Hujan mengurungku didalam koridor sekolah. Tidak sedikit yang menumpang untuk menyelamatkan diri dari kebasahan mayoritas mahasiswa disini. Aku sudah hampir oleng kebelakang dimana sebuah got yang memiliki lebar yang lumayan besar sebanyak 2 kali, itu karena orang yang berada diurutan paling depan mundur-mundur. Aku berteriak, "Sialan! Jangan mundur-mundur!" dan semua orang didepanku menengok dan memandangku sinis, aku menatap mereka dengan tatapan sinis juga. Apakah mereka tidak memiliki satu arah fikiran sepertiku? Tandanya, akulah yang paling pintar."Fuck."
Aku menoleh kearah sampingku setelah mendengar kalimat umpat yang bernada berat. Seluruh tubuhnya basah, rambutnya basah. Dari samping, aku merasa tidak asing melihat ciri-ciri wajahnya tapi tunggu, dimana aku pernah melihatnya?
Aku memalingkan wajahku darinya tapi mataku tetap meliriknya, mencoba mengingat siapa laki-laki ini. Hidungnya mancung, berkulit cerah dan rambut basahnya berwarna coklat. Dia menyadarinya, "Ya, kau lagi." aku memalingkan pandangan.
"Sedang apa kau disini?" tanyanya, aku mendengus nafas. "Kita kenal?" tanyaku balik, menaikkan alis kiriku. Tidak jelas.
"Siapa bilang aku mengenalmu?" baliknya, menatapku songong. "Enyahlah." gumamku memeluk tasku. "Kau saja." jawabnya,
"Kau lebih baik duluan." balasku, "Ladies First, pria ada diurutan belakang." jawabnya. "Untuk kali ini tidak, pergilah. Koridor ini pengap dan lembab, ditambah berbicara denganmu sama dengan menghisap oksigen banyak."
Dia mendecih sambil menyunggingkan senyuman. "Tidak usah berlaga bijak, wajahmu masih seperti anak kecil tidak pantas berbicara seperti itu." hinanya, aku menggeram. "Diamlah!"
"Berisik sekali." bisik orang didepanku sambil menoleh dan memberi sinisan. Aku membungkam mulutku dan menjaga jarak dari laki-laki tidak jelas ini. "Hey, kemarilah. Kenapa kau menjauh?"
"Ew. Jangan menganggap kita saling kenal." desisku, "Oh. Baiklah." balasnya. Aku memutar kedua bola mataku dan masih menganggapnya orang tidak jelas.
Sekitar 1 jam aku berdiri dibawah koridor kampus, menunggu hujan reda sekaligus menunggu bus atau taxi yang lewat. Tapi sedari tadi, taxi maupun bus terisi penuh sehingga aku harus menunggunya lebih lama. Orang-orang disekitar sudah mulai mengurang dan membuatku sedikit lega karena bisa menghirup udara dengan baik.
Laki-laki itu masih berada disatu tempat denganku, dia sedang memainkan ponselnya dengan asyik. Aku sedikit cemburu karena ponselku baterainya habis, benar-benar habis. Menghubungi Wendy akan sangat sulit untuk meminta menjemput, dia sudah diapartement pastinya.
Jam kelas Wendy dihari ini lebih singkat dibanding jam kelasku. Aku melongo kearah langit-langit dan masih menuruni rintikan air nan deras. Kedua tanganku terus mengelus lengan memberi percikan hangat.
Kakiku sangat pegal, tapi tempat duduk sudah terisi oleh mahasiswa yang lainnya. Aku mendengus sambil memutar kedua bola mataku, menahan pegal, emosi dan dingin. Sebetulnya aku memiliki ide yang bagus, sangat bagus. Aku berniat untuk meminjam ponsel laki-laki yang bernama Taehyung itu, tapi apa dia akan meminjamkan? Lihat, beberapa jam yang lalu, kami baru menyelesaikan debat yang berawal dari aku menjaga jarak darinya. Sialan.
"Hey." sapaku melangkahkan kakiku beberapa langkah mendekatinya, dia tidak menoleh sedikitpun. "Hey," ulangku
"Ini tuli atau memang sengaja dituli-tuliin?" gumamku kesal. "Ya! Kim Taehyung!"
Dia melirik kearahku lalu mendecak kesal, dan berpaling lagi. "Aku memanggilmu, Ya! Kenapa kau sangat cuek!?" dia tetap berkutat dengan ponselnya. "Respon sedikit---"
KAMU SEDANG MEMBACA
-kth.sentences
Acak° Lalu, kau menyukainya karena dia adalah orang yang bijak dalam kata-kata? Kenapa kau tidak menikahi seorang penceramah saja? °