sen.Seven

10 2 2
                                    

"Jennie-ah bangun, Sayang."

Aku mengerutkan kening lalu membuka kelopak mataku yang masih terasa berat. Pemandangan yang pertama ku lihat adalah wajah pria yang masih kuragui, Mingyu. Terlihat damai dan tampan, bahkan wangi maskulinnya menusuk indra penciumanku. Aku merubah posisiku menjadi duduk, dan berhadapan dengannya yang berlutut. Kau tahu, kan? Dia sangat tinggi.

"Ada kelas, bukan? Ayo cepat siap-siap." bisiknya, suaranya tepat seperti morning voice guy. Membuatku merinding dan terkesan. "B-bagaimana kau bisa disini?" tanyaku, setengah tertutup. Aku bisa melihatnya tersenyum memamerkan gigi taringnya.

"Mengantarmu ke tempat belajar." jawabnya. Aku memanggut-manggut lalu menutup wajahku. Serius, aku masih mengantuk, karena begadang mengurus buku gemuk. Lagi.

"Hey cepatlah mandi. Kau mau telat, hm?" Aku berdumel tidak jelas memeluk guling lagi. Lalu gulingku ditarik olehnya membuatku pasrah untuk bangun dan berjalan memasuki kamar mandi. Sial. Menganggu tidur pagiku saja.

Setelah selesai, aku mengeringkan rambutku menggunakan hair-dryer ditemani oleh sereal kesukaanku. Mingyu berdiri di dinding tepat belakangku, menatapku. Aku bisa melihatnya dari pantulan kaca, "Apa?" tanyaku sinis. Dia malah tertawa pelan.

"Ternyata kau itu pendek, ya?" Aku memanyunkan bibirku sebal, "Ya! Kau saja yang terlalu tinggi! Bahkan tiang listrik di Jalan Merpati terlihat pendek saat kau berdiri disampingnya!" seruku, kesal.

"Kau terlalu pendek. Sampai aku harus menunduk agar bisa berbicara denganmu." ejeknya lagi, aku menahan rasa kesal. "Tinggiku dengan Wendy itu sama, kenapa kau tidak menghina dia saja?"

Dia tertawa lagi, "Ya, siapa dia? Menghinamu lebih menarik." balasnya dengan seringaian. Aku memutar kedua bola mataku. "Dia kenapa harus berangkat duluan? Biasanya kalian berangkat bersama." Oiya, aku hampir lupa.

"Semalam dia izin kepadaku, dia akan berangkat lebih awal karena ingin cek kontrol daya tahan tubuhnya. Kau tahu, tidak? Wendy memiliki maag dan kepala yang cepat terasa pusing. Jadi, dia harus beristirahat lebih dan diusahakan untuk tidak terlalu lelah." jelasku, dia diam mendengar ceritaku. "Dia menginap disini berapa lama?"

"Aku tidak tahu. Jika selamanya, itu terserah dia. Aku sama sekali tidak keberatan karena dia sahabatku." jawabku, lalu dia tersenyum. "Oh, jadi kalau aku tinggal disini, tidak masalah? Kan aku calon suamimu."

"Hell no, Sir." jawabku dengan kilat. Dia menyengir. "Kenapa? Ada masalah tidur bersamaku?" Aku mengerutkan keningku heran, mengapa dia menjadi berfikiran yang aneh.

"Otakmu terlalu jauh. Kalau mau pergilah ke Jepang, banyak wanita yang membutuhkan pria sepertimu dan mempunyai nafsu tinggi. Kau akan beruntung banyak." tukasku. Aku sungguh membenci saat dia membahas soal yang berlebihan seperti ini. "Tidak usah jauh pergi ke negeri Jepang. Kalau didepan mataku, apa boleh buat?"

"Buatlah teh hangat dipagi hari, kau perlu cairan yang hangat untuk menjalankan otak kotormu itu." jawabku berjalan menaruh mesin pengering rambut ketempat semulanya. Aku segera menghabiskan sereal dan memakai sepatu. Lepas dari itu semua, kami turun dan tebak aku bertemu dengan siapa.

"Hai!" sapaku dengan gembira. Orang itu menoleh kearahku dengan senyum pagi yang gembira pula. "Hello." balasnya, wajahnya sangat segar dan berpakaian rapih seperti mahasiswa.

"Kau mau pergi kuliah?" tanyaku, "Oh, iya. Ada kelas dan pertemuan antar dosen dengan mahasiswa nanti." jawabnya, aku tersenyum mengerti.

Ting!

Kami mengambil 3 langkah untuk memasuki lift. Terasa sangat lega karena belum ada orang yang berkeluaran. Terasa hening didalam sini, aku diam menatap ujung sepatuku. "Kau mau pergi juga?" tanyanya, aku menoleh dan mengangguk. "Ah, daebak ( hebat ). Kau tahu, teman-temanku biasa dipagi seperti ini bermalas-malasan untuk pergi ke kampus. Karena dosen sering datang telat, dan mata, otak masih belum bekerja dengan baik karena masih mengantuk."

-kth.sentencesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang