Prolog

38 14 13
                                    


Aku menangis sepanjang jalan menuju apartement. Entah, aku bodoh atau apa tapi aku merasakan sakit yang tidak biasa. Kejadian itu terus terulang seperti tv rusak. Kejadian yang membuatku terpaku sementara menyaksikan kencan asri mereka. Aku berlari dan berlari sekencang mungkin, seperti lari dari dunia tapi kenyataannya aku terus menginjak dunia ini. Keparat. Janji itu terus diucapkan dari bibir manisnya, tapi dia sendiri yang mengingkarinya. Aku hanya berharap, aku bisa memotong dan mencincang bibir bekas tumpuan gadis tidak tahu diri itu. Angin malam terus membelai rambutku, ditemani tangisan di suasana gelap seperti ini. Aku tidak peduli berapa banyak orang yang menatapku dengan aneh, mengapa orang gila ini menangis dijalan? Bila aku bisa menjawab, aku akan berkata, kalian tidak mengerti apa yang aku rasa, jadi diamlah.

Kaki-ku melangkah dengan berat memasuki gedung apartement ini, aku segera memencet tombol tanda panah atas sebelum menaiki lift. Tidak lama, lift yang kutunggu tiba dan pintu terbuka. Aku segera masuk kedalam lalu menekan tombol lantai 3. Aku diam dan mengusap pipiku yang basah, karena ruang ini sangat kecil dan aku merasa kalau orang-orang disekelilingku menatapku dengan aneh. Sudahlah, aku pasrah dengan ini semua. Saat lift berhenti, aku mendongak kearah layar monitor kecil diatas dan mendapatkan angka 3 yang artinya ini adalah lantaiku. Aku bergegas keluar dan menuju kamarku.

Aku membuka tas, jaket, dan sepatu dan melemparnya dengan asal. Aku ambruk diatas kasur sambil memeluk bantal dengan erat dan kembali menangis. Kejadian itu tertayang terus di kepalaku dan membuat hati kecilku meringis kesakitan. Ayolah, Jennie. Kau kuat. Pria bajingan itu tidak perlu ditangisi. Argh. Mengapa ini sangat sulit!?

Turn back time•

"Mingyu-ah.." wanita menjijikan itu terlihat manja terhadap pria yang aku cintai selama ini, mataku mendadak panas dan hatiku retak. "Nanti saja. Banyak orang disekitar sini." dia menjawab dengan nada lembut sembari mengelus punggung tangan wanita itu. Aku terus menutup wajahku dengan kartu menu dengan tangan yang mengeras dan urat menampak. "Setelah dari tempat ini, temani aku sebentar, ya." Suara mengerikan itu terus menusuk indra pendengaranku, ingin rasanya melempar sebilah pisau kearahnya. "Tentu, Sayang."

Kalimat itu menusuk hatiku dan juga telingaku. Tatapanku kosong dan tanganku melemas, aku segera berlari meninggalkan restoran sialan ini. Aku telah menunggunya selama 3 jam disana dan dia tidak bisa datang dengan alasan ada urusan kantor, tetapi mengapa dia berdusta? Dia datang direstoran yang sama dan bodohnya dia membawa wanita jalang itu. Persetan! Aku benar-benar gatal ingin melempar benda tajam kearah wanita itu. Aku menabrak beberapa orang dan ada yang meneriaki-ku dengan kalimat kasar tetapi aku terus berlari kencang meninggalkan daerah itu.

Aku membayangkan mereka selama beberapa jam dan itu membuatku gila, aku berteriak dan melempar bantal dan guling secara asal. Aku menganggap benda itu adalah mereka berdua yang telah menyakitiku. "SIALAN KAU, KIM MINGYU!!!" teriakku dengan kencang, tidak peduli bila pengurus hotel yang lewat akan mendengar. Aku benar-benar membencinya. Dan tidak akan mau bertemu dengan wujudnya.

"Lee Jennie-ah!" sambungan telfon dari rak bukuku mengeluarkan suara cempreng yang nyaris memecah gendang telingaku, aku berdesis kesal.

"Ya! Kau hampir membuat telingaku robek sekaligus jantungku meledak, tahu?!" teriakku kesal, dia tertawa tanpa dosa.

"Maaf. Aku tidak tahu kalau kau sedang serius belajar." ucapnya, aku meringis saat dia menyangka aku sedang mengerjakan skripsi yang hampir selesai dan pada kenyataannya aku sedang sakit. "Ya, kau mau apa?" tanyaku berusaha agar suaraku tidak terdengar bindeng.

"Ohmygod, ada apa dengan suaramu?! Apakah kau menangis? Ya! Kau benar-benar menangis!? Ada apa, Bodoh!" tanyanya dengan sederetan pertanyaan, tapi pertanyaan itu malah menambah tangisanku. "Ya! YA!!!"

"Telefon ku bisa rusak kalau kau terus berteriak, Sialan!" desisku, tapi dia terus berteriak ada apa denganku. Aku tidak tahu harus bercerita atau bagaimana, aku hanya malu dan takut menceritakan cerita tentang patah hati. Pada pasalnya, aku pembenci cerita patah hati ataupun bergenre romantis tapi dikehidupan nyata, aku malah menderita yang menyakiti hati kecilku.

"JENNIE KAU MASIH DISANA, KAN???"

"Ya." jawabku dengan singkat, sambil menghapus tetesan air mata yang kembali membasahi pipiku. "Ceritalah. Aku akan mendengar." bujuknya, aku ingin sekali bercerita padanya tapi aku belum benar-benar siap.

"Aku tidak menangis, Wendy. Sudahlah, aku sedang mengerjakan buku gemuk ini." dustaku. Aku menepuk bibirku.

"Are you sure? You sound---"

"Aku serius." putusku, dia terdengar menghela nafas dengan berat.

"Arraseo.----Aku ingin kesana, bisakah aku menginap untuk beberapa hari? Ibu dan Ayahku sedang kerumah Nenek, mereka mengajak adikku sehingga aku tersisa sebatang kara." ceritanya dengan nada yang belaga imut.

"Terserah. Tapi aku tidak akan menerima tamu diatas jam 9." ucapku. "Benarkah???? Baiklah, baiklah! Aku akan menuju kesana secepatnya, siapkan beberapa makanan ringan dan boneka rillakuma-mu, oke? Sampai bertemu dikamar!" dia mengakhiri dan sambungan dari telefon otomatis dikamarku terputus. Aku kembali menenggelamkan wajahku diboneka jumbo Rillakuma pemberian dari Ayahku saat aku berusia 12 tahun. Ya, sangat lama, kisaran saatku masih duduk dibangku sekolah menengah.

08.45

Aku mendengar gedoran pintu yang heboh dari pintu kamarku. Aku terlonjak kaget karena aku sempat tertidur. Aku bangkit dari kasur dan berjalan malas menuju pintu dan membukanya, menampakkan wajah ceria Wendy dengan 1 koper dan 1 boneka jumbo berkarakter Sinchan. Dia pecinta kartun Jepang itu. Dia memelukku dengan erat dan mencium pipiku dengan gemas, sampai meninggalkan jejak liur disana.

"Matamu merah!" serunya menatap wajahku dengan khawatir, aku menampar pelan pipinya dan tersenyum kecil, "Aku habis bangun tidur, Bodoh. Masuklah." ajakku.

Dia masuk kedalam kamarku dan duduk diatas kasur sembari memeluk bonekaku dan bonekanya, aku mengambrukkan tubuh keatas kasur pula dan mengucak mata. "Kau tampak tidak baik," ucapnya, saat aku membuka mata dia sedang menatapku.

"Apa-apaan kau, aku lelah mengerjakan buku itu." aku menatapnya balik. "Ada apa kesini? Bilang saja kalau dirumah sendiri takut. Karena kejadian lawas yang membuatmu sulit tidur malam." godaku dan dia mendadak teriak ngeri, aku tertawa.

"Hentikan! Aku tidak mau kefikiran tentang itu lagi!" ujarnya lalu mendorongku sehingga aku terjatuh diatas lantai, bahkan bokongku yang mendarat lebih terdahulu.

"Sialan!" desisku, kini giliran dia yang tertawa. "Hey, Jennie, tapi aku tidak percaya kalau kau baik-baik saja." tiba-tiba Wendy kekeh untuk meneruskan topik soal aku bersuara bindeng. Aku memutar kedua bola mataku dan menghela nafas. Akhirnya aku menghentakkan langkah menuju meja belajar dan menarik buku gemuk itu

-kth.sentencesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang