatnya dan meninggalkan nenek dan cucu di ruangan itu.

Ia menuju ke kamarnya, menyusun barang-barangnya yang ntah kenapa, dibantu Mery.

Menggeret kopernya kelaur, bertemu Alex di luar dan hanya melewatinya. Memasukkan barang ke taxi.

Vanya pulang. Mengulang di Italy ternyata lebih mengerikan dari yang Vanya kira.

***

FINE in english mean, END. Cuz, it's Italian.

Finish. Thanks.









Restart In ItalyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang