Riuh. Penuh sesak. Sorak suara yel-yel pendukung semua peserta sudah menggemuruh memenuhi setiap sudut ratusan kursi penonton. Dihadapkan pada sebuah panggung pentas megah bertirai merah marun yang baru saja terbuka. Beberapa lampu spot light memencar pecah memenuhi panggung perak tersebut. Pemandu acara sudah mulai berteriak, intonasinya yang keras membuat semangat penonton semakin terbakar untuk mengibar-ngibarkan poster nama peserta lomba, serta meneriaki nama peserta yang mereka dukung.
Sementara di belakang panggung, seorang gadis dengan wajah pucat tak henti menatap layar ponselnya. Ia dapat mendengar begitu riuhnya suara di luar sana. Baju ballerina berwarna putih dengan bagian bawah berbentuk payung terbuka sudah terpakai dengan baik. Polesan make-up natural sudah tertata rapi pada wajahnya. Rambutnya diikat cepol tanpa sehelaipun ada yang terjatuh di permukaan wajahnya.
Tangan basahnya menyentuh-nyentuh layar ponselnya sedari tadi. Beberapa kali menelan ludahnya dengan susah payah. Menatap sekeliling. Beberapa peserta, ehm bukan! Semua peserta, sudah dikelilingi oleh beberapa orang keluarganya. Sungguh, untuk saat ini ia tidak membutuhkan dukungan orang sebanyak itu. Hanya sosok seorang ayah, dan... Satu orang lagi. Laki-laki yang ia tunggu. Laki-laki yang ia cintai. Namun ternyata salah satu di antara kedua laki-laki yang ia tunggu itu tidak kunjung datang. Kenapa?
“Ayah,” pekiknya dengan suara lirih. Batinnya memohon seraya memejamkan mata.
Tangannya kini bergerak memegangi nomor peserta yang tersemat di pinggang kanan. Nomor 005 tertulis di sana. Ia akan tampil pada urutan ke-5. Jika setiap peserta diberi kesempatan untuk tampil berdurasi 10 menit, itu artinya ia akan tampil dalam waktu 40 menit lagi. Bagaimana ini? Dua sosok yang ia tunggu belum juga datang.
“I believe I can fly
I believe I can touch the sky
I think about it every night and day
Spread my wings and fly away...”
Lantunan suara itu tiba-tiba terdengar dari speaker ponselnya. Gadis itu sedikit tersentak. Seolah terbangun dari ketidaksadarannya, gadis itu segera menatap layar ponselnya.
'Ayah's Calling'
Dengan satu kali gerakan menggeser ke kanan, jari telunjuknya sudah membuka suara yang kini keluar dari speaker ponsel.
“Ay...”
Baru saja ia akan mengeluarkan suaranya,
“Halo? Fiona? Betul ini dengan Fiona?”
“Y... Ya. Ini saya?” jawab gadis itu dengan suara tergagap. Ternyata yang menjawab panggilan di seberang sana bukan suara sang ayah yang ia tunggu.
“Ini ponsel ayah anda? Ayah anda sekarang berada di rumah sakit. Ayah anda mengalami kecelakaan lalu lintas ketika sedang mengandarai mobilnya tadi.”
Tubuh gadis itu meringsut. Posisi tubuhnya kini terjatuh bertumpu pada lutut, seluruh tubuhnya ia rasakan lemas. Ia tidak lagi menempelkan ponsel pada telinganya. Suara seorang di seberang sana cukup membuatnya merasakan tersuntik literan obat bius. Saraf motoriknya mendadak lumpuh. Benarkan kejadian ini terjadi saat ia akan mengalami perlombaan terbesarnya? Ia ingin menangis, ingin menjerit, ingin melepaskan suara kencangnya, namun ternyata sulit. Menyadarkan nalarnya saja ketika kejadian ini benar-benar nyata pun terkesan sulit.
Tangannya yang gemetar kembali meraih ponsel. Menggeser-geser layar ponsel untuk menemukan sebuah nomor. Nomor kekasihnya, satu lagi laki-laki yang ia tunggu kabarnya. Karena keadaan yang kini benar-benar menekannya, tangannya sulit untuk dikendalikan. Telunjuknya terarah pada menu-menu telepon yang tidak ia inginkan. Cukup lama ia melakukan hal bodoh seperti itu, sebelum akhirnya,
“Peserta selanjutnya. Dengan nomor 005. Perwakilan dari SMA Airlangga!!!”
Teriakan pemandu acara itu benar-benar membuat seisi gedung kembali riuh. Itu adalah para pendukung gadis yang kini merasa dirinya tidak sadarkan diri. Ya, semua angkatan teman-temannya di sekolah, guru-guru, staf TU, staf perpustakaan, hingga penjaga sekolah kini berada di kursi penonton untuk meneriaki namanya.
“Fiona! Fiona! Fiona!”
Dengan serempak, hentakan suara itu terdengar menggema memenuhi seisi ruangan.
Fiona, gadis yang kini tengah merasa tersesat dalam ketidak mengertian kondisi yang ia alami sekarang. Ketika, berkali-kali pemandu acara menyebutkan nomor urut tampilnya, bahkan namanya, ia tidak menyadari hal itu. Ayah dan seorang kekasih yang kini tidak ada di sampingnya. Itu membuat tubuhnya saat ini membeku.
“Fiona!” Teriakan itu berasal dari balik tirai ruangannya saat ini. Salah seorang kru acara memanggilnya karena sudah beberapa kali nama Fiona disebut, gadis itu tak kunjung muncul dari balik tirai pentas.
“Ayo!”
Seseorang itu menarik lengan Fiona yang kini merasakan tubuhnya terbang, merasakan tubuhnya tidak mampu menerima gaya grafitasi, ia merasakan kakinya melayang.
Dengan satu dorongan, kini tubuh Fiona sudah muncul dari balik tirai pentas. Sontak wajah-wajah khawatir yang sedari tadi menunggu Fiona menjadi bersemangat kembali. Riuh, suara teriakan nama Fiona kembali terdengar. Pamflet, poster, dan spanduk bertuliskan nama dan bergambar wajahnya sudah berkibar-kibar membentuk gerakan ombak. Fiona masih mematung di tempatnya, semua lampu sudah mulai redup. Kini, hanya ada satu lingkaran spot light menimpa tubuhnya. Tubuh Fiona seketika menjadi pusat perhatian ratusan pasang mata.
Lagu “Swan Lake” mulai terdengar, mengiringi langkah pelannya. Gerakan pelan diawal ia lakukan seraya memejamkan matanya. Mencoba sejenak melupakan kejadian yang menimpa ayahnya dan kekasihnya yang saat ini tiba-tiba menghilang.
Tubuhnya bertransformasi menjadi seekor angsa putih yang kini tengah menari dengan indah di sebuah danau. Gerakan pelan itu kini berubah semakin agresif, diikuti ketukan lagu yang semakin cepat. Gerakan berjinjit seraya berlari kencang, melompat, hingga berputar dengan cepat ia lakukan dengan jiwa yang seolah ingin terbang menuju keberadaan ayahnya saat ini. Ternyata caranya untuk memejamkan mata belum mampu menghilangkan pikirannya yang kini kacau.
Lagu “Swan Lake” itu kembali berdentum semakin cepat. Gerakan terakhir Fiona memutar-mutar tubuhnya dengan cepat, dengan mata terpejam dan air mata yang sudah membanjir, ia memaksakan tubuhnya untuk terus berputar, hingga...
Bruk... Kaki kanannya yang terputar mengakibatkan tubuhnya terhempas kencang, mendarat dengan posisi yang tidak menguntungkan. Kepala belakangnya terbentur lantai pentas. Suara sorak dukungan kini berubah menjadi teriakan histeris kekhawatiran melihat keadaan Fiona saat ini tergeletak tidak berdaya.
Beberapa orang dari tim kesehatan berbaju putih menghambur menghampiri tubuh Fiona. Sebuah tandu diletakan di samping tubuh Fiona, digunakan untuk mengangkat tubuh ramping gadis yang kini tatapannya sudah berubah gelap.
***
Enam tahun kemudian...
Seorang gadis menelungkupkan wajahnya di atas sebuah meja kerja. Meja kerja yang berada di dalam sebuah butik miliknya, butik gaun-gaun pengantin, butik yang ia namakan 'Luxi Bridal'.
-------
“Aku janji.”
Laki-laki itu begitu manis. Laki-laki berseragam putih abu-abu di hadapan ku mengacungkan jari kelingkingnya seraya tersenyum penuh. Sementara aku masih terdiam. Tak lepas menatap bola mata hitamnya yang membuatku semakin tenggelam. Sungguh bodoh. Sama sekali aku tidak merespon pernyataannya. Dengan cepat laki-laki itu menarik tangan kanan ku, meraih jari kelingkingku untuk dikaitkan pada jari kelingkingnya.
“Pegang kata-kata aku,” ucap laki-laki itu lagi mengelus puncak kepalaku yang berbando peach. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya. Mencium keningku dengan lembut. Aku melayang. Ya, saat ini aku merasakan tubuhku melayang di udara. Saat ini aku belum mau membuka mulutku untuk bersuara, mata ku masih terpejam menikmati ringannya tubuh ku yang seakan masih melayang.
Ketika ia melepaskan kecupannya, mata ku hanya mampu kembali memandangi sosok laki-laki tampan di hadapanku itu. Ia kembali menatap ku. Wajah ku nyaris tertunduk ketika 5 menit menatap matanya, mata indahnya membuatku tidak sanggup melihatnya lebih lama...
“I believe I can fly
I believe I can touch the sky
I think about it every night and day
Spread my wings and fly away
I believe I can soar
I see me running through that open door
I believe I can fly
I believe I can fly
I believe I can fly”
Lagu itu terdengar mengalun indah di telingaku, seolah menjadi soundtrack dari kejadian indah yang aku alami saat ini. Ini kah yang dinamakan cinta? Semua terasa indah. Terasa sempurna. Bahkan telingapun bisa berhalusinasi sendiri, seolah lagu “I Believe I Can Fly” itu benar adanya terputar saat ini.
Tiba-tiba lagu itu terhenti. Dan... Terputar lagi,
“I believe I can fly
I believe I can touch the sky
I think about it every night and day
Spread my wings and fly away
I believe I can soar...”
-------
PRAK... Suara benda terjatuh terdengar mengagetkan. Gadis itu tersentak, dengan cepat membangkitkan wajahnya yang tadi sibuk menelungkup di atas lipatan tangannya.
“Halo? Halo?”
Suara itu terdengar samar-samar dari speaker sebuah ponsel yang kini tergeletak lantai, di samping kursi kerja. Sejenak gadis itu menghela nafasnya. Menenangkan dirinya dari rasa kaget yang ia rasakan barusan, membuatnya terbangun dari kegiatan tertidurnya.
“Tadi mimpi?” tanya gadis itu pada dirinya sendiri.
“Halo? Halo? Fiona? Aku bisa bicara sama kamu?”
Suara itu terdengar lagi. Menyadarkan gadis yang kini tengah mengusap permukaan wajahnya. Lalu sejenak tubuhnya membungkuk maraih ponsel yang tergeletak jatuh di samping kursinya.
“Halo?” sapa gadis itu dengan suara sedikit parau akibat baru saja terbangun dari tidurnya.
“Ya?”
Suara di seberang sana terdengar memastikan. “Bagaimana dengan gaun pengantin aku? Sudah bisa aku coba besok?” tanya si penelepon dengan nada antusias.
“Mmm? Ya. Besok. Bisa dicoba langsung di bridal shop ya,” jawab gadis itu dengan mata terkantuk-kantuk.
“Ok. Terima kasih.”
Sambungan telepon terputus. Si penelepon mengakhiri sambungan telepon.
Gadis itu mendesah, menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi kerjanya. Sebuah gaun putih telah terpajang indah pada patung manekin yang berjarak 5 meter dari pandangannya. Gaun tanpa lengan bermodel kemben, dengan bawahan yang panjang menjuntai ke bawah, penuh hiasan payet dan mata manik-manik indah sudah terlihat sempurna sesuai keinginan calon pengantin wanita. Entah pukul berapa ia menyelesaikan pekerjaannya itu. Sampai larut. Sampai tidak sempat pulang ke apartemennya hari ini hanya untuk membereskan gaun pesanan yang akan dikenakan esok lusa oleh seorang mempelai wanita cantik bernama Amanda.
Amanda, wanita berusia 25 tahun mendapatkan seorang pria lajang berusia 29 tahun, anak dari pemilik sebuah perusahaan swasta besar. Wanita yang sangat beruntung. Bagaimana caranya ia bisa berkenalan dengan anak pengusaha hebat? Fiona ingin tahu caranya. Ia yakin, jika ada 10 pria berjejer dihadapkan dengan dua wanita, Fiona dan Amanda. Maka 8 pria itu akan memilih Fiona dan 2 pria lain memilih Amanda. Mungkin Amanda sedang berada dalam keberuntungan, Dewi Fortuna bekerja baik untuk Amanda, tapi belum untuk Fiona. Hhhh... Untuk apa ia memikirkan masalah tidak berguna seperti ini?
Oh iya! Mimpi itu? Ya, sebelum ia mengangkat telepon, ia baru saja terbangun dari mimpinya. Merasakan tubuhnya melayang di udara akibat kecupan lembut dari seorang laki-laki, diiringi dengan back sound dari R. Kelly 'I Believe I Can Fly' yang tidak lain adalah nada dering ponselnya sendiri. Membangunkannya dari mimpi indah itu. Sosok laki-laki itu. Sosok yang selalu hadir di mimpinya. Siapa dia sebenarnya? Sayangnya, setiap kali laki-laki itu datang dalam mimpinya, ia selalu datang dengan wajah datar tanpa seluet. Sehingga Fiona tidak mampu menebak siapa orang itu. Apakah kejadian itu benar-benar pernah terjadi pada masa lalunya? Atau hanya mimpi belaka, dan sekedar bunga tidur? Entahlah. Fiona tidak tahu.
Gadis itu. Fiona. Seorang gadis berusia 22 tahun, desainer amateur baju pengantin. Ia memiliki sebuah butik yang ia namakan 'Luxi Bridal', sebuah butik yang ia bangun sejak 1 tahun lalu, ketika ia sudah menyelesaikan kuliah fashion S1 yang diambilnya. Sejak 1 tahun lalu, Fiona menjadi seorang desainer khusus baju pengantin, hanya baju pengantin. Karena di outlet-nya hanya tersedia gaun-gaun putih indah yang mampu membuat mata setiap wanita yang akan menikah berbinar-binar melihatnya.
“Hhhh...”
Gadis itu kembali mendesah. Menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul 2 malam. Hah? Pukul 2 malam? Seorang wanita tadi--Amanda, meneleponnya hanya untuk menanyakan gaun yang sudah jelas akan ia coba pada esok hari? Hanya itu? Sebegitu bahagianya kah seorang wanita yang akan menikah dua hari lagi? Sehingga pukul 2 malam seperti ini belum tidur, dan menelepon orang, mengganggu orang yang terlelap dalam tidurnya hanya untuk menanyakan gaun pengantin yang jelas-jelas sudah selesai?
“Sialan!” umpat Fiona seraya memicingkan matanya, menatap ponsel yang kini tergeletak di atas meja yang berantakan tak karuan di hadapannya.
***
“Lo ketiduran di LB lagi?” tanya seorang gadis cantik bertopi dengan pakaian kasualnya. LB, tidak lain adalah sebutan untuk Luxi Bridal yang sering mereka singkat.
“Mmm...”
Fiona hanya menggumamkan jawaban tidak jelas seraya menarik sedotan jus alpukat yang sedari tadi ia mainkan. “Kerjaan baru lo, lancar Steff?”
Fiona balik bertanya.
“Ya... Begitulah. Ternyata kerja di sebuah rumah produksi film gak seringan yang gue bayangkan,” jawab gadis bertopi itu dengan punggung yang kini sudah bersandar pada sandaran kursi.
Steffy, gadis di hadapan Fiona saat ini, baru saja diterima kerja di sebuah rumah produksi perfilman. Steffy adalah sahabat Fiona selama kuliah, mengambil jurusan produksi film. Terlihat dari dandanannya yang cuek dan terkesan tomboy. Sikapnyapun selalu terkesan santai, simple, dan tidak pernah memprioritaskan laki-laki.
Ada satu lagi--Salsha--sahabat mereka selama kuliah, mengambil jurusan modeling. Bercita-cita menjadi seorang model internasional, wajah dan postur tubuhnya memang sangat mendukung. Ia adalah salah satu sahabat Fiona yang sulit untuk ditemui karena jadwal kerjanya yang padat. Gadis feminim, agresif, dan friendly. Oh ya satu lagi, menurutnya ketika ia tersenyum mampu membuat diri lelaki terasa terpanggil untuk mendekat.
Dan Fiona, gadis itu mengambil jurusan fashion desainer, menjadi seorang perancang busana pengantin saat ini. Terkesan paling lempeng di antara dua sahabatnya yang lain. Sikapnya yang menurut Salsha kurang agresif sebagai seorang gadis, membuat Fiona sulit untuk didekati dan mendekati kaum lelaki.
Mereka bertiga dipertemukan ketika awal memasuki satu universitas kesenian yang sama. Mereka bertemu ketika masa orientasi, masa pembully-an sebelum masuk kuliah. Walaupun mereka tidak satu jurusan tetapi mereka masuk dalam 1 kelompok ospek. Mulai saat itu mereka selalu melakukan pertemuan rutin hanya untuk sekedar merefresh diri ketika tugas menumpuk, makan bersama, dan melakukan aktivitas di luar kuliah bersama. Maka, tanpa disadari mereka saling mengecap label 'sahabat' satu sama lain.
“Menurut gue, lo harus cari 1 orang asisten lagi deh Fiona,” ujar Steffy, kembali membahas mengenai pekerjaan Fiona. Melihat kondisi Fiona yang saat ini terlihat mengkhawatirkan. Sering pulang larut dari butiknya, bahkan dengan senang hati akan tidur di sana ketika pekerjaannya belum selesai. Mengandalkan 2 pegawai lulusan SMK Jurusan Tata Busana, Vina dan Nida. Menurut Steffy sepertinya tenaga 2 gadis pegawai Fiona itu belum bisa menutupi pekerjaan Fiona.
“Lo kan tahu outlet gue belum terlalu gede. Kalau gue ambil satu karyawan lagi...”
Bibir Fiona mengerucut, tanpa melanjutkan kalimatnya ia yakin Steffy akan mengerti.
“Silahkan.”
Seorang pelayan kafe sudah menyajikan makanan yang dipesan di hadapan mereka.
“Terimakasih,” jawab Fiona dan Steffy berbarengan.
“Selamat menikmati,” ucap pelayan tersebut sebelum meninggalkan meja pengunjung.
“Salsha mana sih? Nanti makanannya keburu dingin,” gerutu Fiona seraya menjenjangkan lehernya, tatapannya terarah pada pintu masuk. Berkali-kali dentingan halus dari pintu masuk itu terdengar, tapi ternyata bukan Salsha.
“Lo tahu sendiri Salsha sok sibuk banget,” ucap Steffy meraih kentang goreng di piringnya.
“Dia emang sibuk Steff.”
“Yayaya.”
Steffy kembali mencomot kentang goreng untuk ke-dua kalinya.
“Semalem, gue mimpiin laki-laki itu lagi.”
Fiona menatap Steffy dengan wajah gusar.
“Wajahnya? Rata lagi? Mungkin laki-laki itu punya muka tembok, tiap datang ke dalam mimpi lo mukanya datar terus.”
“Steff, gue serius!”
Fiona hendak melemparkan kentang goreng yang baru saja diraihnya.
“Gimana kata dokter?”
Tatapan Steffy kini kembali terarah pada wajah Fiona.
“Ya, seperti biasa. Dokter Dicky bilang kalau gue harus banyak istirahat, teratur tidur, teratur makan, hindari stress, hindari pekerjaan berat, dan bla bla bla. Bosen sebenernya Steff gue dengernya.”
“Tapi emang gitu kenyataannya kan Fiona? Lo harus teratur istirahat. Gue pikir dokter Dicky gak pernah ngasih saran yang salah. Termasuk... Lagu itu...” ucap Steffy, tatapannya terarah pada layar ponsel Fiona.
“Ya... Gue jadiin lagu itu jadi nada dering gue lagi. Atas saran dokter Dicky. Awalnya ketika ada telepon masuk, gue ngerasa ada malaikat pencabut nyawa di samping gue. Tiap angkat telepon, tangan gue gemeteran. Tapi itu ternyata hanya bertahan 1 bulan. Selebihnya, sekarang gue udah biasa denger nada dering itu. Walaupun, terkadang masih suka kaget,” jelas Fiona.
Fiona merogoh isi tasnya. Meraih sebuah buku catatan kecil, lalu membuka-buka lembaran kertasnya. “Gue ada janji hari ini ternyata.”
Steffy tersenyum, “Apapun yang menurut lo penting. Tulis di sana,” ucap Steffy. “Tulis semua kejadian yang menurut lo berharga juga,” lanjut Steffy, tangannya menumpuk punggung tangan Fiona.
Fiona tersenyum. “Tenang aja. Gue gak mungkin lupain lo.”
Fiona mengacungkan buku catatan kecil yang tersimpan di hadapannya. Buku catatan yang dokter Dicky anjurkan, buku catatan yang berisi kejadian penting, janji penting, hal yang istimewa yang Fiona alami, serta foto-foto yang Fiona anggap penting untuk diingat. Kenapa?
Gadis itu terkadang lupa, bahkan pada hal-hal dasar. Alamat rumah, wajah seseorang, bahkan wajah Steffy dan Salsha. Wajah 2 sahabat yang kerap ia temui, terkadang lupa.
Apa sebenarnya yang terjadi pada gadis itu? Entah lah. Sejak kejadian 7 tahun silam. Ketika Fiona terjatuh di atas panggung pentas, Fiona mengalami gejala yang aneh. Sangat mudah lupa, lupa yang berlebihan. Sehingga ia senantiasa selalu menuliskan dan menempelkan foto orang yang ingin ia ingat. Kedua orang tuanya, kedua sahabatnya, dan orang penting lainnya.
Lalu bagaimana ia bisa mengingat wajah klien yang berdatangan silih berganti? Tentu saja itu sudah teratasi. Fiona selalu memerintah kedua pegawainya untuk memotret wajah setiap klien yang datang dengan kamera kantornya, dengan alasan agar Fiona dapat dengan mudah menyesuaikan gaun yang dipesan dengan wajah klien. Padahal... Fiona kerap melupakan wajah kliennya yang setiap hari kerap datang berbeda.
Dan, satu lagi gejala aneh yang Fiona alami. Fiona mengalami trauma berat. Trauma terhadap lagu “I believe I can fly” yang dulu menjadi nada deringnya sebelum kejadian itu menimpanya. Namun atas saran dokter yang menanganinya, Fiona bisa mengatasi hal itu untuk saat ini. Trauma terhadap baju ballerina dan atribut balerina lainnya, trauma terhadap lagu “Swan Lake”, trauma terhadap panggung pentas. Hhh... Trauma itu sangat sulit ia hilangkan. Jangankan untuk mendekati semua hal itu, jika hal-hal itu menghampiripun ia akan senantiasa menjauh. Separah itu kah? Ya sangat parah.
Oh iya satu lagi, akibat fatal yang Fiona alami pasca kejadian itu. Pergelangan kaki kanannya cidera. Walau kakinya terlihat baik-baik saja, namun ia tidak bisa berjalan dalam langkah banyak. Tidak bisa berlari dengan cepat. Dan jelas saja ia tidak bisa menjadi penari lagi sejak saat itu. Lupakan untuk hal menari. Jika Fiona masih bisa menaripun, ia tidak akan pernah menari lagi. Tidak pernah. Ballerina menyedihkan itu hanya akan Fiona kubur menjadi masa lalu, bahkan ia lupakan.
“Jadi desainer itu ga punya batas waktu kerja. Apa lo gak mau dengerin nasihat gue? Cari kerjaan lain yang gak terlalu nguras waktu.”
Steffy menatap Fiona dengan tatapan serius.
“I established this business 1 year ago. Terus sekarang harus gue tinggalin gitu aja? Lo gak tahu, jadi perancang baju pengantin itu kita punya kebahagiaan tersendiri,” ucap Fiona dengan tatapan menerawang. “Gue harus bikin gaun pengantin sesempurna mungkin, seolah gue nanti yang akan pake dipesta pernikahan gue sendiri. Setiap gue bikin gaun, setiap itu pula gue merasa jadi pengantin.” Fiona tersenyum tulus.
“Hai!”
Sebuah telapak tangan terhempas kencang di atas meja kafe yang tengah Fiona dan Steffy topangi. “Maaf, maaf. Gue telat.”
Gadis cantik dengan dress berwarna peach--Salsha-- kini berada di antara Fiona dan Steffy.
“Yayaya. Pemotretan, janji sama redaksi majalah, dan bla bla bla,” ucap Steffy terkesan meledek, membuat Salsha memiringkan bibirnya.
“Gimana chek-up nya?” tanya Salsha mengalihkan pembicaraan dengan cepat sebelum Steffy mendongeng.
“Lancar,” jawab Fiona seraya tersenyum ringan.
“Oh iya! Fiona!” pekik Salsha, matanya kini menatap lekat wajah Fiona.
Fiona mengangkat kedua alisnya. Sedikit tersentak dengan tingkah Salsha. Raut wajah Fiona mengartikan “kenapa?”
“Kalau gue nanti nikah. Lo mau kan jadi perancang gaun pengantin gue?” tanya Salsha nyengir penuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ballerina's Bride
Teen FictionCerita karya Citra's Slide , mungkin masa lalu telah mengubah gadis ini menjadi pelupa , bahkan ia bisa lupa dengan wajah wajah sahabatnya tetapi mungkin ia telah menyia-nyiakan cinta yang tulus dari seorang pria berwajah malaikat yang selalu ada un...