"Yah!! Apa yang kau lakukan!? Lepaskan!" teriakku, dan berusaha untuk lepas dari cengkraman.
"Akan ku habisi kau, Sialan Perempuan Bajingan!!"
Mulutku terbekap dengan tangan besar, lalu aku menggigitnya dengan kerad membuat sang pemilik tangan mengerang sakit. "Agh!"
"Kenapa kau menahanku, huh?!"
Dia menatapku, "Kau tidak seharusnya mengeluarkan emosimu seperti itu." ujarnya sedikit keras. Aku memutar kedua bola mataku. "Apa urusanmu? Ini urusanku, dan dia membicarakan yang tidak pasti tentang diriku."
"Kalau kau diposisiku, apa kau akan diam dan berlagak bijak? Huh? Aku tidak terima posisiku sebagai perempuan dihina pula juga dengan perempuan macam sok benar seperti dia."
"Aku tahu kau laki-laki, mungkin kau akan mengabaikan perempuan macamnya. Tapi kalau dia membicarakan buruk juga tentang dirimu, atau kekasihmu, atau keluargamu? Apa kau terima? Aku yakin kau menjawab tidak."
Aku memutar badan membelakanginya dan berjalan hendak meninggalkan. Dia kembali menahanku, "Ap---"
"Kalau kau menguakkan emosimu kepadanya, dia akan terus membicarakan buruk tentangmu." ujarnya.
Kalimat itu membuatku membeku dihadapannya. Sedikit ada benarnya. Tapi aku masih belum menerima hal itu dibicarakan tidak pantas! Kalau omongannya sampai ke semua mahasiswa dan dosen-dosen, bisa habis riwayatku. Toh, aku sebetulnya sebentar lagi akan keluar. Tapi ketahuilah, hoax beredar dari mulut ke mulut.
Bisa jadi dunia ini tahu akan hal itu.
"Aku tahu kau marah. Tapi bisakah kau tahan emosimu? Emosi perempuan ditambah emosi perempuan sama dengan keributan yang besar."
"Sialan. Apa maksudmu?" aku menatapnya sinis. "Y-ya, aku berbicara benar, bukan? Aku pernah melihat mahasiswa lain ya bisa dibilang perempuan berkelahi dilapangan belakang sekolah SMA-ku dulu berkelahi dengan cakaran kuku panjang mereka, saling menjambak rambut sampai berguling dirumput, dorong-dorongan yang hampir membuat semua orang menggeleng-geleng kepala."
"Itu benar-benar memalukan. Aku harap kau tidak melakukan hal itu untuk menjadi bahan perkelahian, oke?"
Aku mendadak sedikit tenang setelah mendengarnya. Aku sedikit mengulas senyuman, mungkin senyuman umpat. Aku tidak pintar dalam melakukannya. "Bagaimana dengan laki-laki? Apakah bagus berkelahi secara fisik? Bahkan meninjunya dibagian pelipis." godaku memalingkan pemandangan.
"Itu juga untuk membantumu, Pabo." kesalnya. "Dasar tidak tahu diri."
"Hey! Kenapa kau menjadi kesal kepadaku?"
"Aku tidak kesal." jawabnya, "Benar? Ikhlas, tidak?" godaku tersenyum.
"Ugh."
"Ikhlasss? Atau tidak? Hah, baiklah kalau tidak ikhlas. Tadinya aku ingin meneraktirmu ke kedai cupcake disebrang sana tapi...ya sudahlah--"
Aku lekas meninggalkannya dan dia kembali menahanku lagi. Aku tersenyum dibalik ini."Ya. Aku ikhlas." jawabnya dengan kaku. Aku segera mengancungkan huruf 'O' dengan 3 jari, "OK!"
"Kau pulanglah sendiri. Dia akan bersamaku."
Wendy menekuk wajahnya dan bibirnya memanyun, "Aaa tidak! Pokoknya tidak! Kalau mau, aku juga ikut!" rengeknya menarikku kepelukannya.
"Ya..kau seperti anak kecil. Ayolah, ini panas!"
"Yasudah sana pulang saja dengan motormu! Aku akan bersama Jennie!" dia menarikku kearah yang berlawanan dan Taehyung hendak turun dari motor dan menarikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
-kth.sentences
Acak° Lalu, kau menyukainya karena dia adalah orang yang bijak dalam kata-kata? Kenapa kau tidak menikahi seorang penceramah saja? °