1

5.8K 181 16
                                    

Derap langkah memenuhi lorong apartemen bernuansa putih itu. Suara tersebut tak terdengar lagi saat seorang perempuan bergaun hitam legam berhenti di depan pintu kayu berpelitur yang terletak di ujung lorong. Dengan lincah jari telunjuknya menekan satu per satu dari enam digit angka PIN pada intercom di samping pintu setinggi hampir mencapai langit-langit itu.

"Sammy."

Tanpa mengucap salam terlebih dahulu perempuan itu langsung masuk setelah pintu terbuka. Ia terus berjalan melewati ruang depan dan tengah sambil memanggil-manggil si penghuni tempat, hingga akhirnya sampai di depan kamar, membuka pintu lantas menerobos masuk. Ia berdecak melihat pemandangan di hadapannya.

"Ya ampun! Mbak kira kamu udah siap, nggak tahunya pake baju aja belum."

"Eh, Mbak Laras udah datang. Tampil amat. Mbak," sapa Sammy sambil melirik sekilas kakak sepupunya itu, kemudian kembali sibuk memulas pipi dengan blush on.

"Kamu yang nggak tahu waktu, Sam. Ini udah mau jam tujuh, lho. Kamu bilang, acaranya jam setengah delapan, 'kan?"

Dengan santai perempuan bernama Laras itu melangkah ke arah ranjang kemudian duduk di tepi. Pandangannya masih tertuju pada sang sepupu yang hanya mengenakan bathrob dan kini sedang memoles bibir dengan lipstik warna merah muda.

"Iyakah? Duh, saking khusyuk dandan, jadi nggak sempat lihat jam."

Sammy terlihat agak panik. Ia segera melepas jubah mandi putih bersih yang membungkus tubuhnya lantas melempar asal ke atas ranjang. Hampir saja mengenai Laras jika perempuan itu tak lekas menghindar.

"Deuh, yang mau dikenalin sama seseorang. Dandan sampai nggak ingat waktu," goda Laras sambil pandangannya terus mengikuti Sammy yang sedang mengambil sebuah gaun dari dalam lemari.

Sammy menanggapi godaan Laras hanya dengan tawa ringan, kemudian mulai mengenakan midi dress biru tua yang membuatnya semakin sedap dipandang. Malam ini ia memang akan dipertemukan dan dikenalkan pada seorang lelaki yang merupakan anak dari dokter kecantikannya. Konon, si lelaki sedang serius mencari calon istri. Saat tawaran itu datang padanya, ia tak kuasa menolak. Padahal sebagai seorang artis yang tak hanya cantik, tapi juga cukup terkenal, ia bisa dengan mudah memilih satu dari sekian banyak lelaki yang mengejar-ngejarnya. Mulai dari para pengusaha hingga eksekutif muda. Namun sayang, mereka bukan menginginkan cintanya, melainkan tubuhnya. Mereka pikir, ia termasuk artis yang merangkap sebagai wanita penghibur. Sungguh, ia merasa terhina dan mereka begitu menjijikkan.

Sebagai seorang perempuan dan sudah berumur seperempat abad, tentu saja keinginan memiliki kekasih –atau lebih dari itu, ia ingin menikah- tapi sampai saat ini belum ada sosok lelaki yang sungguh-sungguh mencintai dan menginginkannya untuk dijadikan seorang istri. Maka dari itu, sambil menunggu seseorang itu datang, ia fokus saja pada karinya yang kini tengah melesat naik. Hingga tawaran itu menghampiri, tak ada salahnya ia terima. Toh, ia tidak dipaksa untuk menikahi seseorang yang tidak dikenal, hanya berkenalan. Anggap saja untuk memperbanyak teman. Jika cocok, dilanjutkan ke jenjang lebih tinggi dan jika tidak, cukup berteman.

"Sam, gimana kalo cowok yang mau dikenalin sama kamu itu jelek, cupu dan nggak banget? Kalo dia ganteng, ngapain minta tolong mamanya buat cariin jodoh? Ya, 'kan?"

Sambil menyisir rambut dark brown panjangnya Sammy menjawab dengan santai pertanyaan Laras, "aku yakin dia ganteng, soalnya Dokter Rahma cantik."

"Hmm. Oke, katakan dia ganteng, tapi fisiknya ada yang cacat. Gimana, kamu masih mau?"

"Kalo aku klik sama dia, why not?"

Dendam Sang Mantan  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang